Keluarga Muslim Tinggal di Kampung Buddha di Tengah Hutan, Rukun dan Tentram
Ada dua keluarga Muslim di sebuah sebuah perkampungan Buddha di Kampung Plandi, Kecamatan Tambak, Banyumas, Jawa Tengah.
Ada dua keluarga Muslim di sebuah sebuah perkampungan Buddha di Kampung Plandi, Kecamatan Tambak, Banyumas, Jawa Tengah.
Keluarga Muslim Tinggal di Kampung Buddha di Tengah Hutan, Rukun dan Tentram
Keberlangsungan kehidupan beragama masyarakat Indonesia sangatlah rukun dan tentram. Salah satunya tercermin di dalam sebuah desa yang terletak di Kampung Plandi, Desa Watuagung, Kecamatan Tambak, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.
Desa tersebut terletak di pedalaman dan pelosok hutan. Namun, hal yang unik dari desa tersebut adalah perbedaan agamanya.
Mayoritas masyarakat kampung menganut agama Buddha, sedangkan hanya ada dua keluarga yang beragama Islam.
youtube/tedhongtelu
Meski berbeda agama, masyarakat di Desa Watuagung Banyumas itu dapat menjalani aktivitas sehari-hari dengan normal. Tidak ada sentimen keagamaan yang serius dan hidup tetap adem ayem.
Guyup Rukun Masyarakat Kampung
Perbedaan agama masyarakat kampung di Desa Watuagung tidak membuat mereka terus bersitegang perihal keyakinan. Warga yang beragama Buddha maupun Islam hidup berdampingan tanpa ada masalah.
Salah satu dari dua keluarga yang beragama Islam di kampung tersebut adalah Bapak Warso. Namun, saat ditemui, Bapak Warso tak ada di rumah dan sama sekali tidak bisa memberikan keterangan apapun.
Perkampungan di desa tersebut berada di tengah hutan sehingga akses untuk menuju dari satu rumah ke rumah berikutnya cukup jauh. Jalanannya pun naik turun dan sebagian masih terdiri dari tanah liat.
youtube/tedhongtelu
Salat ke Masjid Luar Kampung
Salah satu keluarga yang beragama Islam di kampung tersebut adalah Ibu Pariyem. Ia menuturkan bahwa ketika melaksanakan ibadah salat, ia dan suaminya harus pergi ke kampung sebelah untuk mencari masjid terdekat.
“Yaa, ke masjid Dodog ke Plawetan, kalau riyaya ke Plawetan kalau tarawih ke masjid Dodog, ngaji ke Dodog. Ada masjid di bawah Wates. Nggak jauh, dari sini 15 menit kalau pakai motor,”
ujar Ibu Pariyem.
Ibu Pariyem juga mengatakan bahwa hidup berdampingan dengan masyarakat Buddha tidak seperti tinggal dengan orang asing. Ia menuturkan bahwa dengan orang Buddha, Ibu Pariyem tidak merasa dibeda-bedakan. Bahkan, mereka sering bergotong royong.
“Baik semua. Jadi saya di sini enak, rasanya enak. Sama orang Budhha itu rasanya kaya sama orang Muslim juga. Apa-apa gotong royong. Saling menghormati. Enak di sini. Jadi saya hidupnya sangat nyaman lah di sini,” lanjut Ibu Pariyem.
Pariyem pun menuturkan bahwa saat ada bantuan apapun ada di kampung tersebut, ia tidak pernah luput dari salah satu warga yang mendapatkan bantuan “Ada bantuan apa-apa saya juga dikasih,” pungkasnya.