Putin Kembali Menang Pemilu Rusia, Jadi Pemimpin Terlama Lampaui Stalin
Putin Kembali Menang Telak dalam Pemilu Rusia, Jadi Pemimpin Terlama Lampaui Stalin
Menurut Komisi Pemilihan Umum hari ini, ia memperoleh sekitar 87 persen suara dengan sekitar 60 persen daerah pemilihan telah dihitung.
- Kunjungi Korut Setelah 24 Tahun, Putin Bertukar Hadiah dengan Kim Jong-un, Ada Karya Seni Sampai Limusin Mewah
- Islam Selamatkan Nyawa 100 Orang Saat Teror Penembakan di Rusia, Sempat Giring Penonton ke Jalan Pintas
- FOTO: Ekspresi Putin Menang Telak di Pilpres Kelima: Raih 87 Persen Suara dan Jadi Pemimpin Rusia Terlama
- Mengaku Nabi Ismail, Pria Pemimpin Sekte Sesat Ini Sekap 251 Anak untuk Tujuan Mengerikan
Putin Kembali Menang Pemilu Rusia, Jadi Pemimpin Terlama Lampaui Stalin
Presiden Rusia Vladimir Putin menang telak dalam pemilu yang digelar akhir pekan lalu. Dengan kemenangan itu dia akan menjalani masa jabatan kelima sebagai pemimpin negara tersebut.
Menurut Komisi Pemilihan Umum hari ini, ia memperoleh sekitar 87 persen suara dengan sekitar 60 persen daerah pemilihan telah dihitung. Dengan hasil ini, Putin, 71 tahun, akan menyalip Joseph Stalin dan menjadi pemimpin terlama di Rusia selama lebih dari 200 tahun.
Kandidat Komunis Nikolai Kharitonov berada di urutan kedua dengan 4,32 persen suara, diikuti oleh perwakilan Rakyat Baru, Vladislav Davankov yang meraih 3,79 persen dukungan, sementara Leonid Slutsky yang merupakan seorang ultranasionalis berada di urutan keempat dengan 3,19 persen.
Setelah hasil awal yang memberinya kemenangan elektoral terbesar sejak ia berkuasa pada tahun 2000, Putin berterima kasih kepada rakyat Rusia atas dukungan mereka di tempat pemungutan suara.
"Pertama-tama saya ingin berterima kasih kepada warga Rusia. Kita semua adalah satu tim. Semua warga yang pergi ke tempat pemungutan suara dan memberikan suara," kata Putin, seperti dilansir Laprensalatina, Senin (18/3).
Putin menyatakan perang di Ukraina terkait erat dengan peningkatan partisipasi pemilu, yang mencapai tingkat tertinggi sejak 1991.
"Hal ini terkait dengan fakta bahwa kita dipaksa, dalam arti harfiahnya, untuk membela kepentingan warga negara kita dengan senjata di tangan," katanya.
Karena sejumlah alasan teknis dan cacat formal, oposisi terhadap Kremlin tidak dapat berpartisipasi dalam pemilihan karena komisi tidak mendaftarkan kandidat yang mendukung perdamaian di Ukraina.
Pada Minggu siang (17/3) ribuan pengkritik Kremlin keluar untuk berpartisipasi dalam demonstrasi massal di Rusia dan di luar negeri untuk menentang kebijakan-kebijakan Putin dan perang di Ukraina.
"Tidak peduli siapa atau seberapa besar mereka ingin mengintimidasi kita, tidak peduli siapa atau seberapa besar mereka ingin menekan kita, kehendak kita, kesadaran kita - tidak ada yang pernah berhasil dalam hal seperti ini dalam sejarah," kata Putin dalam sebuah pidato dari markas kampanyenya pada Senin pagi (18/3).
Kemenangan Putin tidak pernah diragukan karena para pengkritiknya sebagian besar dipenjara, di pengasingan, atau mati, sementara kritik publik terhadap kepemimpinannya telah dibendung.
Saingan utama pemimpin Rusia ini, Alexey Navalny, meninggal di penjara Arktik bulan lalu.
Hasil ini, menurut Putin, mantan letnan kolonel KGB yang memegang kekuasaan pada tahun 1999, dimaksudkan untuk memberi tahu Barat bahwa mereka harus mempertimbangkan Rusia yang semakin berani, baik dalam perang maupun damai.
Amerika Serikat mengatakan pemungutan suara itu tidak bebas dan tidak adil.
"Pemilu ini jelas tidak bebas dan tidak adil mengingat bagaimana Putin telah memenjarakan lawan-lawan politiknya dan mencegah orang lain untuk mencalonkan diri," kata juru bicara Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih.
Menteri Luar Negeri Inggris David Cameron mengatakan dalam sebuah pesan di X bahwa pemungutan suara tersebut "tidak seperti pemilu yang bebas dan adil".
Di Ukraina, Presiden Volodymyr Zelenskyy mengatakan, "Kecurangan pemilu ini tidak memiliki legitimasi dan tidak boleh ada".