Fakta Menarik Tenun Gedogan Indramayu, Warnanya Teduh dan Gambarkan Perjalanan Hidup Manusia
Tenun tersebut masih diproduksi secara tradisional di Desa Juntikebon, Kecamatan Juntinyuat, Indramayu.
Tenun tersebut masih diproduksi secara tradisional di Desa Juntikebon, Kecamatan Juntinyuat, Indramayu.
Fakta Menarik Tenun Gedogan Indramayu, Warnanya Teduh dan Gambarkan Perjalanan Hidup Manusia
Kain tenun selama ini lumrah dijumpai di tanah Lombok dan wilayah luar pulau Jawa. Namun jangan salah, karena Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, juga memiliki kain tradisional tersebut bernama tenun gedogan.
Tenun tersebut masih diproduksi secara tradisional di Desa Juntikebon, Kecamatan Juntinyuat oleh beberapa warga. Alatnya juga masih digerakkan menggunakan tenaga manusia, dan terbuat dari unsur kayu.
-
Kapan Alun-alun Puspa Wangi Indramayu diresmikan? Sebelumnya alun-alun ini diresmikan pada Jumat (9/2) lalu, setelah direnovasi sejak 19 Mei 2021.
-
Apa yang dikeluhkan nelayan Indramayu kepada Ganjar Pranowo? "Ada bajak laut," kata nelayan.Berdasarkan pengakuannya, nelayan itu menyetor mulai Rp3 juta hingga Rp5 juta setiap minggunya. "Orang biasa seperti saya, cuma baik keamanannya kalau ada masalah," ujar nelayan.
-
Siapa yang Ganjar Pranowo temui saat di Indramayu? Calon presiden (capres) nomor urut tiga, Ganjar Pranowo mendengarkan pengakuan mengejutkan saat berdialog dengan dari nelayan Indramayu.
-
Apa itu Kain Tenun Ikat Inuh? Setiap kerajinan tradisional di Indonesia telah menjadi ciri khas dan identitas masyarakat di suatu daerah. Salah satu kerajinan tradisional yang sudah menjadi ciri atau identitas masyarakat yaitu Kain Tenun Ikat Inuh berasal dari Lampung Selatan dari adat Sai Batin.
-
Apa yang menjadi ciri khas perahu nelayan Indramayu? Perahu buatan nelayan Indramayu dikenal tangguh dan kokoh.
-
Kapan Gege meninggal? Joe atau Juhana Sutisna dari P Project mengalami duka atas meninggalnya putra kesayangannya, Edge Thariq alias Gege, pada pertengahan Mei 2024.
Keunikan tenun tersebut terdapat di warnanya yang teduh (kalem), dengan beberapa motif yang mengisahkan perjalanan hidup manusia. Yang menarik, kain tenun khas kota mangga ini juga memiliki fungsinya masing-masing.
Sayangnya seiring perkembangan zaman, para pelestarinya kian berkurang dan saat ini hanya tersisa beberapa gelintir yang rata-rata usianya terbilang sepuh. Apa saja sisi menarik dari tenun gedogan? Berikut informasinya.
Punya Warna yang Teduh
Jika kebanyakan kain tenun dibuat dengan warna yang mencolok, namun warga Juntikebon justru menambahkan variasi warna teduh.
(Foto: Kemdikbud)
Warna ini tidak mencolok, dan cenderung kalem sehingga nyaman dilihat.
Mengutip situs Diskominfo Indramayu, beberapa warna tersebut di antaranya pastel, merah marun, hitam, hitam hijau dan lain sebagainya.
Beberapa lainnya juga memiliki ornamen rumbai benang, yang terlihat seperti sapu dan terbilang langka. Warga sehari-hari biasanya membuat satu hingga tiga kain, tergantung pesanan pelanggan.
Gunakan Alat Tenun Tradisional
Kemampuan menenun didapatkan warga dari orang tua mereka di zaman dulu. Proses penyatuan benang akan dibantu dengan alat bernama gedogan yang seluruhnya terbuat dari kayu.
Pertama, benang akan dikerek ke pajal atau gulungan besar dengan durasi sekitar 1 jam. Benang pertama ini merupakan dasar atau dinamakan benang pakan.
Kemudian, terdapat benang dengan ukuran lebih kecil dan memiliki warna berbeda yang juga digulung kluntung atau gulungan kecil.
Selanjutnya, diperlukan waktu yang sangat lama, yakni penyatuan benang memakan waktu satu sampai dua hari, sebelum dilanjutkan dengan ditenun menggunakan gedogan selama kurang lebih satu minggu.
- Berkunjung ke Kampung Tenun Samarinda, Merajut Tradisi Warisan Leluhur
- Fakta Jalan Legendaris Gunung Gelap di Garut, Warga Tak Berani Melintas saat Malam hingga Konon Jadi Tempat Pembuangan Mayat
- Terbentuk dari Letusan Gunung Berapi, Simak Fakta Menarik Danau Maninjau di Sumatra Barat
- Sisi Menarik Jaka Sembung, Tokoh Fiksi Indramayu yang Benci Penjajahan dan Berhasil Kalahkan Ilmu Rawa Rontek
Dikerjakan oleh Perempuan
Mengutip situs kebudayaan.kemdikbud.go.id, tenun ini biasanya dikerjakan oleh perempuan di sela aktivitasnya.
(Foto: Disparbud Jabar)
Mereka mengerjakannya di dalam rumah atau bahkan di halaman depan dan bawah pohon mangga.
Terdapat dua jenis penenun, yakni tetap dan sambilan. Perajin murni, menenun dalam dua paruh waktu, yakni pagi sekitar pukul 09.00- 11.00 WIB dan siang hari pukul 13.00-15.00 WIB. Antara pukul 11.00-13.00 WIB istirahat.
Adapun penamaan gedogan berasal dari bunyi alat tenun saat menyambungkan benang satu ke benang lainnya, yakni “gedog..gedog..gedog”.
Motif dan Fungsi Kain Gedogan
Motif kain gedogan bermacam-macam, ada yang bertema alam dan sekitarnya. Namun juga, jenis kain tersebut akan disesuaikan dengan fungsi dan penggunaannya dalam adat Indramayu zaman dulu.
Mengutip jurnal Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung berjudul: “Mitos Tenun Gedogan Indramayu sebagai Sistem Kebudayaan Masyarakat Juntikebon” terdapat beberapa fungsi tenun yakni motif babaran berwarna polos merah muda biasanya digunakan untuk mengikat perut ibu yang baru melahirkan, lalu motif Kluwungan adalah selendang tenun berukuran 30 x 150 cm dengan dominasi warna coklat, kuning, dan hitam.
Selanjutnya ada motif Poleng Mentisa yang biasa digunakan sebagai kain pembungkus benda pusaka milik Ki Gedé (leluhur desa yang dihormati). Ukuran kain tersebut adalah 85 x 85 cm, dengan dominasi warna merah, dipadukan dengan warna hijau serta garis-garis kecil berwarna putih.
Motif Udan Mas Prambutan adalah kain tenun gedogan berukuran 98 x 260 cm yang memiliki garis-garis kecil di seluruh permukaannya. Tenun ini menggabungkan warna merah muda terang dan merah muda memudar, dan digunakan secara khusus sebagai kain penutup jenazah, serta beberapa motif lainnya.
Gambarkan Kehidupan Manusia
Siklus kehidupan manusia digambarkan melalui motif-motif pada kain tenun gedogan.
(Foto: indramayukab.go.id)
Pertama, motif Babaran melambangkan kelahiran, mengisahkan interaksi manusia dengan Tuhan di alam rahim.
Selanjutnya, motif Kluwungan mewakili masa kanak-kanak, di mana anak harus diruwat untuk menghilangkan kesialan. Orang tua menyediakan kain Kluwungan dan mengadakan pertunjukan wayang kulit dengan lakon 'Murwakala' untuk keselamatan anak, karena mengabaikannya dianggap bisa mendatangkan musibah.
(Foto: Alat tenun Gedogan/Kemdibud)
Simbol kehidupan berikutnya terlihat dalam motif Poléng Méntisa yang menggambarkan amanat leluhur dari Ki Gede kepada warga Juntikebon. Motif ini mengajarkan pentingnya menghormati pesan leluhur demi terwujudnya kehidupan yang harmonis dan sejahtera di desa.
Terakhir, motif Udan Mas Prambutan digunakan sebagai penutup jenazah, menyimbolkan akhir kehidupan. Motif ini menggambarkan kemuliaan dan harapan keselamatan bagi arwah, sejalan dengan ajaran agama Islam yang mengingatkan manusia akan Tuhan sebagai bekal menuju akhirat.