Syiah Kuala, Ulama Moderat dan Feminis dari Tanah Aceh
Hidup pada masa gejolak dua mazhab yang sedang bertikai di Kerajaan Aceh Darussalam, membuat ulama Aminuddin Abdurrauf bin Ali Al-jawi Tsumal Fansuri al-Singkili yang diberi lakab Syiah Kuala, memilih jadi penengah dua kubu yang berkonflik itu.
Hidup pada masa gejolak dua mazhab yang sedang bertikai di Kerajaan Aceh Darussalam, membuat ulama Aminuddin Abdurrauf bin Ali Al-jawi Tsumal Fansuri al-Singkili yang diberi lakab Syiah Kuala, memilih jadi penengah dua kubu yang berkonflik itu.
Konflik mazhab antara Syekh Nuruddin Ar-Raniry yang membawa paham Wahdatus Syuhud dan Syekh Hamzah Fanzuri yang membawa paham Wihdatul Wujud, disikapi Syiah Kuala secara kompromistis.
-
Di mana sejarah terasi dapat ditelusuri? Sejarah terasi di kawasan Cirebon dapat ditelusuri hingga masa kekuasaan Pangeran Cakrabuana, yang memainkan peran penting dalam perkembangan kawasan tersebut.
-
Bagaimana sejarah Waduk Sempor? Waduk Sempor diresmikan pada 1 Maret 1978 yang ditandai dengan adanya prasasti bertanda tangan Presiden Soeharto. Semula, waduk ini difungsikan sebagai sumber pengairan bagi sejumlah kompleks persawahan di sekitarnya. Namun lambat laun waduk itu menjadi destinasi wisata baru bagi warga sekitar.
-
Bagaimana Asisi Suharianto menyajikan kisah-kisah sejarah? Asisi dan sang istri pun mendapatkan pengalaman luar biasa selama keliling dunia. Keduanya bertemu dengan saksi mata maupun para korban perang masa lalu di beberapa negara.
-
Bagaimana sejarah Lembah Anai terbentuk? Konon, dulunya air terjun ini menjadi saksi bisu pergerakan rakyat Minang dalam melawan penjajahan. Pada masa kolonial, masyarakat setempat dipaksa untuk menjadi pekerja membangun jalan lintas Sumatera yang menghubungkan antara Kota Padang dan Padang Panjang via Lembah Anai.Masyarakat Minang yang bekerja dalam proyek pembangunan jalan tersebut harus menempuh jarak yang cukup jauh, bahkan bisa berhari-hari dari tempat mereka tinggal menuju lokasi pembangunan jalan.
-
Siapa yang meneliti sejarah Sidoarjo? Mengutip artikel berjudul Di Balik Nama Sidoarjo karya Nur Indah Safira (Universitas Nahdlatul Ulama Sidoarjo, 2000), Kabupaten Sidoarjo terkenal dengan sebutan Kota Delta yang merujuk pada sejarah daerah ini yang dulunya dikelilingi lautan.
-
Bagaimana KEK Singhasari memanfaatkan sejarah? Keunggulan lain dari KEK Singhasari yakni adanya sektor pariwisata dengan tema heritage and sejarah. Hal ini dilatarbelakangi nilai situs sejarah kerajaan Singhasari.
Menurut dosen sejarah Universitas Syiah Kuala (USK), Husaini Ibrahim, saat itu ulama Syiah Kuala sangat moderat. Beliau tidak mau menghakimi kedua kubu soal benar dan salah, melainkan mengajak untuk saling menghargai perbedaan.
"Beliau memang terkenal sebagai ulama yang lembut dalam berdakwah," kata Husaini kepada merdeka.com, Sabtu (9/7).
Husaini mengisahkan, saat baru pulang merantau dari Timur Tengah usai belajar agama selama hampir 20 tahun, Syiah Kuala berkeliling ke beberapa wilayah kerajaan Aceh Darussalam dan akhirnya menetap di kuala Krueng Aceh (kini masuk wilayah Banda Aceh).
©2021 Merdeka.com
"Jadi orang banyak mengenal beliau Teungku Syiah Kuala. Syiah itu bukan Syiah (salah satu kelompok dalam Islam) sebenarnya. Syiah di sini artinya ulama. Dan Kuala itu, karena beliau membuka dayah di dekat kuala, maka dilakabkan lah namanya Teungku Syiah Kuala," terang Husaini.
Di sana, sebut Husaini, waktu itu terdapat kampung yang menjalani praktik prostitusi. Namun Syiah Kuala tidak mengusik kegiatan itu. Sebaliknya, beliau mendirikan dayah atau pesantren di wilayah tersebut dan memiliki banyak murid.
Meski paham betul praktik prostitusi dilarang keras dalam ajaran Islam, Syiah Kuala dan pengikutnya secara pelan-pelan menyadarkan masyarakat. Beliau menyentuh hati warga dengan terlebih dahulu membantu mereka.
Berbekal pengetahuan dari banyak disiplin ilmu yang dipelajarinya di Timur Tengah, Syiah Kuala kerap menolong warga yang sedang sakit.
©2021 Merdeka.com
Banyak warga sembuh usai ditolongnya. Mereka mulai simpati kepada Syiah Kuala. Sembari mengobati, dia menyebarkan syiar Islam sedikit demi sedikit. Perlahan, kondisi sosial di wilayah itu bergeser. Praktik pelacuran hilang. Ajaran Islam mulai diterima warga.
Itulah yang membuat Sultanah Safiatuddin Syah kepincut dengan Syiah Kuala hingga beliau diundang ke istana. Lepas undangan itu, beliau diangkat menjadi Kadhi Malikul Adil Kesultanan Aceh sekitar penghujung tahun 1665. Jabatan yang diemban Syiah Kuala ini merupakan sebuah jabatan penting yang mengatur soal hukum dan agama.
Semangat dakwah yang moderat dan dipadu sikap toleran itu membuat Syiah Kuala lama berada di jajaran elit Kerajaan Aceh Darussalam.
Di masa kepemimpinan Sultanah Safiatuddin Syah (1641-1675), perempuan pertama yang memimpin kerajaan Aceh Darussalam usai suaminya, Sultan Iskandar Tsani mangkat, meminta Syiah Kuala menulis kitab tentang fiqih agama dan soal kehidupan bermasyarakat.
Kitab Mir'atuttullab namanya. Kitab ini menjadi mahakarya Syiah Kuala di antara kitab-kitab hasil buah pikirnya yang lain.
©2021 Merdeka.com
"Kitab itu beredar bahkan sampai ke mancanegara," sebut Husaini Ibrahim.
Mir'atuttullab juga menyinggung soal hukum seorang perempuan menjadi pemimpin. Pembahasannya cenderung mentolerir kepemimpinan kaum hawa dalam sebuah kerajaan.
Bagi Syiah Kuala, kata Husaini Ibrahim, perempuan jadi pemimpin dalam suatu kerajaan atau negara bukanlah masalah. "Asal tidak menjadi pemimpin sebagai imam salat," jelasnya.
Di sini tergambar sikap lain dari Syiah Kuala sebagai ulama yang feminis, bahkan jauh sebelum gerakan itu berkembang di seluruh dunia pada abad ke-20.
Ulama yang oleh banyak ahli peradaban Islam di Nusantara disebut lahir pada 1615 di Aceh Singkil ini, memikul jabatan Kadhi Malikul Adil sampai empat kali pergantian pucuk pimpinan kerajaan Aceh. Semuanya perempuan.
Selain Safiatuddin Syah, ulama Syiah Kuala juga berada dalam pemerintahan Naqiatuddin Syah yang memerintah pada 1675-1678, lalu Zakiatuddin Inayat Syah 1678-1688, dan terakhir Keumalat Syah 1688-1699.
Anak dari ulama Syekh Ali Fansuri, seorang ulama di Lipat Kajang, Aceh Singkil itu saat di Timur Tengah banyak memperoleh ilmu dari Syekh Ahmad Qusyasyi, seorang pemimpin tarekat Syattariah.
©2021 Merdeka.com
Pengaruh dari guru itu pula yang membuat Syiah Kuala, saat kembali ke Aceh juga mengembangkan tarekat tersebut di Nusantara.
Ulama Abdurrauf al-Singkili yang dilakab Syiah Kuala wafat pada 1696. Makamnya terletak di bibir pantai, sekitar 10 kilometer dari pusat Kota Banda Aceh.
Saat tsunami menghumbalang Aceh 26 Desember 2004 silam, kompleks makam ulama besar itu luluh lantak. Namun makam Syiah Kuala sedikitpun tidak rusak. Selang beberapa tahun setelah peristiwa tsunami, kompleks makam disolek kembali oleh pemerintah.
Semangat moderat ulama Syiah Kuala kini terus berlanjut dalam sanubari dunia pendidikan di tanah Serambi Mekkah. Jejak itu salah satunya terlihat di kampus negeri tertua di Aceh, yakni Universitas Syiah Kuala.
Kata sejarawan Husaini Ibrahim, pemikiran Syiah Kuala pada saat itu yang bisa menerima perbedaan dengan bijaksana sesuai perkembangan zaman, jadi pedoman bagi Universitas Syiah Kuala sampai sekarang.
"Selain moderat, beliau juga sebagai simbol pemersatu. Semangat ini yang terus dibawa Universitas Syiah Kuala, hingga orang Aceh memberi lakab kepada kampus tersebut sebagai 'Jantong Hatee Rakyat Aceh'," ungkapnya.
(mdk/cob)