Enam Bulan Lalu Mona Masih Tinggal di Tepi Laut Gaza, Kini Dia Berjuang Hidup di Mesir
Kisah Mona yang melarikan diri dari perang di Gaza menuju Mesir bersama anak-anaknya.
Mona selalu mencintai suara laut.
Hidup di Gaza, laut berada di depan pintunya, menawarkan ketenangan di tengah tantangan sehari-hari. Namun, perang di Gaza telah mengubah segalanya. Laut kini menjadi saksi bisu dari kematian, keputusasaan, dan kesulitan yang dialami oleh banyak orang, termasuk Mona dan keluarganya.
-
Kapan Pertempuran Gaza Ketiga berakhir? Sejarah 7 November 1917: Berakhirnya Pertempuran Gaza Ketiga dengan Kemenangan Inggris
-
Di mana penduduk Gaza diperintahkan untuk mengungsi? Penduduk Palestina diperintah untuk melarikan diri lebih jauh ke selatan menuju Jalur Gaza, sebuah wilayah pesisir yang sempit.
-
Kapan warga Gaza mulai merasakan kelaparan? Kelaparan yang melanda warga Palestina di Rafah, Gaza, membuat mereka terpaksa menjarah truk bantuan karena krisis kemanusiaan terus memburuk setelah lebih dari dua bulan serangan Israel dan pengusiran paksa penduduk ke Gaza selatan.
-
Bagaimana kondisi kemanusiaan di Gaza semakin memburuk? Masyarakat Palang Merah Palestina (PRCS) berulang kali memperingatkan kondisi kemanusiaan yang semakin menurun di wilayah tersebut, akibat Israel menutup perbatasan dan melarang masuknya bantuan ke Gaza.
-
Kenapa misi kemanusiaan ke Gaza ini dijalankan? Ini merupakan momen yang tepat waktu, tepat sasaran dan tepat guna karena bermanfaat untuk membantu meringankan beban saudara-saudara kita yang di Palestina.
-
Apa yang terjadi di kota Gaza saat ini? Potret terkini kota Gaza setelah dihancurkan Israel, kini terlihat seperti kota mati.
Sejak awal konflik, Mona, 31 tahun, dan keluarganya harus melarikan diri dari serangan bom dan drone Israel beberapa kali. Pengalaman terakhir mereka adalah mengungsi ke tenda di tepi laut.
"Saya telah melihat begitu banyak kematian dan penderitaan," ungkapnya dengan sedih.
Enam bulan lalu, Mona melarikan diri ke Mesir, meninggalkan suaminya karena keterbatasan biaya untuk pergi.
Perjuangan di Mesir
Setelah melarikan diri, Mona dan dua anaknya tiba di Kairo, jauh dari suara menenangkan ombak laut. Kehidupan baru di ibu kota Mesir dipenuhi dengan kebisingan, asap kendaraan, dan tantangan sehari-hari yang menyesakkan. Malam harinya, pikiran tentang pengalaman traumatis di Gaza menghantuinya.
"Saya harus meninggalkan suami saya karena tidak ada cukup uang untuknya keluar dari negara," katanya. Keluarga tersebut mengumpulkan $5,000 dari donatur untuk melarikan diri.
- Momen Manis Ibu & Anak Gaza Bermain di Tengah Genosida Israel, saat Hujan Turun Langsung Berdoa Isinya Luar Biasa
- Dikata Sakit Jiwa, Tentara Israel Berjoget Ria Usai Bantai Puluhan Anak-anak di Gaza Setiap Hari
- Berpisah Selama 90 Hari, Ayah di Gaza Menangis Tersedu Akhirnya Bisa Bertemu Anak dalam Keadaan Selamat
- Tenda Pengungsian Tergenang Banjir, Anak-Anak Gaza Terpaksa Tidur di Kandang Ayam
Selama setahun terakhir, beberapa ribu orang sakit dan terluka telah diizinkan masuk ke Mesir untuk mendapatkan perawatan. Beberapa warga Palestina berhasil keluar dari Gaza dengan bantuan kedutaan asing atau melalui perusahaan perantara Mesir yang meminta biaya tinggi untuk membantu mereka. Meskipun demikian, tidak ada dukungan formal bagi pengungsi Palestina di Mesir, sehingga mereka bergantung pada kelompok sukarelawan lokal untuk mendapatkan bantuan.
Kondisi Pengungsi Palestina di Mesir
Jumlah pasti warga Palestina dari Gaza yang kini tinggal di Mesir masih belum dapat ditentukan. Pada bulan Mei, Duta Besar Palestina untuk Mesir memperkirakan jumlahnya sekitar 100.000, meskipun pekerja bantuan lokal meyakini jumlahnya lebih tinggi. Penutupan perbatasan Rafah pada 7 Mei setelah militer Israel mengambil alih area tersebut membuat banyak orang terjebak dan tidak mendapatkan bantuan yang memadai.
Kebanyakan dari mereka memiliki visa turis yang sudah kedaluwarsa, yang berarti mereka tinggal secara ilegal dan tidak mendapatkan akses ke pendidikan, layanan kesehatan, dan layanan publik lainnya. Karena Palestina tidak dilindungi oleh mandat badan pengungsi PBB, mereka tidak menerima dukungan formal. Meskipun UNRWA seharusnya bertanggung jawab, lembaga tersebut tidak memiliki mandat di Mesir, sehingga pengungsi bergantung pada kelompok sukarelawan Mesir.
Dampak Perang Terhadap Mesir
Perang di Gaza juga menimbulkan tantangan besar bagi Mesir. Pemerintah Mesir khawatir bahwa kemarahan publik terhadap tindakan Israel di Gaza dapat memicu protes terhadap pemerintahan Presiden Abdel Fattah el-Sissi, terutama dalam situasi ekonomi yang sulit. Pada bulan Maret, puluhan demonstran ditangkap setelah melakukan protes terhadap inflasi dan kemiskinan. Mesir menolak permohonan warga Palestina dari Gaza untuk menetap secara permanen di negara tersebut.
Menurut International Crisis Group, kekhawatiran bahwa Israel tidak akan mengizinkan pengungsi Palestina kembali ke Gaza menjadi alasan utama penolakan tersebut. Di tengah situasi sulit ini, Mona berusaha melupakan apakah dia akan pernah kembali ke Gaza. "Beberapa minggu pertama di Kairo sangat sulit, tetapi kemudian saya bertemu Lucy," katanya.
Pertemuan yang Mengubah Hidup
Lucy, seorang wanita asal Jerman yang telah tinggal di Mesir selama hampir dua dekade, membantu Mona dengan cara yang luar biasa. "Saya melihat betapa kurus dan pucatnya dia, dan jelas dia sedang hamil," kenangnya. Lucy merasa Mona sangat membutuhkan dukungan dan berusaha memberikan bantuan. "Lucy tidak hanya menemani saya sampai saya melahirkan, tetapi juga mengatur makanan untuk kami," kata Mona, yang bersyukur atas bantuan Lucy.
Mona kini tinggal bersama anak-anaknya, berharap untuk masa depan yang lebih baik di negara asing. Anak perempuannya berusia 6 tahun, sedangkan anak laki-lakinya berusia 4 tahun. Bersama bayi baru lahir, mereka berjuang untuk menemukan kebahagiaan di Kairo, meskipun situasi hukum mereka sangat sulit.
Kendala Hukum bagi Pengungsi
Tanpa status tinggal yang sah, Mona tidak diizinkan bekerja dan anak-anaknya tidak dapat bersekolah, meskipun putrinya sudah cukup umur untuk memulai kelas. Ini adalah sesuatu yang sangat ingin dia berikan kepada mereka di Gaza. "Gaza adalah hatiku," ujarnya dengan suara bergetar. Dia merindukan jalan-jalan, kafe, dan rasa kebersamaan yang pernah ada di kota kelahirannya.
Baru-baru ini, Mona menemukan sedikit kedamaian saat mengunjungi Ain Sokhna di tepi Laut Merah bersama Lucy. "Saya dapat berbagi kekhawatiran saya dengan laut lagi," katanya. Meskipun tidak tahu apakah dia akan tinggal di Kairo atau tidak, Mona masih berharap suatu hari bisa melihat laut di Gaza lagi.
Sumber: Deutsche Welle