Padukan Gaya China dan Arab, Intip Keunikan Masjid Panjunan Cirebon yang Syarat Makna
Bahkan sejak zaman dulu, lokasi tersebut kerap dijadikan sebagai tempat musyawarah hingga menjadi simbol perpaduan dua budaya yakni Timur Tengah dan Tionghoa. Terlihat dari artefak yang ada di setiap titik bangunan utamanya.
Sebagai salah satu kawasan wisata religi, Kota Cirebon memiliki beragam destinasi unik yang eksotis. Salah satunya dengan kisah Islam di masa lalu yang kuat seperti Masjid Merah Panjunan.
Sebagai tempat beribadah, masjid merah ini memiliki segudang artefak yang tak bisa dilepaskan dari sejarah perkembangan Islam di Cirebon.
-
Kenapa kasus Vina Cirebon ditarik ke Polda Jabar? Kemudian ramai itulah yang kemudian kasus ini ditarik ke Polda Jabar. Jadi sesama tahanan saling pukul sehingga membuat mereka lebam-lebam," ucap dia.
-
Bagaimana teks proklamasi dibacakan di Cirebon? Pembacaan teks proklamasi di Tugu Kejaksan itu dilakukan spontan,” kata pemerhati sejarah dan budaya Cirebon Jajat Sudrajat.
-
Di mana teks proklamasi dibacakan di Cirebon? Teks proklamasi kemerdekaan Indonesia ternyata lebih dulu dibacakan di Kota Cirebon, Jawa Barat. Pembacaannya dilakukan oleh tokoh penting bernama Soedarsono di Simpang Kejaksan, yang kini lebih dikenal dengan Tugu Pensil.
-
Kapan teks proklamasi dibacakan di Cirebon? Pembacaan proklamasi kemerdekaan Indonesia di Cirebon dua hari lebih awal dari yang dilakukan oleh Soekarno, yakni pada 15 Agustus 1945.
-
Siapa yang membacakan teks proklamasi di Cirebon? Pembacaan proklamasi kemerdekaan oleh Soedarsono dihadiri oleh sekitar 100 sampai 150 orang dari berbagai penjuru di kota pesisir Jawa Barat itu.
-
Kapan Sunan Gunung Jati tiba di Cirebon? Setelah menuntut ilmu di Makkah, Syarif Hidayatullah berangkat ke Nusantara. Ia mampir di Gujarat dan Kerajaan Samudra Pasai sebelum akhirnya tiba di Cirebon pada tahun 1470 Masehi.
Bahkan sejak zaman dulu, lokasi tersebut kerap dijadikan sebagai tempat musyawarah hingga menjadi simbol perpaduan dua budaya yakni Timur Tengah dan Tionghoa. Terlihat dari artefak yang ada di setiap titik bangunan utamanya.
Seperti apa kisah unik dari tempat ibadah yang dikenal sebagai Masjid Merah Cirebon itu?
Menyimbolkan Dua Bangsa yang Berpengaruh di Cirebon
Jika dilihat dari bentuk bangunannya, desain masjid tersebut konon terdapat pengaruh dari dua bangsa yakni Arab dan Tionghoa. Hal tersebut turut dibenarkan Edi, salah seorang pemandu di wisata religi Masjid Panjunan.
Menurut Edi, bangunan masjid ini dibangun pada abad ke 15 oleh etnis Arab. Hal tersebut ditandai dengan dua bentuk bangunan yang berbeda dan terlihat mencolok. Di bagian depan menyerupai klenteng, sedangkan di dalamnya bergaya khas Timur Tengah. Desain ini dimaksudkan sebagai simbol dari Putri Ong Tin yang merupakan istri Sunan Gunung Jati dan berasal dari Tionghoa.
"Filosofinya antara kedua bangsa yang membangun Cirebon berjalan beriringan ditandai juga dengan bangunan tembok masjid yang terdapat piring-piring dari China usianya sudah mesjid sampai 700 tahun," paparnya.
Simbol Kerendahan Hati
Selain dilihat dari bentuk bangunannya, penggambaran dua tradisi ini juga terlihat dari ukuran pintu yang mengarah masuk ke dalam ruangan.
Di Masjid Panjunan, pintu masuknya dibuat dengan ukuran kecil. Kata Edi, itu dimaksudkan sebagai bentuk kerendahan hati dari para jemaah yang hendak beribadah agar menunduk. Sifat menunduk merupakan lambang kerendahan hati umat manusia saat akan menghadap Allah.
Kemudian, jumlah tiang penyangga juga diketahui berjumlah 17 buah, sebagai upaya memaknai jumlah rakaat salat lima waktu dalam satu hari.
Asal Usul Masjid Merah Panjunan
Mengacu pada perkataan almarhum Nurdin M Noor, selaku budayawan Cirebon, pembangunan masjid ada pengaruhnya dengan kedatangan etnis Arab ke dataran bernama Yawa Dwipa atau Jawa Dwipa yang disebut sebagai Pulau Jawa.
Saat itu, bangsa Timur Tengah yang datang adalah Syarif Abdurakhim, Syarif Kahfi, dan Syarifah Bagdad. Mereka sampai ke Cirebon dan belajar Agama dengan Syekh Nurjati di Pesambangan Gunung Jati.
Kemudian, mereka diperkenalkan kepada Pangeran Cakrabuwana (Walasungsang) yang merupakan pemimpin wilayah Cirebon pada saat itu. Cakrabuwana memerintahkan ketiganya membangun pemukiman di wilayah Panjunan yang saat ini masih dikenal sebagai Kampung Arab.
"Kalau Syarif Abdurakhman dikenal dengan nama Pangeran Panjunan yang membangun Masjid Merah, sementara Syarif Abdurakhmin dikenal dengan nama Pangeran Kejaksan," ujarnya.
Setelah ketiganya diterima dengan baik dan diberi wewenang untuk memimpin wilayah tersebut, mereka berinisiatif bertemu Pangeran Cakrabuwana. Tak sendiri, mereka bersama sejumlah tokoh setempat yakni Syekh Datuk Kahfi, Syekh Majagung, Syekh Maghridbi dan para gegedeng, datang untuk meminta izin pembangunan surau.
Dengan mengemban amanah sebagai Nata Cirebon yang memangku Keraton Pakungwati, mereka berhasil membangun rumah ibadah kedua di kawasan Panjunan. Sebelumnya, sebuah masjid telah berdiri dengan nama Masjid Pejlagrahan, di Kampung Siti Mulya (sebelah timur Keraton Kasepuhan).
"Disebut Masjid Merah atau Abang dalam bahasa Jawa Cirebon, karena seluruh bangunannya terbuat dari bata merah," ujar Nurdin dalam catatannya.
Tempat Bermusyawarah Para Pendahulu
©2021 kebudayaan.kemdikbud.go.id/Merdeka.com
Sementara itu, di masa lalu Masjid Merah Panjunan juga kerap digunakan untuk merumuskan suatu gagasan yang dilakukan oleh para tokoh pendahulu di wilayah Cirebon.
Nurdin menambahkan, di waktu salat masyarakat Kota Cirebon telah memeluk Islam melaksanakan ibadah di sana. Selain itu, Masjid Merah Panjunan juga kerap digunakan untuk keperluan pengajian hingga perumusan sebuah musyawarah di masa Sunan Gunung Jati.
"Pada pintu masuk dibangun sepasang candi bentar dan pintu panel jati berukir," ucap Nurdin.