Kenaikan PPN 12 Persen Banyak Dikritik Publik, Prabowo: Biasalah
Sejak disahkannya UU HPP, kebijakan kenaikan PPN mendapat banyak kritik.
Presiden Prabowo Subianto menanggapi santai soal banyaknya kritikan terkait kebijakan pemerintah menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen. Prabowo menyebut kritikan tersebut merupakan hal wajar.
"Biasalah, biasa," kata Prabowo kepada wartawan di Indonesia Arena Jakarta, Sabtu (28/12).
Prabowo mengatakan pemerintahannya baru berjalan dua bulan. Namun, kata dia, banyak pihak yang menggoreng dan membuat isu negatif terkait pemerintahannya..
"Tapi kita lumayan kita tadi 2 bulan 8 hari saya lihat lumayan, ada di sana-sini yang goreng-goreng ya," ujarnya.
Dia tak mau ambil pusing terkait banyaknya kritikan kepada pemerintahannya. Prabowo meyakini masyarakat dapat memilah informasi yang benar dan tidak.
"Itu sudahlah udah biasa kita ya kan. Rakyat mengerti siapa yang benar siapa yang ngarang rakyat mengerti, betul?" tutur Prabowo.
Diawali Hasil Legislasi
Kenaikan PPN yang akan mulai diterapkan pada 1 Januari 2025 menarik perhatian masyarakat. Kebijakan ini memicu berbagai perdebatan, terutama mengenai latar belakang usulan dan pengaruhnya terhadap daya beli masyarakat. Banyak orang mempertanyakan siapa yang pertama kali mengusulkan aturan ini serta relevansinya dengan kondisi ekonomi saat ini.
Ketua Umum Rumah Keluarga Bersama (RKB), Wigit Bagoes Prabowo, mengungkapkan bahwa kebijakan ini merupakan hasil dari legislasi pada periode 2019-2024. Hal ini juga melibatkan berbagai elemen politik, termasuk partai-partai besar yang ada di DPR RI.
Di sisi lain, Ketua DPP PDI Perjuangan, Deddy Yevri Sitorus, menegaskan bahwa kenaikan ini bukan inisiatif dari partainya. Pernyataan ini membuka ruang untuk diskusi lebih dalam mengenai perjalanan panjang kebijakan ini, mulai dari tahap legislasi hingga akhirnya menjadi peraturan resmi.
Kronologi Kenaikan PPN 12 Persen
Kebijakan PPN 12% pertama kali diperkenalkan pada tanggal 5 Mei 2021 melalui Surat Presiden yang dikirimkan oleh Joko Widodo dengan nomor R-21/Pres/05/2021 kepada DPR RI. Surat ini menjadi landasan untuk membahas revisi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), yang selanjutnya dikenal dengan nama UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Menindaklanjuti surat tersebut, Komisi XI DPR RI segera mengadakan rapat dengan Menteri Keuangan dan Menteri Hukum dan HAM pada 28 Juni 2021. Rapat ini memiliki agenda utama untuk membentuk Panitia Kerja (Panja) yang bertugas untuk mendalami, membahas, dan menyelaraskan isi RUU tersebut. Proses ini ditandai dengan serangkaian diskusi yang intens antara pihak pemerintah dan legislatif.
Banyak pihak merasa optimis bahwa UU HPP dapat menjadi solusi yang efektif untuk meningkatkan pendapatan negara. Meskipun demikian, terdapat kekhawatiran mengenai dampak kebijakan ini terhadap masyarakat kecil. Sejumlah kelompok berpendapat bahwa perlu ada perhatian khusus agar kebijakan ini tidak memberatkan mereka yang berada dalam kondisi ekonomi yang rentan.
Respons Publik dan Pemerintah Terkait Kenaikan PPN
Sejak disahkannya UU HPP, kebijakan kenaikan PPN mendapat banyak kritik. Banyak pihak merasa khawatir bahwa kebijakan ini akan berdampak negatif pada daya beli masyarakat, terutama di tengah situasi PHK yang meluas dan inflasi yang terus meningkat.
Di sisi lain, Ketua Umum RKB, Wigit Bagoes Prabowo, memberikan penjelasan bahwa Presiden Prabowo telah menegaskan bahwa PPN sebesar 12% hanya akan dikenakan pada barang-barang mewah. Sementara itu, partai PDIP yang diwakili oleh Deddy Yevri Sitorus, meminta agar pemerintah mempertimbangkan kembali kebijakan tersebut.