Berawal dari Kebumen, Ini Sejarah Munculnya Trah Kolopaking
Kolopaking, sebuah nama yang disematkan oleh orang-orang tertentu, terdengar seperti sebuah marga yang berasal dari luar Jawa. Padahal sesungguhnya Kolopaking merupakan sebuah trah yang berasal dari tanah Jawa, tepatnya di daerah Kebumen, Jawa Tengah.
Kolopaking, sebuah nama yang disematkan oleh orang-orang tertentu, terdengar seperti sebuah marga yang berasal dari luar Jawa. Sebut saja nama Penyanyi Novia Kolopaking, Anita Kolopaking, Soemitro Kolopaking, dan Kolopaking-Kolopaking lainnya.
Padahal sesungguhnya nama Kolopaking muncul dari tanah Jawa, tepatnya di daerah Kebumen, Jawa Tengah. Bahkan di sana ada sebuah hotel mewah bernama Grand Kolopaking.
-
Kenapa Jaka merantau? Dengan penuh tekad, Jaka pun memutuskan untuk merantau ke negeri orang untuk mencari nafkah dan mewujudkan semua impian mereka berdua.
-
Kapan Beji Sirah Keteng dibangun? Mengutip Instagram @purbosasongko_dalang, Situs Beji Sirah Keteng dibangun pada masa pemerintahan Raja Sri Jayawarsa.
-
Apa yang diterima Pemprov Jateng dari Balai Bahasa? Pada Kamis (10/8), Pemprov Jateng menerima hibah dari Balai Bahasa berupa bangunan gedung permanen dan perangkatnya.
-
Bagaimana cara membuat Jenang Saren? Mengutip Kemdikbud.go.id, bahan utama yang digunakan untuk membuat jenang saren adalah tepung ketan dan gula jawa.
-
Kenapa Candi Jago dibangun? Sejarah Candi Jago dibangun atas inisiasi Raja Kertanegara untuk menghormati mendiang sang ayah, Raja Sri Jaya Wisnuaedhana (1248-1268).
-
Bagaimana cara membuat kue jipang? Berasnya dimasukkan ke situ,” ungkap pemilik kanal YouTube Brent Sastro sembari menunjuk sebuah alat pemanas yang dihubungkan ke gas elpiji. Di sebelahnya, tampak sebuah wajan berisi air gula yang dicampur minyak sedang dipanaskan.
Di daerah itu, Kolopaking merupakan sebuah trah. Keberadaan trah Kolopaking pertama kali muncul pada era Kerajaan Mataram Islam. Nama “Kolopaking” sendiri berasal dari kata “kelapa” yang artinya buah kelapa, dan “aking” yang artinya kering.
Lalu seperti apa sejarah kemunculan trah Kolopaking ini? Berikut selengkapnya:
Berawal dari Pelarian Amangkurat I
©nahimungkar.org
Saat Keraton Pleret dikuasai pemberontak Trunojoyo, Amangkurat I melarikan diri dan bermaksud mencari bantuan VOC ke Batavia. Di tengah perjalanan ia terluka dan jatuh sakit. Saat tiba di wilayah Panjer (sekarang Kebumen), hari sudah larut malam.
Ia tak sanggup lagi melanjutkan perjalanan. Saat itulah ia singgah di rumah Kertawangsa atau Ki Panjer III yang merupakan penguasa daerah tersebut.
Saat itu, Kertawangsa bermaksud memberi tamunya air kelapa muda. Tapi karena langit sudah gelap dan hujan turun, ia secara tidak sengaja memberikan air kelapa tua (kelapa aking).
Ternyata hal itu membuat kondisi Amangkurat I berangsur membaik. Sebagai bentuk terima kasih, Amangkurat I mengangkatnya sebagai tumenggung untuk wilayah itu dengan gelar Kanjeng Raden Adipati Tumenggung Kelapa Aking. Sejak saat itulah nama Kolopaking digunakan untuk menamai anak keturunan Kertawangsa.
Tokoh Terkenal Trah Kolopaking
©Cagarbudayambanjar.id
Seiring berjalannya waktu, banyak tokoh yang berasal dari trah Kolopaking. Salah satunya adalah Soemitro Kolopaking. Dia terkenal dengan Bupati Banjarnegara tiga zaman yaitu zaman kolonial Belanda, zaman pendudukan Jepang, dan masa republik Indonesia.
Sebelum jadi Bupati Banjarnegara, Soemitro Kolopaking sempat menjadi “mahasiswa bebas” dengan berkelana keliling dunia. Ia sempat bekerja sebagai buruh tambang batu bara di Ruhr, Jerman, bekerja di pabrik gergaji di Latvia, lalu berkuliah di Leiden, Belanda. Sebelum pulang ke Indonesia, ia sempat singgah di Albania dan Mesir untuk menghadiri kuliah
Selain Soemitro Kolopaking, ada pula Novia Kolopaking, penyanyi Indonesia yang hidup di era masa kini. Selain bernyanyi, istri dari budayawan Emha Ainun Najib itu pernah juga tampil di sejumlah serial televisi seperti Keluarga Cemara dan Siti Nurbaya.
Makam Kolopaking
©aroengbinang.com
Berada di daerah perbukitan Desa Kalijirek, Kebumen, terdapat makam Tumenggung Kolopaking. Gerbang makam itu dapat dicapai setelah menapaki sekitar 11 anak tangga. Di sana ada bangunan yang cukup besar.
Di luar bangunan itu, terdapat beberapa makam yang bertuliskan “Rd. Ng. Mangoenatmojo” meninggal pada 10 Oktober 1928, dan “Rd. Ayu. Mangoenatmojo”, wafat pada 31 Juli 1932. Lalu ada makam tunggal yang pada nisannya terdapat huruf Arab dan Jawa.
Di lokasi pemakaman itulah Tumenggung Kolopaking I dan Tumenggung Kolopaking IV dimakamkan. Kondisi makam sendiri terawat dengan baik karena ada seorang kuncen yang ditugaskan khusus untuk merawat tempat itu.