Kisah di Balik Bunyi Lesung Padi di Tanah Sunda saat Gerhana Bulan, Ternyata Ini Maknanya
Mengapa orang Sunda memukul lesung saat terjadi gerhana bulan? begini kisahnya
Mengapa orang Sunda memukul lesung saat terjadi gerhana bulan? begini kisahnya
Kisah di Balik Bunyi Lesung Padi di Tanah Sunda saat Gerhana Bulan, Ternyata Ini Maknanya
Gerhana bulan menjadi salah satu fenomena yang unik di sistem tata surya. Saat itu, kondisi bulan perlahan tertutup matahari, sehingga cahayanya menghilang atau menghasilkan visual mirip cincin.
Ketika terjadi peristiwa tersebut, masyarakat Jawa Barat zaman dulu turut meresponsnya dengan tradisi memukul lesung padi.
Nadanya pun saling bersahutan karena dipukul oleh lebih dari satu orang.
-
Di mana tradisi Ngitung Batih dilakukan? Mitos Masyarakat Desa Dongko Kabupaten Trenggalek masih mempercayai mitologi Kanjeng Ratu Kidul sebagai penguasa laut selatan Jawa.
-
Apa yang dilakukan warga dalam tradisi Iriban? Dalam tradisi itu, seluruh warga kampung turun ke sendang yang ada di dusun untuk berburu ikan. Seluruh warga boleh mengambil ikan sepuasnya di sendang, tetapi mereka harus mengambil ikan itu tanpa menggunakan alat bantu apapun.
-
Apa yang dimaksud dengan tradisi Ngitung Batih di Trenggalek? Ngitung batih adalah menjumlah anggota keluarga per rumah. Arti ini juga berkaitan dengan jumlah uba rampe takir plonthang yang akan disiapkan. Misalnya keluarga A berjumlah 7 orang, maka perlu dibuat takir plonthang sebanyak tujuh buah.
-
Apa tujuan utama tradisi unik ibu hamil di berbagai negara? Meskipun adat dan ritualnya berbeda di setiap negara, tujuannya tetap satu: menjaga keselamatan ibu dan bayi, serta memastikan kelahirannya dengan lancar.
-
Kenapa ibu hamil dilarang potong rambut menurut mitos Jawa? Menurut budaya Jawa, ibu hamil tidak boleh memotong rambut karena dipercaya akan membawa kesialan atau bahaya bagi ibu dan bayinya.
-
Apa yang dipercaya oleh masyarakat Jawa tradisional mengenai bayi yang terlahir dengan tali pusar melilit tubuhnya? Dalam Primbon Jawa, kondisi bayi yang terlahir dengan tali pusar melilit tubuh bisa berarti beberapa hal.Masyarakat Jawa tradisional meyakini kondisi tersebut bisa menunjukkan karakter atau nasib bayi mendatang saat dewasa.
Bagi orang Sunda, memukul lesung padi merupakan kebiasaan buhun alias warisan nenek moyang yang mulai jarang dilakukan.
Usut punya usut tradisi ini merupakan bentuk komunikasi antar warga saat posisi bulan tidak terlihat secara sempurna.
Lantas bagaimana kisah di balik tradisi yang dikenal bernama Tutunggulan ini? Berikut informasi selengkapnya.
Tradisi Tutunggulan
Mengutip Instagram @napakjagatpasundan, seni Tutunggulan merupakan tradisi memukul alat lesung dengan alu.
Alu merupakan alat penumbuk berbahan kayu atau bambu, sedangkan lesung merupakan wadah mirip perahu yang terbuat dari batang kayu utuh untuk wadah padi.
Jika diartikan ke dalam bahasa Sunda, Tutunggulan memiliki arti membunyikan lesung menggunakan alu yang dipukul-pukulkan sesuai iringan nada tertentu.
Tradisi ini dahulu banyak berkembang di wilayah agraris Jawa Barat seperti, Cianjur, Tasikmalaya hingga Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat.
Dimainkan Oleh Kalangan Ibu
Menurut laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), Tutunggulan tak boleh sembarangan dimainkan.
Sejak dahulu kala, seni ini wajarnya dilakukan oleh kaum perempuan, terutama kalangan ibu-ibu sebagai tradisi pertanian dan woro-woro untuk warga.
- Kisah di Balik Pesona Danau Batur Bali, Ada Manusia Raksasa yang Porsi Makannya Setara 1.000 Orang Biasa
- Kisah Sepasang Pengantin Jadi Dua Pohon Raksasa di Umbul Leses Boyolali, Konon Jika Akarnya Menyatu Kembali Jadi Manusia
- Kisah Burung Berpangkat Letnan Paling Berjasa Bagi Pejuang Indonesia Sampai Tewas Ditembak di Hadapan Komandan
- Kisah Unik Desa Sinar Bandung di Lampung, Warganya 90% Sunda dan Pendukung Setia Persib
Tak jarang kesenian ini dimainkan sembari mengubah padi menjadi beras, dan dilakukan secara bersama-sama.
Tiga sampai empat perempuan akan memukul lesung dan menumbuk padi menggunakan irama tertentu.
Terdapat lagu-lagu atau sajak yang dipersembahkan untuk menghormati Nyi Pohaci, atau dewi kesuburan alam dari Jawa Barat.
Di samping itu, fungsinya juga untuk tradisi saat terjadi gerhana bulan.
Bentuk Komunikasi Orang Sunda Zaman Dulu
Masyarakat Sunda percaya jika fenomena gerhana bulan akan membawa suatu dampak ke kehidupan.
Tutunggulan kemudian menjadi cara mengabarkan fenomena gerhana bulan ke seluruh warga agar diketahui bersama.
Ketika ini dibunyikan, warga akan berduyun-duyun ke luar rumah dan berkumpul di rumah warga atau di suatu tempat yang membunyikan alu ke lesung tersebut.
Mengutip jurnal karya Wulandari, Cahyana dan Asep dari Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung berjudul “Perkembangan Seni Tutunggulan di Kampung Sambawa Kabupaten Tasikmalaya”, tradisi ini bernama “Mapag Bulan” atau menjemput bulan.
Setelah membunyikan Tutunggulan, warga meyakini jika gerhana bulan akan berakhir, dan warga tidak kembali resah.
Fenomena gerhana bulan sendiri dikenal dengan istilah Samaghana oleh masyarakat Sunda. Fenomena ini kental pengaruhnya kepada ibu hamil, sehingga harus dilindungi dan disembunyikan di kolong tempat tidur atau di ruangan yang dianggap aman.
Melindungi Ibu Hamil
Ada banyak kepercayaan jika ibu hamil terpapar gerhana. Pertama, bayi yang lahir nantinya akan berkulit putih pucat (albino).
Lalu fenomena ini juga akan mempengaruhi psikologis sang ibu, karena gerhana ini menciptakan kondisi gelap yang mengagetkan.
Tutunggulan lantas menjadi alat komunikasi, untuk mengabarkan fenomena tersebut kepada masyarakat, sebelum adanya teknologi pengeras suara.
Dengan dibunyikannya ini, konon bisa melindungi ibu hamil dari dampak kemunculan gerhana bulan.