Ada Aturan Pengetatan Peredaran Rokok, Bagaimana Dampaknya ke Keuangan Negara?
Regulasi ini tengah digodok, di mana rencananya akan turut mengatur soal produk tembakau atau rokok.
Kebijakan soal pengenaan cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok sejauh ini sudah cukup efektif untuk menekan angka konsumsi.
Ada Aturan Pengetatan Peredaran Rokok, Bagaimana Dampaknya ke Keuangan Negara?
Ada Aturan Pengetatan Peredaran Rokok, Bagaimana Dampaknya ke Keuangan Negara?
Pemerintah tengah menyusun rancangan peraturan pemerintah (RPP) tentang Pelaksanaan UU Kesehatan 2023. Dalam aturan itu tertuang bagaimana pemerintah memperketat peredaran rokok di pasaran.
Kementerian Keuangan memberi masukan terhadap Rancangan Peraturan Pemerintah turunan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (RPP Kesehatan). Regulasi ini tengah digodok, di mana rencananya akan turut mengatur soal produk tembakau atau rokok.
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo menilai, kebijakan soal pengenaan cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok sejauh ini sudah cukup efektif untuk menekan angka konsumsi.
Pengenaan cukai rokok sendiri diatur dalam dua regulasi terpisah. Antara lain, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 191/2022 tentang perubahan atas PMK Nomor 193/2023 tentang Tarif CHT Berupa Rokok Elektrik dan Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya.
Kemudian, PMK 191/2022 tentang Perubahan Kedua atas PMK 192/2021 tentang Tarif CHT berupa Sigaret, Cerutu, Rokok Daun atau Klobot, dan Tembakau Iris.
"Dari sisi kami, Kemenkeu meyakini cukai rokok itu instrumen yang selama ini cukup efektif untuk menekan konsumsi dan produksi. Jadi kami melihat dari pengaturan yang ada saat ini, itu sudah cukup memadai," kata Prastowo di Four Seasons Jakarta, Selasa (28/11).
Menurut dia, Kemenkeu sudah mempertimbangkan berbagai aspek dalam menegakkan aturan tersebut. Mulai dari sektor ketenagakerjaan, imbas terhadap sektor industri lain, hingga aspek kesehatan.
Dilain kesempatan, Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) meminta dilibatkan dalam pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) sebagai aturan pelaksana Undang-Undang (UU) Kesehatan.
Meski penyusunan RPP Kesehatan merupakan kewenangan pemerintah, yaitu Kementerian Kesehatan (Kemenkes), tetapi pelibatan legislatif tetap dibutuhkan dalam fungsi pengawasan agar tidak bertentangan dengan payung hukumnya, yaitu UU Kesehatan.
“Kemarin (pekan lalu) rapat di Komisi IX dengan Menkes (Menteri Kesehatan) kita minta supaya kita juga melihat dan membaca. Ikut terlibat dalam proses pembentukan RPP itu. Cuma itu kan kewenangannya pemerintah. Paling tidak kami nanti tugasnya mengawasi,” ucap Anggota Komisi XI DPR RI, Saleh Daulay.
Saleh melanjutkan keterlibatan DPR sebagai pihak yang mengesahkan UU Kesehatan ialah penting. Terutama, pada bagian aturan produk tembakau agar tidak ada lagi upaya menyetarakan tembakau dengan narkotika dan psikotropika di RPP Kesehatan.
“Tapi, saya yakin bahwa pemerintah mampu secara bijaksana untuk tidak akan memasukkan pasal bermakna yang sama yang telah dihapus di UU Kesehatan dalam RPP Kesehatan. Jika, nanti RPP itu bertentangan dengan rujukannya dalam UU, maka RPPnya tidak akan berlaku. Itu sederhana saja kok. Mana boleh aturan di bawahnya bertentangan dengan acuan yang di atas,” terang Saleh.
Draft RPP Kesehatan yang beredar saat ini disadari oleh banyak pihak seolah menyetarakan kembali produk tembakau dengan narkotika dan psikotropika lantaran banyaknya rencana larangan bagi produk tembakau di aturan tersebut, mulai dari larangan promosi, iklan, mempersulit produksi, hingga penjualan.