5 Mitos dan Fakta Mengenai Perundungan, Penting Dipahami
Terdapat berbagai mitos dan fakta mengenai perundungan yang perlu dipahami masyarakat.
Bullying atau perundungan adalah masalah serius yang terjadi di masyarakat. Isu ini harus mendapatkan perhatikan dari banyak pihak. Terlebih, anak-anak yang duduk di bangku sekolah rentan menjadi pelaku maupun korban dari perundungan.
Dengan begitu, penting bagi masyarakat untuk meningkatkan kesadaran tentang masalah ini. Salah satunya memahami mitos dan fakta mengenai perundungan, agar tidak percaya dengan anggapan-anggapan yang salah. Berikut, kami rangkum berbagai mitos dan fakta mengenai perundungan yang perlu disimak.
-
Apa mitos yang berkembang tentang kejatuhan cicak di punggung? Mitos kejatuhan cicak di punggung sebagai pertanda kehancuran telah lama dipercaya di masyarakat. Pada dasarnya, kejatuhan cicak di punggung dianggap sebagai pertanda yang buruk, sedangkan kejatuhan di pantat dianggap sebagai pertanda baik.
-
Apa saja mitos penanganan serangan jantung? Mitos ditepuk punggungnya, jari ditusuk agar keluar darah itu tidak tepat, karena bisa memperlama waktu untuk dibawa ke rumah sakit.
-
Apa saja mitos yang umum dipercaya tentang kejatuhan kotoran cicak? Beberapa mitos umum tentang kejatuhan kotoran cicak melibatkan ramalan keberuntungan atau malapetaka. Sebagai contoh, ada yang percaya bahwa jika kotoran cicak jatuh ke tubuh seseorang, itu membawa keberuntungan atau tanda baik. Sementara itu, beberapa orang mungkin percaya bahwa kejatuhan kotoran cicak adalah pertanda buruk atau malapetaka.
-
Apa mitos yang beredar tentang menggendong bayi menangis? Menggendong bayi yang menangis bukanlah tindakan untuk memanjakan , tetapi justru merupakan suatu cara untuk menunjukkan kasih sayang kepada bayi.
-
Kapan mitos perkutut dianggap sebagai tanda perubahan cuaca? Beberapa orang percaya bahwa jika burung perkutut mulai berguncang dan bergerak gelisah, itu bisa menjadi tanda bahwa cuaca akan buruk atau ada hujan akan datang.
-
Bagaimana pandangan Islam mengenai mitos kejatuhan cicak? Secara historis, mitos kejatuhan cicak mungkin berasal dari kepercayaan dan budaya masyarakat tertentu, namun Islam tidak memberikan konotasi khusus atau makna religius terhadap kejatuhan cicak. Ajaran agama Islam mendorong umatnya untuk menggunakan akal sehat dan berpikir rasional dalam menghadapi kehidupan sehari-hari.
1. Bullying Itu Keren
Mitos dan fakta mengenai perundungan yang pertama, yaitu berkaitan dengan anggapan keren. Mitos yang sering beredar mengenai perundungan adalah bahwa tindakan tersebut dianggap sebagai sesuatu yang "keren" atau cara untuk menunjukkan kekuatan dan dominasi. Ada anggapan bahwa mereka yang melakukan perundungan memiliki status sosial yang lebih tinggi, dihormati oleh teman-temannya, atau dianggap lebih kuat. Hal ini mungkin muncul dari pandangan bahwa menjadi pelaku perundungan membuat seseorang tampak berkuasa atau menakutkan, dan oleh karena itu dihormati atau bahkan ditakuti oleh orang lain.
Namun, faktanya, perundungan bukanlah sesuatu yang keren, melainkan tindakan yang merugikan dan dapat menyebabkan dampak psikologis yang serius, baik bagi korban maupun pelakunya. Pelaku perundungan sering kali tidak dihormati, melainkan dihindari dan dibenci oleh orang-orang di sekitarnya. Perundungan juga menunjukkan kurangnya empati dan kontrol diri, yang sebenarnya menunjukkan kelemahan, bukan kekuatan. Selain itu, pelaku perundungan mungkin hanya menutupi rasa tidak amannya dengan menyakiti orang lain, dan pada akhirnya tindakan tersebut akan menciptakan lingkungan yang tidak sehat bagi semua orang.
2. Perundungan Bisa Mempererat Hubungan Pertemanan
Mitos dan fakta mengenai perundungan berikutnya berkaitan dengan anggapan pertemanan solid. Mitos yang beredar menyatakan bahwa perundungan dapat mempererat hubungan pertemanan, seolah-olah dengan bercanda berlebihan atau merendahkan teman, persahabatan akan menjadi lebih dekat. Beberapa orang menganggap bahwa tindakan seperti mengejek atau mempermalukan teman adalah bagian dari dinamika sosial yang normal dan bisa memperkuat ikatan pertemanan. Dalam beberapa kelompok, perilaku ini bahkan dianggap sebagai bentuk "keakraban" atau cara untuk menguji kedekatan antara teman.
Faktanya, perundungan justru dapat merusak hubungan pertemanan, bukan mempereratnya. Tindakan merendahkan, mengejek, atau mempermalukan seseorang, meski dalam konteks bercanda, dapat melukai perasaan dan menimbulkan rasa tidak nyaman. Lambat laun, hal ini bisa membuat korban perundungan merasa tidak dihargai dan kehilangan kepercayaan pada temannya. Hubungan yang sehat seharusnya didasarkan pada rasa saling menghormati dan empati, bukan pada kekerasan verbal atau emosional. Oleh karena itu, perundungan dalam bentuk apa pun tidak akan mempererat persahabatan, melainkan bisa menghancurkannya.
3. Bystander Tidak Bisa Melakukan Apa-Apa Itu Wajar
Mitos dan fakta mengenai perundungan berikutnya berkaitan dengan orang yang menjadi saksi. Mitos yang sering berkembang menyebutkan bahwa ketika seseorang menjadi bystander (orang yang menyaksikan perundungan), bersikap pasif dan tidak melakukan apa-apa adalah hal yang wajar. Ada anggapan bahwa tidak ikut campur dalam situasi perundungan dianggap aman atau tidak menambah masalah, bahkan beberapa orang merasa bahwa bukan tugas mereka untuk bertindak atau membantu. Mereka mungkin merasa takut menjadi target berikutnya atau berpikir bahwa pelaku perundungan harus dihadapi sendiri oleh korban.
Faktanya, menjadi bystander yang pasif justru dapat memperburuk situasi perundungan. Ketika tidak ada yang bertindak, pelaku perundungan bisa merasa semakin kuat dan berani untuk terus melakukan tindakan buruknya. Bystander memiliki kekuatan besar untuk mengubah situasi; dengan berbicara atau melaporkan kejadian kepada pihak yang berwenang, mereka dapat menghentikan perundungan dan mendukung korban. Sikap peduli dan berani dari seorang bystander dapat membantu menciptakan lingkungan yang lebih aman dan menghentikan siklus perundungan.
4. Bullying Memperkuat Mental
MItos dan fakta mengenai perundungan berikutnya berkaitan dengan mental. Mitos yang sering beredar adalah bahwa perilaku perundungan dianggap dapat memperkuat mental seseorang. Beberapa orang percaya bahwa dengan menghadapi ejekan, penghinaan, atau kekerasan, seseorang akan menjadi lebih tangguh secara mental dan lebih mampu menghadapi tantangan hidup di masa depan. Anggapan ini membuat pelaku perundungan merasa seolah-olah mereka sedang memberikan "pelajaran" yang akan bermanfaat bagi korban di kemudian hari.
Faktanya, perundungan justru merusak kesehatan mental dan emosional seseorang. Alih-alih memperkuat mental, perundungan dapat menimbulkan trauma, kecemasan, depresi, dan rasa tidak berharga pada korban. Tekanan psikologis yang terus-menerus dari perundungan bisa menghancurkan rasa percaya diri seseorang dan bahkan menyebabkan dampak jangka panjang yang serius. Mental yang kuat dibentuk melalui dukungan positif, bukan dengan kekerasan atau penghinaan. Lingkungan yang penuh empati dan saling mendukung jauh lebih efektif dalam membangun ketangguhan mental.
5. Bullying untuk Melestarikan Tradisi
Mitos dan fakta mengenai perundungan lainnya berkaitan dengan tradisi. Mitos yang beredar menyebutkan bahwa perilaku perundungan dianggap sebagai cara untuk melestarikan tradisi di suatu lingkungan, seperti dalam kegiatan ospek atau inisiasi kelompok tertentu. Beberapa orang percaya bahwa perlakuan kasar atau penghinaan adalah bagian dari "ritual" yang harus dijalani oleh anggota baru agar mereka dapat diterima dan diakui dalam kelompok. Anggapan ini sering kali dianggap sebagai proses pembentukan mental atau pengujian loyalitas yang sudah berlangsung lama, sehingga diikuti tanpa pertanyaan.
Faktanya, perundungan dalam bentuk apa pun, termasuk yang dibungkus dalam tradisi atau ritual, tidak dapat dibenarkan. Tradisi yang sehat seharusnya membangun rasa persaudaraan, saling menghormati, dan mendukung, bukan mempermalukan atau menyakiti orang lain. Perilaku perundungan dalam tradisi sebenarnya hanya menciptakan trauma, merusak hubungan antar anggota, dan membentuk budaya kekerasan yang berbahaya. Tradisi yang baik bisa dilestarikan tanpa harus melibatkan unsur kekerasan atau penghinaan, dengan fokus pada pengembangan karakter positif dan kerja sama yang lebih konstruktif.