Topan Terdahsyat Terjang Prancis, Jumlah Korban Tewas Diprediksi Ribuan Orang
Pejabat Prancis menjelaskan salah satu penyebab sulitnya mengonfirmasi jumlah korban tewas karena kondisi di lapangan yang tidak memungkinkan.
Diperkirakan ratusan jiwa melayang akibat topan terkuat yang melanda Kepulauan Mayotte, wilayah Prancis di Samudra Hindia, pada Minggu (15/12).
"Saya rasa pasti akan ada beberapa ratus, mungkin bahkan bisa mencapai seribu atau bahkan beberapa ribu," ungkap pejabat setempat, Francois-Xavier Bieuville, dalam wawancara dengan media lokal Mayotte La 1ere seperti yang dilansir Channel News Asia, Senin (16/12).
- Pelajar Prancis Tawuran di Kereta dan Saling Serang Pakai Kapak, Satu Orang Alami Tangan Putus
- Prosedur Laporan ke Polisi Dikeluhkan Korban KDRT
- Bukan Korban Pembunuhan, Ini Penyebab Tewasnya Mayat Terikat Rantai dan Pemberat di Sungai Musi
- Kondisi 12 Korban Tewas Kecelakaan Maut Tol Japek KM 58 Alami Luka Bakar 90-100%
"Sulit untuk menghitung semua korban dan angka pasti belum dapat ditentukan pada tahap ini," kata Kementerian Dalam Negeri Prancis.
Topan Chido menerjang Mayotte pada malam hari dengan kecepatan angin yang melebihi 200 km/jam, merusak banyak rumah, bangunan pemerintah, serta fasilitas kesehatan.
"Ini adalah topan terkuat yang melanda pulau-pulau tersebut dalam lebih dari 90 tahun," kata Meteo-France.
Sementara itu, warga ibu kota Mayotte, Mohamed Ishmael, berbagi cerita melalui telepon kepada Reuters, "Sejujurnya, apa yang kami alami ini adalah sebuah tragedi, rasanya seperti berada di sisa-sisa setelah perang nuklir ... Saya melihat satu seluruh kawasan hilang begitu saja."
Rekaman udara yang dibagikan oleh jenderal militer Prancis memperlihatkan puing-puing dari ratusan rumah darurat yang tersebar di bukit-bukit di salah satu pulau di Mayotte, yang selama ini menjadi jalur utama imigrasi ilegal dari Comoros. Foto-foto dari media lokal menunjukkan seorang ibu yang mendorong tempat tidur bayi baru lahir di lorong rumah sakit Mayotte yang terendam air. Di pantai, perahu polisi terbalik dan pohon kelapa tumbang menembus atap-atap bangunan.
"Perasaan saya bersama warga Mayotte, yang telah melalui beberapa jam paling mengerikan, dan yang sebagian kehilangan segalanya, bahkan nyawa mereka," ujar Presiden Prancis Emmanuel Macron.
Tempat Tinggal Migran
Dalam beberapa tahun terakhir, ribuan individu berusaha menyeberangi perairan dari Comoros, yang terletak di lepas pantai timur Afrika, menuju Mayotte yang menawarkan standar hidup yang lebih baik serta akses ke sistem kesejahteraan Prancis. Kementerian Dalam Negeri Prancis melaporkan bahwa lebih dari 100.000 migran tanpa izin tinggal di Mayotte.
Meskipun jumlah pasti korban jiwa sulit untuk dipastikan, muncul juga kekhawatiran mengenai akses terhadap kebutuhan dasar seperti makanan, air, dan sanitasi.
"Untuk jumlah korban, ini akan rumit, karena Mayotte adalah tanah muslim di mana jenazah dikuburkan dalam waktu 24 jam," kata pejabat Kementerian Dalam Negeri Prancis.
Mayotte, yang terletak hampir 8.000 km dari Paris, jauh lebih miskin dibandingkan dengan wilayah Prancis lainnya dan telah menghadapi masalah kekerasan geng serta kerusuhan sosial selama bertahun-tahun. Lebih dari 75 persen penduduk Mayotte hidup di bawah garis kemiskinan Prancis.
Ketegangan di daerah tersebut meningkat pada awal tahun ini akibat dari kekurangan air. Sebagai respons, jalur udara darurat telah dibuka dari Pulau Reunion, wilayah Prancis yang terletak di selatan Madagaskar.
Topan Chido menjadi tantangan pertama bagi Perdana Menteri Francois Bayrou, hanya beberapa hari setelah dilantik oleh Macron menyusul jatuhnya pemerintahan sebelumnya. Topan tersebut melanjutkan perjalanannya menuju utara Mozambik pada hari Minggu, meskipun dampak penuhnya belum sepenuhnya diketahui. Monitor internet, NetBlocks, melaporkan di X bahwa hujan deras dan angin kencang telah merusak infrastruktur listrik dan telekomunikasi.
Di Comoros, pihak berwenang melaporkan bahwa dua orang mengalami luka ringan, 24 orang terpaksa mengungsi, dan 21 rumah mengalami kerusakan. Prancis mulai menjajah Mayotte pada tahun 1843 dan mencaplok seluruh kepulauan, termasuk Comoros, pada tahun 1904. Dalam referendum yang diadakan pada tahun 1974, 95 persen suara memilih pemisahan, namun 63 persen di Mayotte memilih untuk tetap menjadi bagian dari Prancis. Sementara itu, Grande Comore, Anjouan, dan Moheli menyatakan kemerdekaannya pada tahun 1975, sedangkan Mayotte sendiri masih diperintah dari Paris.