Mengenal Kapten Harun Kabir: Sang Pelindung Bung Karno dan Tan Malaka, Sosok Langka Zaman Revolusi
Harun Kabir selalu berkata, kalau kita tidak manusiawi, lalu apa bedanya kita dengan para penjajah yang kita perangi?
Penulis: Arsya Muhammad
Dini Hari 13 November 1947, pasukan Belanda menggedor sebuah gubuk di Hutan Cihurang, di pedalaman Cianjur. Di dalam rumah itu, ada Kapten Harun Kabir, Kepala Bagian Zeni, Brigade Suryakencana, dan anak istrinya.
Dengan Tenang Kapten Harun Kabir keluar menemui para serdadu Belanda itu. Dia langsung diikat, dan dibariskan bersama dua pengawalnya. Sesaat kemudian, para prajurit itu memberondongkan senjata tanpa ampun pada tiga pejuang Republik Indonesia tersebut.
Harun Kabir dieksekusi mati di depan istri dan ketiga putrinya. Sebelum gugur, dia masih meneriakkan kata-kata Merdeka!
Harun Kabir sejatinya adalah seorang birokrat sipil. Dia pernah menjadi asisten residen Bogor yang membawahi bagian keuangan. Namun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 membuat api semangat berkobar di mana-mana, termasuk Kota Bogor.
Sesaat setelah proklamasi, Harun Kabir membentuk Laskar Tjiwaringin 33. Nama itu diambil dari alamat rumah Harun Kabir di Kota Bogor, Jalan Ciwaringin 33.
-
Kapan Harun Kabir meninggal? Tanggal 13 November 1947, jadi hari terakhir Harun Kabir dalam menentang kekuasaan Belanda yang kembali datang ke Indonesia.
-
Di mana Harun Kabir ditembak? Tanggal 13 November 1947, jadi hari terakhir Harun Kabir dalam menentang kekuasaan Belanda yang kembali datang ke Indonesia. Sekitar pukul 04.00 WIB subuh, satu pleton pasukan Belanda tiba-tiba mengepung kediamannya di wilayah pelosok Cianjur.
-
Kapan Habib Ali Kwitang wafat? Sampai sekarang, jejak dakwah dari ulama yang wafat pada 13 Oktober 1968 itu masih ada.
-
Kapan Habib Cikini wafat? Habib Cikini diketahui wafat pada 1879 silam.
-
Kapan Ken Ken beralih profesi? Setelah menghilang dari dunia hiburan selama 18 tahun, ia menemukan panggilan barunya sebagai seorang petani.
-
Kapan Habib Hasan Bin Ja'far Assegaf wafat? "Segenap Keluarga Besar Rabithah Alawiyah turut berduka cita atas wafatnya Habib Hasan bin Ja'far bin Umar Assegaf (Pimpinan Majelis Nurul Musthofa) pada hari Rabu, 13 Maret 2024," tulis akun @rabithah_alawiyah.
Di rumah inilah, keluarga Presiden Soeharto pernah berlindung di awal revolusi. Sejumlah tokoh bangsa seperti Tan Malaka pun kerap bertandang ke rumah ini.
Karena luasnya pergaulan Harun, para pemuka kelompok pemuda Menteng 31pernah mempercayakan Tan Malaka untuk tinggal di Ciwaringin. Itu terjadi kurang lebih sebulan setelah dikumandangkannya proklamasi 17 Agustus 1945.
Atas nasehat Gatot Mangkoepradja, tokoh pergerakan senior yang tinggal di Bogor, diputuskan Tan Malaka diungsikan ke rumah Harun Kabir.
Maka dijemputlah Tan Malaka dari Jakarta oleh Entol Chaeruddin Achjar, adik ipar Harun Kabir yang eks anggota Kaigun (Angkatan Laut Kekaisaran Jepang).
Tan Malaka kemudian tinggal hampir dua minggu lamanya di Ciwaringin. Selama di sana, kegiatannya adalah membaca buku dan berdiskusi dengan tokoh-tokoh pemuda Bogor, termasuk dengan Harun Kabir dan Gatot Mangkoepradja. Jika senja datang, dia menghibur diri dengan bermain piano, ditemani Tina dan Hetty, dua putri Harun Kabir.
"Saya ingat, kadang Om Iljas Hussein (nama samara Tan Malaka) bermain piano sambil memangku saya," Hetty Kabir, salah satu putri dari Harun Kabir.
Saat mengungsi di Ciwaringin, Sukarno yang juga dicari Kenpeitai karena dianggap ikut merancang Peristiwa IKADA, sempat mengungsi pula ke Bogor. Di sana dia juga sempat bertamu ke Ciwaringin dan berjumpa dengan Tan Malaka di rumah Harun Kabir. Demikian penjelasan sejarawan Harry A. Poeze dalam Tan Malaka: Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia (Agustus 1945-Maret 1946) Jilid I.
Harun Kabir juga yang melindungi orang-orang Eropa di saat situasi keamanan tidak menentu. Di rumahnya Harun menampung orang-orang tersebut dan melindunginya. Saat itu orang Eropa dan Indo menjadi target perampokan para perampok yang berkedok laskar. Menurutnya Proklamasi bukan hanya soal kemerdekaan, tapi juga soal kemanusiaan.
Harun Kabir sempat didapuk menjadi Kepala Staf Brigade Suryakencana di bawah Divisi Siliwangi. Dia sempat meraih pangkat mayor dalam TNI, namun saat itu ada aturan yang mengharuskan pangkat turun satu tingkat. Harun Kabir pun menjadi kapten.
- Kisah Cinta Tragis Raden Pabelan, Dihukum Mati Karena Nekat Mencintai Putri Raja Pajang, Makamnya Ada di Mal Solo
- Bedah Buku Merahnya Ajaran Bung Karno, Hasto Sindir Kekuasaan untuk Kedaluatan Rakyat Diubah untuk Keluarga
- Mantan Menteri Pendayagunaan BUMN Tanri Abeng Meninggal Dunia, Jusuf Kalla Sampaikan Duka Cita
- Iduladha pada Zaman Kolonialisme Belanda, Warga Harus Bayar Pajak, kalau Menolak Hewan Kurban Dirampas Penjajah
Kapten Harun Kabir memimpin sejumlah pasukan gerilya. Dia meledakkan berbagai obyek vital untuk melawan Belanda. Dari Bogor, Harun Kabir dan keluarganya menyingkir ke Sukabumi, kemudian ke wilayah Cianjur untuk terus bergerilya.
Di tengah penyakit malaria yang dideritanya, Harun Kabir masih terus memimpin gerilya. Hingga saat terakhir, saat pahlawan tersebut menemui ajal di ujung senapan serdadu Belanda.
“Dia adalah manusia langka di zamannya. Dengan bakat kepemimpinan yang baik, dan lurus, Harun Kabir tetap berusaha ‘waras’ di tengah badai revolusi. Dia tidak membiarkan dirinya larut, namun terus memelihara sikap sendiri,”
kata Hendi Jo, penulis buku Demi Republik, Perjuangan Kapten Harun Kabir 1942-1947, yang diterbitkan Mata Padi. Peluncuran buku ini digelar di Auditorium Perpustakaan Kota Bogor, Minggu (23/6/2024).
Layak Diberi Gelar Pahlawan Nasional
Menurut Hendi, Harun Kabir menolak segala tindakan kejam dan penyerangan terhadap warga sipil yang tidak bersenjata. Apalagi wanita dan anak-anak. Di tengah revolusi, dia justru menolong orang Indo dan Eropa yang membutuhkan pertolongan. Ini teladan yang menurutnya langka dari seorang komandan gerilya saat itu.
“Harun Kabir selalu berkata, kalau kita tidak manusiawi, lalu apa bedanya kita dengan para penjajah yang kita perangi?”
Sejarawan Anhar Gonggong yang menjadi pembicara dalam peluncuran buku ini menilai sosok Harun Kabir dan keluarganya memiliki ketabahan luar biasa.
Istri dan anak-anak Harun Kabir, harus melihat dari dekat bagaimana ayahnya dieksekusi dari jarak dekat oleh tentara Belanda.
“Harun Kabir mengorbankan masa depannya. Mengorbankan hidupnya untuk keluarganya. Untuk kita semua yang hari ini bisa duduk di sini sebagai orang-orang yang merdeka,” kata Anhar.
Sementara Sejarawan Rushdy Hoesein menilai Harun Kabir layak menjadi Pahlawan Nasional.
Melihat kiprah dan perjuangannya, seharusnya ada penghormatan dari negara untuk jasa dan pengorbanan beliau.
“Menurut saya sangat pantas mendapat gelar pahlawan nasional,” tulis sejarawan senior ini dalam pengantar buku Kapten Harun Kabir.