Mesir Setuju Israel Ambil Alih Perbatasan Gaza, Tapi Ini Syaratnya
Israel mengajukan dua opsi terkait, namun Mesir juga mengajukan syarat jika Israel mau menguasai sepanjang perbatasan Mesir-Gaza.
Mesir dan Israel bersepakat untuk mengizinkan pasukan Israel mengambil alih perbatasan Mesir-Gaza dengan imbalan dibukanya perbatasan Rafah dan dikelola oleh Palestina. Demikian diungkapkan tiga pejabat senior Mesir yaitu seorang diplomat, pejabat di Layanan Intelijen Umum dan pejabat lain di Intelijen Militer.
Tiga pejabat ini mengungkapkan kepada Middle East Eye, Israel mengajukan dua opsi untuk wilayah perbatasan yang dikenal dengan nama Koridor Philadelphi tersebut.
- Menteri Garis Keras Israel Halangi Kesepakatan Gencata Senjata di Gaza
- Menteri Israel Ini Serukan Pemerintah Deklarasikan Perang di Tepi Barat
- Israel Umumkan Tarik Mundur Ribuan Pasukan dari Gaza, Ternyata Ini Alasannya
- Mesir Usulkan Gencatan Senjata 14 Hari di Gaza, Minta Hamas Bebaskan 40 Tawanan Israel
Opsi pertama, Israel tetap mempertahankan pasukannya di lapangan, seperti yang telah dilakukan sejak militernya masuk ke wilayah tersebut pada Mei. Opsi kedua, mengganti pasukan dengan penghalang bawah tanah, peralatan pemantauan elektronik, dan patroli sesekali.
Mesir menyatakan akan menyetujui opsi tersebut jika faksi-faksi Palestina, khususnya Hamas, ikut serta. Namun Hamas menegaskan pihaknya tidak akan menyetujui perjanjian gencatan senjata apa pun yang tidak menjamin Israel benar-benar menarik diri dari Gaza, termasuk Koridor Philadelphi.
"Mesir akan mengundang Hamas dan Fatah untuk menggelar dialog internal Palestina dalam beberapa hari ke depan di Kairo untuk menyepakati pengelolaan perbatasan Rafah," jelas sumber diplomat ini kepada Middle East Eye.
Sumber yang dekat dengan Hamas mengatakan kepada Middle East Eye, mereka tidak mengetahui apa yang telah disepakati Israel dan Mesir, namun kesepakatan seperti itu tidak mengejutkan atau dapat diterima oleh gerakan tersebut.
Koridor Philadelphi adalah zona penyangga demiliterisasi sepanjang 14 km dan lebar 100 meter di sepanjang perbatasan antara Gaza dan Mesir, yang diciptakan berdasarkan perjanjian Mesir-Israel pada tahun 1979 dan 2005. Berdasarkan perjanjian tersebut, tidak ada negara yang dapat secara sepihak memindahkan pasukan ke wilayah tersebut.
Namun pada Mei, militer Israel merebut perbatasan Rafah dan mengambil alih kontrol di sepanjang perbatasan, yang kemudian dikecam Mesir karena melanggar perjanjian tahun 1979. Sejak saat itu, Mesir dan Israel menggelar beberapa kali pertemuan membahas masalah ini.
Zona Demiliterisasi
Pejabat Intelijen Umum, yang akrab dengan pertemuan-pertemuan ini, mengatakan Mesir telah menunjukkan kesediaan untuk bersikap fleksibel atas kehadiran Israel di zona demiliterisasi.
Namun, sumber tersebut mengatakan Mesir bersikeras bahwa perbatasan Rafah – satu-satunya pintu gerbang ke Gaza tidak berbatasan dengan Israel – harus dibuka kembali dan dioperasikan oleh entitas Palestina di sisi Gaza.
Sejak perang genosida Israel berlangsung di Gaza, Rafah adalah pintu masuk utama untuk berbagai bantuan ke wilayah kantong tersebut. Namun Israel membatasi truk bantuan yang masuk ke Gaza baik itu bantuan obat-obatan, makanan, dan berbagai pasokan lainnya.
Namun perbatasan Rafah tidak beroperasi lagi sejak Israel merebutnya pada Mei lalu. Menurut otoritas di Gaza, penutupan pintu masuk Rafah ini menyebabkan kematian 1.000 warga Palestina, yang nyawa mereka bisa diselamatkan dengan bantuan kemanusiaan atau evakuasi jika perbatasan tersebut dibuka.
Ada 25.000 warga Palestina di Gaza yang sakit atau terluka yang perlu segera dievakuasi ke luar negeri untuk pengobatan, jelas kantor media pemerintah Gaza.
Kehilangan "Keuntungan Ekonomi"
Mesir juga kehilangan sebagian besar pengaruhnya di Gaza ketika Israel menyita dan menutup penyeberangan Rafah. Diplomat Mesir tersebut mengatakan beberapa tokoh berpengaruh di Mesir kehilangan “keuntungan ekonomi” ketika perbatasan Rafah ditutup.
Sebelum Israel menutup perbatasan tersebut, sebuah perusahaan milik pengusaha Mesir berpengaruh dan sekutu Presiden Abdel Fattah el-Sisi menghasilkan sekitar USD2 juta atau sekitar Rp30 miliar per hari dari warga Palestina yang melarikan diri dari Gaza.
Hala Consulting and Tourism Services, sebuah perusahaan yang dimiliki oleh pemimpin suku Sinai dan taipan bisnis Ibrahim al-Organi, mengenakan biaya kepada warga Palestina yang memasuki Mesir setidaknya USD5.000 (sekitar Rp77 juta) per orang dewasa dan USD2.500 (sekitar Rp38 juta) untuk anak-anak di bawah 16 tahun.
Perusahaan Organi adalah satu-satunya layanan yang tersedia bagi warga Palestina yang mencoba melarikan diri dari perang Israel, yang telah menewaskan lebih dari 40.000 orang sejak Oktober 2023.
Diplomat itu mengatakan beberapa orang yang mendapat keuntungan dari penyeberangan selama perang terlibat dalam negosiasi dengan Israel, meski dia tidak merinci siapa saja yang terlibat.
Menurut sumber diplomatik tersebut, Mesir melunakkan sikap mereka di perbatasan karena tekanan besar dari Israel dan Amerika, terutama karena Mesir mengimpor sejumlah besar energi dari Israel dan sedang mengalami krisis listrik.