PBB Perintahkan Israel Angkat Kaki dari Dataran Tinggi Golan, Tegaskan Pendudukan Wilayah Itu Ilegal
Pemungutan suara untuk resolusi ini berlangsung pada Selasa (3/12).
Majelis Umum PBB mengadopsi resolusi pada Selasa (3/12) yang menuntut Israel angkat kaki dari Dataran Tinggi Golan, Suriah. Menurut resolusi tersebut, pendudukan wilayah itu ilegal, yang direbut tentara Israel selama perang tahun 1967.
“Pendudukan berkelanjutan atas Golan Suriah dan aneksasi de facto merupakan batu sandungan dalam upaya mencapai perdamaian yang adil, komprehensif, dan abadi di wilayah tersebut,” jelas resolusi tersebut, dikutip dari The Cradle, Kamis (5/12).
- Israel Hancurkan Menara Pemantau Pasukan Perdamaian PBB di Lebanon, Terang-Terangan Langgar Hukum Internasional
- Pelapor Khusus PBB Ungkap Israel Lakukan Pembantaian Lain di Gaza Utara: Orang-Orang Dibunuh oleh Para Algojo
- Israel Curi 800 Hektar Tanah Rakyat Palestina di Tepi Barat
- Pakar PBB Ungkap Kekejaman Tentara Israel ke Perempuan & Anak Palestina, Dibunuh Tanpa Alasan Hingga Diperkosa di Penjara
Resolusi ini juga menegaskan, keputusan apa pun yang memberlakukan undang-undang atau yurisdiksi di wilayah tersebut “batal demi hukum dan tidak memiliki validitas apa pun.”
Pemungutan suara tersebut disetujui dengan 97 suara mendukung, delapan suara menentang, dan 64 suara abstain.
Permintaan tersebut diajukan oleh Bolivia, Kuba, Korea Utara, Mesir, Irak, Yordania, Lebanon, Oman, Qatar, Arab Saudi, Afrika Selatan, Sudan, Suriah, Tunisia, Uni Emirat Arab, Venezuela, dan Yaman.
Pada 2019, Presiden terpilih AS Donald Trump, pada masa jabatan pertamanya, mengakui kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan dalam sebuah langkah yang sangat kontroversial.
Resolusi tersebut menuntut “sekali lagi” agar Israel menarik diri dari Dataran Tinggi Golan yang diduduki “hingga batas 4 Juni 1967” sambil menekankan ilegalitas pembangunan permukiman dan aktivitas lainnya di wilayah tersebut.
Eskalasi di Suriah
Pemungutan suara tersebut menyusul perdebatan sengit antara Rusia dan AS mengenai Suriah dalam pertemuan Dewan Keamanan PBB pada Selasa pagi.
Sidang ini berkisar pada serangan yang sedang berlangsung yang dilancarkan pada tanggal 27 November oleh Hayat Tahrir al-Sham (HTS), yang sebelumnya dikenal sebagai Front Nusra Al-Qaeda, dan pasukan Tentara Nasional Suriah (SNA) yang didukung Turki, terhadap Idlib, Aleppo, dan Hama.
Militer Suriah dengan dukungan Rusia bertempur untuk merebut kembali wilayah yang direbut oleh kelompok bersenjata ekstremis tersebut.
“Perjuangan ini harus dilanjutkan melawan kelompok teroris yang terdaftar di Dewan Keamanan,” kata perwakilan Rusia Vassily Nebenzia.
“Fakta bahwa HTS terdaftar sebagai organisasi teroris oleh AS dan PBB tidak membenarkan kekejaman lebih lanjut yang dilakukan rezim Assad dan pendukungnya di Rusia,” jawab Wakil Duta Besar AS untuk PBB, Robert Wood.
Utusan Khusus untuk Suriah, Geir Pedersen menyatakan keprihatinan serius atas pertempuran di Suriah.
“Seperti yang saya sampaikan kepada Anda hari ini, sebagian besar wilayah telah berada di bawah kendali aktor non-negara, termasuk kelompok teroris HTS dan kelompok oposisi bersenjata, termasuk SNA. Kelompok-kelompok ini sekarang secara de facto menguasai wilayah yang kami perkirakan berjumlah sekitar tujuh juta orang, termasuk Aleppo – kota terbesar kedua di Suriah dan kota metropolitan yang luas dan beragam dengan populasi lebih dari dua juta orang,” katanya.
Dia menambahkan, kedua belah pihak meningkatkan serangan, sehingga mengakibatkan korban di kedua sisi.
Sementara itu, 22 negara yang mewakili Kelompok Arab di Dewan Keamanan mengutuk serangan ekstremis terhadap Suriah dan mendukung hak Damaskus untuk menghadapinya.
"Kelompok (Arab) menekankan pentingnya menghormati kedaulatan, persatuan, stabilitas, dan integritas wilayah Republik Arab Suriah dan menekankan pentingnya memerangi terorisme dalam segala bentuk dan manifestasinya,” kata perwakilan Lebanon Hadi Hachem saat membacakan pernyataan mewakili 22 negara Arab.