Kisah Pangeran Madrais, Pendiri Agama Sunda Wiwitan di Jawa Barat
Dalam kisahnya, Madrais yang lahir pada tahun 1822 ini merupakan sosok yang dianggap kontroversial karena berlawanan ajaran dengan Sunan Gunung Jati. Madrais konon masih merupakan keturunan dari salah satu Walisongo tersebut.
Jika di Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur kita mengenal istilah kejawen, di Provinsi Jawa Barat ternyata juga terdapat sebuah agama warisan leluhur bernama Sunda Wiwitan.
Agama yang juga kerap disebut sebagai Djawa Soenda tersebut merupakan kepercayaan yang banyak dianut oleh masyarakat di Jawa Barat, khususnya di Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan.
-
Apa yang dimaksud dengan "jodoh kembar" dalam tradisi Jawa? Menurut kepercayaan Jawa, anak kedua dan anak ketiga disebut sebagai "jodoh kembar" atau "lurah wracikan". Mereka diyakini dibawa oleh takdir sebagai pasangan yang sempurna satu sama lain.
-
Kenapa tradisi ruwatan dilakukan di Jawa? Masyarakat Jawa masih rutin melaksanakan tradisi tersebut sebagai bentuk penyucian diri. Masyarakat Jawa memiliki beragam jenis ritual yang sampai sekarang masih rutin dilakukan. Salah satunya adalah tradisi ruwatan yang merupakan ritual penyucian untuk membebaskan seseorang dari hukuman yang berbahaya.
-
Di mana urap jawa biasanya disajikan dalam budaya Jawa? Hidangan ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari masakan Indonesia dan sering ditemukan di berbagai acara tradisional dan perayaan kebudayaan.
-
Kenapa memberi ucapan Lebaran Bahasa Jawa punya makna mendalam dalam budaya Jawa? Memberi kata-kata Lebaran bahasa Jawa memiliki makna yang mendalam dalam budaya dan tradisi Jawa. Bahasa Jawa memiliki kekayaan kata dan ungkapan yang memperkuat nilai-nilai kekeluargaan, kesopanan, dan kebersamaan. Dalam budaya Jawa, memberi ucapan selamat Lebaran tidak sekadar menjadi tanda hormat atau sopan santun, tetapi juga merupakan wujud penghargaan terhadap hubungan sosial yang terjalin.
-
Bagaimana tradisi minum teh tawar berkembang di Jawa Barat? Kebiasaan minum teh sejak masa kolonial ini kemudian terus berlanjut sampai masa sekarang. Sebagian besar warga Jawa Barat akan menyuguhkan para tamunya dengan teh tawar.
-
Kapan tradisi minum teh tawar dimulai di Jawa Barat? Diketahui kebiasaan ini bermula di Jawa Barat sejak zaman kolonial. Kala itu, tahun 1700 an, seluruh wilayah parahyangan mulai ditanami teh oleh pemerintah Belanda sebagai salah satu komoditas penyokong ekonomi.
Sunda Wiwitan pertama dikenalkan oleh seorang tokoh bernama Sadewa Alibasa Koesoema Widajayaningrat atau lebih sering disebut sebagai Pangeran Madrais. Dilansir dari wikipedia, Ia merupakan anak dari Pangeran Alibasa (Pangeran Gebang yang kesembilan) dari pernikahannya dengan R. Kastewi, keturunan kelima dari Tumenggung Jayadipura Susukan.
Dalam kisahnya, Madrais yang lahir pada tahun 1822 ini merupakan sosok yang dianggap kontroversial karena berlawanan ajaran dengan Sunan Gunung Jati. Madrais konon masih merupakan keturunan dari salah satu Walisongo tersebut.
Nama Madrais sendiri ia dapatkan ketika remaja. Saat itu teman-teman di pesantrennya kesulitan menyebut nama Muhammad Rais sehingga sering disingkat menjadi Madrais.
Sempat Dianggap Anak Tidak Sah
Dilansir dari historyofcirebon, Madrais merupakan putra dari Pangeran Keraton Gebang bernama Alibassa Koesoema Widjajaningrat dan seorang perempuan bernama Nyi Kastewi.
Sejak lahir, Ia tidak pernah bertemu dengan sang ayah yang telah lama pergi dan tidak kembali. Namun ada juga versi yang menyebut jika Ia merupakan anak yang lahir dari hubungan di luar nikah orang tuanya.
Hal itu bermula ketika Keraton Gebang mewajibkan setiap daerah otoritasnya untuk mengirimkan seorang laki-laki sebagai pengabdi di area kerajaannya.
Namun saat itu ada salah satu desa bernama Susukan tidak mengirimkan perwakilan laki-lakinya sehingga membuat masyarakat di sekitar kerajaan murka. Akhirnya dengan alasan yang masih belum diketahui, Kepala Desa Susukan pun mengutus seorang perempuan bernama Nyi Kastewi.
Hal tersebut merupakan bentuk permintaan maaf Desa Susukan terhadap Keraton Gebang. Sosoknya yang cantik membuat Pangeran Alibassa pun tertarik sehingga ia menyatakan perasaannya ke Nyi Kastewi yang saat itu menjadi abdi dalem di Keraton Gebang.
Semakin lama hubungan keduanya semakin erat hingga suatu ketika Nyi Kastewi pun hamil. Untuk menghindari hukum adat, Pangeran Alibassa pun bersiasat dengan menyebut jika Nyi Kastewi dihamili oleh makhluk gaib.
Sebagai upaya agar keselamatan anak dan Nyi Kastewi terjamin, Alibassa pun meminta bawahannya, Ki Sastrawardana, untuk menikahi Nyi Kastewi. Ki Sastrawardana sendiri merupakan tokoh dari Desa Cigugur di Kuningan di mana agama tersebut nantinya berkembang.
Namun ada juga versi lainnya yang menyebut jika Madrais merupakan anak dari perkawinan sah antara Pangeran Alibassa dan Nyi Kastewi.
Belajar Agama Islam di Banyak Pondok Pesantren
Saat kanak-kanak, Madrais sempat menuntut ilmu di pondok pesantren hingga membuat dirinya begitu menyukai berbagai ajaran tentang agama Islam. Sebelumnya Ia sempat diasuh oleh Ki Sastrawardana yang merupakan ayah angkatnya. Ia kemudian dibawa oleh oleh orang tua Nyi Kastewi.
Ia pun disematkan nama Muhammad Rais dan kemudian dimasukkan ke pesantren. Saking tertariknya dengan dunia pesantren, Ia berpindah ke banyak pondok pesantren hanya untuk memperdalam ajaran Islam.
Namun saat usia remaja, kegemarannya mulai teralihkan dengan adanya ilmu kanuragan serta hal-hal yang berbau mistis di pesantren-pesantren tersebut. Sejak saat itu Ia pun mulai beralih ke ajaran tersebut.
Kontroversi Ajarannya
Awal mula ketertarikannya dengan ajaran baru tersebut didasarkan bahwa ia merasa mendapatkan wahyu saat melakukan perenungan, sehingga Madrais terus memperdalam ajaran kanuragannya tersebut. Ia pun kemudian menggabungkan seluruh ilmu kebatinan yang diperoleh dari pesantren-pesantren di Pulau Jawa.
Selanjutnya Ia pun kembali ke Cigugur dan mendirikan padepokan sendiri. Di sana Madrais melakukan kegiatan dakwah sembari mengenalkan ajaran yang Ia dapatkan dari kegiatan menjelajah pesantren itu.
Ketika itu ajarannya banyak disukai masyarakat setempat. Namun saat menyampaikan tentang agama Islam, Ia pun lebih banyak menyampaikan sisi mistiknya, salah satunya menyembuhkan orang sakit dengan kekuatan gaib dan juga meramal.
Ajaran yang dibawa Madrais juga mengajarkan para pengikutnya agar mengkafani orang yang telah meninggal dengan kain kafan hitam. Pengikutnya juga diajarkan ketika sakaratul maut mereka harus mengucapkan "Wajoh Lawan" yang artinya ayo lawan agar menunda kematian.
Sejak itu kalangan ulama setempat menganggap ajaran Madrais telah melenceng jauh dan tidak sesuai dengan syariat Islam.
Lahirnya Agama Djawa Sunda/Sunda Wiwitan
Logo Agama Djawa Soenda/Sunda Wiwitan Madrais
©2020 Wikipedia/editorial Merdeka.com
Anggapan itu pun membuat Madrais menyatakan diri keluar dari Islam dan mematenkan ajarannya ke Raden Muhammad Ahmad yang saat itu menjabat sebagai Bupati Kuningan.
Kemudian permohonan tersebut diteruskan kepada Residen Cirebon di bawah pimpinan RPM Van De Meer serta Gubernur Jendral Hindia Belanda, Dirk Fock.
Kemudian pada 6 Oktober 1925, Agama Djawa Soenda pun lahir. Madrais memberikan nama tersebut lantaran Ia menggabungkan ajaran tata cara beribadah, Kebatinan, filosofis, serta budaya masyarakat Jawa dengan tradisi leluhur Sunda di masa lampau.
(mdk/nrd)