Memahami Rukun Puasa dan Syarat Sahnya, Wajib Tahu
Sebelum menjalankan ibadah puasa, ada baiknya kita memahami apa saja rukun puasa dan juga syarat-syarat sahnya.
Salah satu bekal yang harus kita perhatikan saat puasa Ramadhan adalah ilmu. Ibnu Qayyim rahimahullah pernah berkata,
“Orang yang beramal tanpa ilmu bagai orang yang berjalan tanpa ada penuntun. Sudah dimaklumi bahwa orang yang berjalan tanpa penuntun tadi akan mendapatkan kesulitan dan sulit bisa selamat. Taruhlah ia bisa selamat, namun itu jarang. Menurut orang yang berakal, ia tetap saja tidak dipuji bahkan dapat celaan.”
-
Apa itu Puasa Rajab? Salah satu amalan sunnah yang identik dengan bulan Rajab adalah Puasa Rajab, yaitu puasa sunnah yang dikerjakan selama bulan Rajab.
-
Apa itu puasa Rajab? Puasa Rajab merupakan salah satu puasa sunnah yang dilakukan pada Bulan Rajab dan bisa dimulai sejak tanggal 1 Rajab.
-
Apa saja keutamaan puasa Rajab? Keutamaan puasa Rajab pertama adalah sehari berpuasa lebih utama dibandingkan dengan berpuasa 30 hari pada bulan lainnya, kecuali bulan Ramadhan.
-
Kapan puasa Arafah jatuh? Puasa Arafah dilaksanakan pada hari ke-9 bulan Dzulhijjah, sehari sebelum Idul Adha.
-
Kenapa Padi Salibu dilirik Pemprov Jabar? Padi dengan teknologi salibu saat ini tengah dilirik Pemprov Jabar sebagai upaya menjaga ketahanan pangan.
-
Kapan Puasa Rajab dilakukan? Waktu yang diutamakan untuk mengamalkan Puasa Rajab adalah pada ayyamul bidh atau pertengahan bulan.
Kemudian ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz juga mengatakan,
“Siapa yang beribadah kepada Allah tanpa didasari ilmu, maka kerusakan yang ia perbuatan lebih banyak daripada maslahat yang diperoleh.” (Majmu’ Al Fatawa).
Tapi, ilmu apa saja yang perlu disiapkan sebelum puasa?
Sebagai umat Islam tentu kita tahu jika puasa berarti menahan lapar, dahaga, dan nafsu mulai dari terbitnya hingga terbenamnya matahari. Namun ilmu tentang puasa tak cukup sampai di situ. Apa yang dapat membatalkan dan apa yang diperbolehkan saat puasa juga mesti kita tahu.
Selain itu, kita juga harus tahu apa saja rukun puasa dan syarat sahnya agar ibadah yang dijalankan lebih sempurna.
Meski sudah biasa menjalankan puasa Ramadhan di setiap tahunnya, tidak sedikit orang yang bingung dengan rukun puasa dan syarat sahnya. Dilansir dari rumaysho.com, berikut merdeka.com ulas apa saja rukun puasa dan syarat sahnya.
Rukun Puasa
Berdasarkan pada kesepakatan ulama, rukun puasa ada dua, yang keduanya harus dikerjakan saat berpuasa, yaitu niat dan menahan diri dari berbagai pembatal puasa mulai dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari.
Niat
Rukun puasa yang pertama adalah niat. Berkaitan dengan hal ini, hadis dari ‘Umar bin Khottob menjelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Niat puasa Ramadhan penting untuk dilafalkan agar dapat membedakan puasa wajib ini dengan puasa sunnah. Anda bisa melafalkannya cukup dalam hati, dan tidak perlu sampai di lisan.
Imam Nawawi berkata,
“Tidaklah sah puasa seseorang kecuali dengan niat. Letak niat adalah dalam hati, tidak disyaratkan untuk diucapkan. Masalah ini tidak terdapat perselisihan di antara para ulama.”
Untuk puasa Ramadhan, niat harus dibaca pada malam hari. Jika niat puasa wajib dilakukan sebelum tenggelamnya matahari atau setelah masuk waktu fajar (Subuh), maka tidaklah sah puasanya. Kewajiban berniat di malam hari adalah berdasarkan hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma dari Hafshoh –istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang tidak berniat sebelum fajar (Shubuh), maka puasanya tidak sah.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, dan An Nasa’i).
Menahan Diri
Rukun puasa yang kedua yaitu menahan diri dari segala pembatal puasa mulai dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Terkait dengan kewajiban untuk menahan diri ini, Allah SWT telah berfirman,
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187).
Syarat Sahnya Puasa
Syarat wajibnya puasa terdiri dari: (1) islam, (2) berakal, (3) sudah baligh, dan (4) mengetahui akan wajibnya puasa. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah).
Kemudian ada syarat wajib penunaian puasa, yaitu ketika seseorang dalam kondisi dan waktu tertentu, maka ia diwajibkan untuk berpuasa. Syarat wajibnya penunaian puasa adalah sebagai berikut:
(1) Sehat, tidak dalam keadaan sakit.
(2) Menetap, tidak dalam keadaan bersafar. Dalil kedua syarat ini adalah firman Allah Ta’ala,
“Dan barangsiapa yang dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” (QS. Al Baqarah: 185).
Kedua syarat ini termasuk syarat wajib penunaian puasa, dan bukan syarat sahnya puasa atau syarat wajibnya qodho’ puasa. Karena syarat wajib penunaian puasa bisa gugur ketika orang tersebut sakit atau sedang bersafar. Ketika mereka tidak berpuasa di saat itu, mereka diwajibkan untuk mengqodho’ berdasarkan kesepakatan para ulama. Namun jika mereka masih mampu untuk berpuasa dalam keadaan tersebut, maka puasanya tetap sah.
(3) Suci dari haidh dan nifas. Dalil dari syarat ini adalah hadis dari Mu’adzah, ia pernah bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Hadits tersebut adalah,
Dari Mu’adzah dia berkata, “Saya bertanya kepada Aisyah seraya berkata, ‘Kenapa gerangan wanita yang haid mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’ shalat?’ Maka Aisyah menjawab, ‘Apakah kamu dari golongan Haruriyah? ‘ Aku menjawab, ‘Aku bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.’ Dia menjawab, ‘Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat’.” (HR. Muslim).
Berdasarkan kesepakatan para ulama, wanita yang dalam keadaan haidh dan nifas tidak wajib untuk puasa dan wajib mengqodho’ puasanya.
Lalu, bagaimana dengan syarat sahnya puasa?
Syarat sahnya puasa ada dua, yaitu:
- Dalam keadaan suci dari haidh dan nifas.
- Berniat. Niat merupakan syarat sah puasa karena ibadah tidaklah sah kecuali dengan niat sebagaimana ibadah yang lain. Dalil dari hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Sesungguhnya setiap amal itu tergantung dari niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).