Mengetahui Pasal-Pasar yang Mengatur Pencemaran Nama Baik
Ketentuan tentang pencemaran nama baik diatur dalam dua peraturan hukum utama, yaitu KUHP dan Undang-Undang ITE.
Dalam beberapa tahun terakhir, kasus pencemaran nama baik di Indonesia mengalami peningkatan yang signifikan. Hal ini menjadi perhatian publik, terutama dengan semakin banyaknya penggunaan media sosial dan platform digital yang memfasilitasi penyebaran informasi dengan cepat dan luas. Untuk mengatasi masalah ini, Indonesia telah menetapkan regulasi yang secara khusus mengatur tindakan pencemaran nama baik. Aturan ini mencakup berbagai tindakan yang dapat dianggap sebagai pencemaran nama baik, seperti fitnah dan penghinaan, yang bisa merugikan kehormatan atau reputasi individu.
Secara hukum, ketentuan mengenai pencemaran nama baik terdapat dalam dua instrumen hukum utama, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Kedua perangkat hukum ini menjadi acuan bagi penegak hukum dalam menangani berbagai kasus pencemaran nama baik, baik yang terjadi di dunia nyata maupun di dunia maya. Pertanyaannya adalah, pencemaran nama baik diatur dalam pasal berapa pada KUHP dan UU ITE? Berikut ini, Liputan6.com akan membahas mengenai pencemaran nama baik berdasarkan pasal yang telah dirangkum dari berbagai sumber.
Pasal tentang Pencemaran Nama Baik di KUHP
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), terdapat berbagai pasal yang mengatur mengenai pencemaran nama baik. Mengacu pada buku "KUHP serta Komentarnya" karya R. Soesilo, terdapat beberapa bentuk hukum yang dapat dikenakan dalam kasus pencemaran nama baik.
1. Pasal 310 Ayat 1
Pasal ini menjelaskan tentang pencemaran yang dilakukan secara lisan. Jika seseorang terbukti melakukan pencemaran melalui ucapan, maka ia dapat dikenakan sanksi berdasarkan pasal ini. Pasal 310 ayat 1 KUHP menyatakan, "Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah." Pasal ini sering diterapkan dalam kasus penghinaan yang terjadi di media sosial atau forum publik, di mana pelaku menyebarkan tuduhan yang dapat merusak reputasi korban secara verbal.
2. Pasal 310 Ayat 2
Pasal ini mengatur mengenai pencemaran nama baik yang dilakukan dalam bentuk tertulis. Individu yang mencemarkan nama baik orang lain melalui tulisan dapat dikenakan sanksi sesuai dengan pasal ini. Pasal 310 ayat 2 menjelaskan, "Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah." Di era digital saat ini, pasal ini juga mencakup tindakan pencemaran nama baik yang dilakukan melalui media elektronik seperti email, blog, atau platform digital lainnya.
3. Pasal 311 Ayat 1
Pasal 311 KUHP membahas tentang tindakan fitnah yang dilakukan oleh seseorang. Tindakan fitnah yang dapat merusak reputasi orang lain bisa dikenakan sanksi berdasarkan pasal ini. Pasal 311 ayat 1 KUHP berbunyi, "Barangsiapa melakukan kejahatan menista atau menista dengan tulisan, dalam hal ia diizinkan untuk membuktikan tuduhannya itu, jika ia tiada dapat membuktikan dan jika tuduhan itu dilakukannya sedang diketahuinya tidak benar, dihukum karena salah memfitnah dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun." Perbedaan mendasar antara pencemaran nama baik dan fitnah terletak pada unsur pembuktian. Dalam kasus fitnah, pelaku tidak dapat membuktikan tuduhannya dan sudah mengetahui bahwa tuduhan tersebut tidak benar sejak awal.
4. Pasal 315
Pasal 315 KUHP memberikan ketentuan mengenai penghinaan ringan yang dilakukan oleh seseorang. Jika seseorang menghina atau menggunakan kata-kata kasar yang dianggap penghinaan oleh masyarakat, maka tindakan tersebut dapat memenuhi elemen dari pasal 315. Pasal 315 KUHP menyatakan, "Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah." Pasal ini sering diterapkan dalam kasus penghinaan sehari-hari, seperti menggunakan kata-kata kasar di tempat umum atau mengirim pesan berisi hinaan langsung kepada korban.
5. Pasal 317
Pasal 317 KUHP menguraikan tentang tindakan memfitnah melalui pengaduan. Definisi memfitnah dengan pengaduan dalam pasal 317 KUHP pada ayat 1 berbunyi, "Barang siapa dengan sengaja mengajukan pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa, baik secara tertulis maupun untuk dituliskan, tentang seseorang sehingga kehormatan atau nama baiknya terserang, diancam karena melakukan pengaduan fitnah, dengan pidana penjara paling lama empat tahun." Pasal ini dirancang untuk melindungi masyarakat dari tindakan pelaporan palsu yang dilakukan untuk menjatuhkan nama baik seseorang di hadapan pihak berwenang.
6. Pasal 320 Ayat 1
Pasal ini menjelaskan tentang pencemaran nama baik terhadap individu yang telah meninggal. Tindakan semacam ini dapat dikenakan sanksi sesuai dengan pasal 320 ayat 1 KUHP. Pasal 320 ayat 1 menetapkan, "Barang siapa terhadap orang yang sudah mati melakukan perbuatan yang kalau orang tersebut masih hidup, akan merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling banyak tiga ratus rupiah." Pasal ini menunjukkan bahwa hukum juga melindungi kehormatan orang yang telah meninggal, dan keluarga almarhum berhak menuntut jika terjadi pencemaran nama baik terhadap orang yang telah meninggal.
Pasal Pencemaran Nama Baik di ITE
Dalam UU Nomor 11 Tahun 2008 yang telah mengalami perubahan melalui UU Nomor 19 Tahun 2016 mengenai Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), terdapat ketentuan mengenai pencemaran nama baik yang tercantum dalam pasal 27 ayat 2. Pasal tersebut menyatakan, "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik." Ketentuan ini merujuk pada pengaturan tentang penghinaan nama baik dan/atau fitnah yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Ancaman hukuman bagi pelaku pencemaran nama baik diatur dalam undang-undang tersebut, di mana pelaku dapat dikenakan pidana penjara dengan maksimal empat tahun. Selain itu, pelaku juga dapat dikenakan denda dengan jumlah maksimum sebesar Rp750 juta. Dengan demikian, undang-undang ini memberikan perlindungan terhadap individu dari tindakan pencemaran nama baik, sekaligus menegakkan keadilan di dunia maya.
Pencemaran Nama Baik Bisa Berdampak ke Psikologis
Pencemaran nama baik adalah tindakan yang dapat memberikan dampak serius bagi kehidupan individu. Ketika seseorang menjadi korban pencemaran nama baik, efeknya tidak hanya terbatas pada kerusakan citra pribadi, tetapi juga dapat menyebar ke berbagai aspek kehidupan lainnya. Akibatnya, hal ini dapat mengganggu hubungan sosial, menurunkan kredibilitas di kalangan masyarakat, dan bahkan mempengaruhi stabilitas ekonomi dari orang yang terkena dampak pencemaran nama baik tersebut.
Dalam dunia profesional, efek dari pencemaran nama baik bisa sangat merugikan dan bahkan dapat menghancurkan karier seseorang. Di lingkungan kerja, individu yang menjadi korban pencemaran nama baik mungkin menghadapi sejumlah konsekuensi negatif, seperti hilangnya peluang untuk menduduki posisi penting, penundaan dalam promosi, atau dalam situasi yang lebih ekstrem, bisa berujung pada kehilangan pekerjaan yang telah ditekuni selama bertahun-tahun. Misalnya, seorang dokter yang mengalami pencemaran nama baik dapat kehilangan kepercayaan dari pasien serta rekan-rekannya, yang pada akhirnya dapat mengancam kelangsungan praktik medis yang dijalankannya.