Bayi-Bayi di Gaza Meninggal Kedinginan di Tenda, "Dia Tak Mau Bangun, Kepalanya Dingin dan Wajahnya Pucat Tak Bernyawa"
Cuaca dingin di Gaza membuat beberapa bayi meninggal kedinginan di tenda-tenda pengungsian.
Setetes embun jatuh dari atap tenda pengungsian membangunkan Yahya Muhammed al-Batran di hari Minggu yang dingin. Ia terbangun bersama istri dan satu anak kembarnya yang baru lahir, sementara anak kembarnya yang lain telah meninggal kedinginan.
“Istri saya sudah bangun. Saya bertanya kepadanya apa yang salah, dan dia menunjuk ke arah Jumaa dan menggelengkan kepalanya,” kenang Batran.
-
Apa yang terjadi pada anak-anak Palestina di Jalur Gaza? Menurut laporan Save The Children, diperkirakan 21.000 anak Palestina hilang dalam agresi brutal Israel di Jalur Gaza. Banyak yang terperangkap di bawah reruntuhan, ditahan, dikubur di kuburan tanpa tanda, atau hilang dari keluarga mereka.
-
Kapan bayi tersebut meninggal? Penanggalan radiokarbon mengonfirmasi bahwa keduanya meninggal antara tahun 1616-1503 SM.
-
Mengapa bayi baru lahir di Gaza sulit bertahan hidup? Kesempatan bayi baru lahir di Jalur Gaza, Palestina, untuk bisa bertahan hidup sangat tipis.
-
Apa yang dilakukan pria di Gaza saat ditemukan tim penyelamat? Saat ditemukan oleh tim penyelamat, pria tersebut tengah melaksanakan sholat subuh dengan kondisi tubuhnya yang masih terjepit.
-
Mengapa warga Gaza terpaksa hidup di tengah gundukan sampah? Sebelum perang, blokade selama bertahun-tahun yang diberlakukan oleh Israel dan Mesir terhadap Gaza, yang dikuasai Hamas, telah memberikan tekanan berat pada layanan dasar, seperti pembuangan limbah. Pembatasan ketat atas apa yang dikatakan Israel sebagai alasan keamanan atas apa yang bisa masuk ke wilayah itu berarti tidak ada truk sampah yang memadai, kurangnya peralatan untuk menyortir dan mendaur ulang sampah rumah tangga, serta membuangnya dengan benar.
-
Kenapa bayi sering cegukan? Cegukan pada bayi umumnya merupakan fenomena alami dan tidak perlu menjadi sumber kekhawatiran yang berlebihan bagi orangtua.
“Ali terlihat setengah hidup. Tapi Jumaa, saya sudah mencoba membangunkannya tapi dia tidak mau bangun,” kata istrinya seraya mengatakan kepala Jumma terasa seperti es dan wajahnya pucat, tidak bernyawa.
Batran membungkus putranya dengan selimut dan melarikannya ke Rumah Sakit Syuhada al-Aqsa di Deir al-Balah.
“Ketika saya tiba di sana, dokter berkata, 'Semoga Allah memberimu kesabaran, dia sudah meninggal'.”
Kondisi Ali, anak kembar Batran yang tersisa masih dalam kondisi kritis karena ia juga menderita efek hipotermia.
Batran dan keluarganya berasal dari Beit Lahia di Jalur Gaza utara. Istrinya melahirkan sebulan sebelumnya. Rumah pertama anak-anak itu adalah sebuah tenda darurat untuk para pengungsi, yang ditambal dengan selimut, di Deir al-Balah di Gaza tengah.
- Nasib Tragis Bayi-Bayi di Gaza Wafat Kedinginan, Dunia Cuma Omong Kosong soal Kemanusiaan
- Tiga Bayi di Gaza Meninggal Karena Membeku Kedinginan di Tenda Pengungsian
- 10.000 Tenda Pengungsi di Gaza Hanyut Terbawa Hujan Deras dan Diterbangkan Angin Kencang, Anak-Anak Kelaparan dan Penyakit Merajalela
- Tenda Pengungsian Tergenang Banjir, Anak-Anak Gaza Terpaksa Tidur di Kandang Ayam
Batran hanya contoh kecil dari ratusan ribu warga sipil di Gaza yang dipaksa berpindah dari satu rumah ke rumah lainnya bahkan ke tenda pengungsian.
“Kami datang ke Gaza tengah untuk menyelamatkan diri dari kematian yang kami saksikan di Gaza utara. Sebelumnya kami tinggal di sebuah sekolah di al-Maghazi, tetapi setelah sekolah itu dibom kami melarikan diri ke Deir al-Balah dan tinggal di sebuah tenda,” kata Batran kepada Middle East Eye.
“Dua keponakan saya dan tiga mertua saya syahid beberapa minggu lalu. Seminggu setelah saudara laki-laki saya terbunuh, Allah memberkati saya dengan anak laki-laki kembar.
“Saya menamai salah satunya dengan nama pamannya yang telah menjadi syahid, Jumaa, dan yang satunya lagi dengan nama keponakan saya yang baru saja menjadi syahid, Ali.”
Jumaa dan Ali lahir prematur pada usia delapan bulan, namun dalam kondisi stabil pada saat itu.
5 bayi meninggal dalam 2 pekan akibat hipotermia
Dana Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) mengungkapkan hingga September, lebih dari 525.000 wanita Palestina di Gaza telah kehilangan akses ke layanan penting dan lebih dari 17.000 wanita hamil menghadapi kelaparan, dengan hampir 11.000 di antaranya sudah menderita kekurangan makanan yang parah.
“Kurangnya nutrisi untuk ibu hamil ditambah tekanan yang luar biasa dari situasi di Gaza menyebabkan peningkatan kelahiran prematur. Bayi dengan berat badan lahir rendah dan peningkatan risiko kelahiran mati dan keterlambatan perkembangan,” jelas UNFPA dalam situs webnya.
Kematian Jumaa menambah daftar anak-anak yang meninggal dunia di Gaza dalam dua pekan terakhir menjadi lima bayi.
Kapasitas rumah sakit yang terbatas dan jumlah kasus yang sangat banyak membuat bayi kembar Batran dikeluarkan dari inkubator lebih awal, mereka terpaksa membawa Jumaa dan Ali kembali ke tenda darurat.
“Saya tidak punya uang untuk membelikan mereka pakaian atau selimut. Beruntungnya beberapa tetangga menyumbangkan beberapa pakaian. Namun, si kembar membutuhkan sesuatu seperti inkubator rumah sakit agar mereka tetap hangat,” kata Batran.
Batran telah berupaya meminta bantuan ke UNRWA [badan PBB untuk pengungsi Palestina], dan mereka memberikannya sebuah alat yang dapat diisi daya untuk menghangatkan bayi kembarnya itu.
Sayangnya, alat itu hanya bisa bekerja selama tiga jam sebelum perlu diisi ulang. Saya menggunakannya selama satu setengah jam untuk setiap bayi, jelas Batra.
Untuk mengisi ulang daya alat tersebut, Batran pergi ke rumah sakit dua kali sehari dan menggunakan listrik yang disediakan oleh generator listrik. Namun pada malam Jumaa mati kedinginan, alat itu sudah kehilangan daya karena penggunaan sebelumnya.
Risiko kematian di musim dingin
Dr. Hani al-Faleet, seorang spesialis pediatrik di Rumah Sakit Nasser di Khan Younis, mengatakan ada beberapa kasus di mana anak-anak hampir meninggal namun berhasil selamat.
“Situasi ini sangat menyedihkan karena hal ini dapat dicegah jika ada pemanas, pakaian, dan nutrisi yang memadai,” kata Faleet, seperti dikutip dari MEE, Senin (30/12).
Dengan meningkatnya kasus hipotermia dan suhu yang terus menurun di Gaza, orang tua menjadi semakin paranoid, bisa saja anak-anak mereka menjadi korban berikutnya.
“Saya tidak bisa tidur. Dalam kegelapan yang mencekik, saya merasakan napas mereka di bawah hidung mereka untuk memastikan mereka belum mati kedinginan. Saya tidak bisa tidur. Saya hampir gila,” tuli Nour seorang ibu pengungsi Palestina di Jalur Gaza tengah, dalam sebuah unggahan di media sosial X.
Di al-Zawaida, Gaza tengah, Hamed Ahmed, ayah dari tiga anak, menusuk kaki anaknya yang baru lahir dengan peniti ketika ia tidur untuk memastikan anaknya masih merasakannya.
Hamed mengatakan ia dan keluarga tidak mampu lagi membeli pakaian mengingat pakaian tersebut menjadi barang yang langka dan mahal.
“Sekarang, satu pasang piyama harganya 150-180 shekel (Rp 645-800 ribu). Saya menganggur sekarang, jadi saya tidak membelikannya,” kata dia.
Barang-barang di Gaza termasuk pakaian musim dingin dan selimut semakin langka akibat blokade yang dilakukan Zionis Israel dan dijual tiga kali lipat dari harga normal.
Setelah mendengar tentang anak-anak yang meninggal karena kedinginan, Hamed dan istrinya tidak bisa tidur di malam hari. Mereka secara bergantian berjaga untuk untuk memastikan anak perempuan mereka yang berusia 22 hari masih hidup.
“Kami meraba kakinya secara teratur untuk mengetahui apakah kakinya dingin atau hangat,” kata Hamed.
Reporter Magang: Elma Pinkan Yulianti