Harga Batu Bara Diprediksi Tetap Loyo di 2024, Ini Faktor Pemicunya
Program transisi energi sepertinya baru akan terasa dampaknya setelah 2025.
Penurunan harga batu bara ini diprediksi akan terus terjadi di tahun depan akibat beberapa faktor.
Harga Batu Bara Diprediksi Tetap Loyo di 2024, Ini Faktor Pemicunya
Harga Batu Bara Diprediksi Tetap Loyo di 2024, Ini Faktor Pemicunya
Harga batu bara ICE Newcastle kontrak Januari 2024 melemah 0,36 persen menjadi USD 153,1 per ton.
Penurunan harga batu bara ini diprediksi akan terus terjadi di tahun depan akibat beberapa faktor.
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Indonesia (UI), Berly Martawardaya mengatakan, program transisi energi sepertinya baru akan terasa dampaknya setelah 2025. Sebab, beberapa negara besar seperti Amerika Serikat dan India masih harus menahan kenaikan harga saat hajatan pemilu.
"Prediksi awal saya sih harga masih sekitar USD 110-130. Jadi tidak di bawah USD 100," ujar Berly dalam webinar Road to IMEC 2023, Selasa (12/12).
Berly menilai, harga puncak batu bara sudah dilalui ketika terjadi kenaikan di atas USD 300 per ton pada masa pandemi Covid-19. Namun, tensi geopolitik khususnya antara Ukraina dan Rusia membuat harga batu bara perlahan melorot.
"Kita sudah memasuki di post peak. Jadi peak-nya biasanya lebih lama, tapi dipercepat kemarin karena kombinasi dengan tensi-tensi geopolitik khususnya di Ukraina," terang dia.
Selain itu, dia turut menyoroti rencana barat untuk melepas relasi ekonomi dengan China atau decoupling. Kendati begitu, kekuatan mekanisme pasar tidak serta merta mendukung rencana pemisahan ekonomi itu.
"Jadi saat ini posisi di mana produksi meningkat, tapi exces dan penned up demand-nya sudah lewat. Walaupun, dengan movement out of China juga membutuhkan energi, tapi turunnya tidak jauh. Tapi tren menurun saya amati akan terjadi di 2024," ungkapnya.
Dia juga mencermati proses pemulihan pasca pandemi di negara berkembang yang masih ditenagai oleh energi fosil. Meskipun negara seperti Indonesia juga sudah berkomitmen untuk beralih menuju renewable energy, namun itu masih memerlukan waktu lebih lama ketimbang Uni Eropa atau Amerika Serikat yang punya kekuatan dana.
"Jadi ini warning, bahwa memang transisi itu real dan akan jadi tren global walaupun negara berkembang belakangan. Prediksi kasar saya, peak production atau export demand itu 5 tahun ke depan. Setelah itu negara berkembang akan ikut transisi ke renewable setelah harganya juga semakin murah," tuturnya.