Dikenalkan pada Masa Pendudukan Jepang, Ini Sejarah Penggunaan Senjata Bambu Runcing oleh para Pejuang Indonesia
Bambu runcing adalah simbol perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah
Bambu runcing adalah simbol perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah
Dikenalkan pada Masa Pendudukan Jepang, Ini Sejarah Penggunaan Senjata Bambu Runcing oleh para Pejuang Indonesia
Pada masa revolusi, para pejuang Indonesia berjuang menggunakan senjata bambu runcing. Sebelum tahun 1940-an, masyarakat Nusantara sebenarnya tidak memiliki budaya penggunaan bambu runcing sebagai senjata tempur. Namun sejarahnya bisa ditarik saat Jepang akan tiba di Pulau Jawa pada akhir Februari 1942.
-
Kapan semut berevolusi? Lebih dari itu, semut berhasil melakukan semua ini tanpa adanya bentuk pemerintahan atau kepemimpinan langsung, tetapi mereka telah bertahan jauh lebih lama dan jauh lebih berhasil daripada spesies lain yang berevolusi sekitar 140 hingga 168 juta tahun yang lalu.
-
Apa yang menjadi saksi bisu perjuangan masyarakat Boja dalam merebut kemerdekaan Republik Indonesia? Gedung itu menjadi saksi bisu perjuangan masyarakat Boja dalam merebut kemerdekaan Republik Indonesia.
-
Apa yang dimaksud dengan kemerdekaan? Hari ini, tepat 78 tahun yang lalu, Indonesia menyatakan diri sebagai sebuah negara merdeka. Merdeka dari segala penjajahan fisik dan mental kolonialisme yang telah beratus tahun bangsa ini alami.
-
Kapan Kerajaan Pajajaran runtuh? Sejak itu, Kerajaan Pajajaran jadi mudah diserang hingga akhirnya runtuh pada 1579.
-
Kapan Indonesia merdeka? Hari ini, tepat 78 tahun yang lalu, Indonesia menyatakan diri sebagai sebuah negara merdeka.
-
Kapan gulungan bambu tersebut dibuat? Potongan-potongan tersebut ditemukan di dalam sumur kuno di situs arkeologi Chaoyang.
Dilansir dari kanal YouTube Hendri Teja, saat itu Belanda mengira Jepang akan menerjunkan pasukan terjun payung di Kalijati. Untuk menanggapi informasi tersebut, maka di lokasi itu ditanam ribuan bambu yang diperuncing bagian ujungnya untuk menyambut pasukan Jepang.
Namun faktanya pasukan Jepang tidak terjun dan mendarat di Kalijati, melainkan mendarat di sebuah pantai dekat Eretan, lalu dari sana bergerak menuju Subang.
Ribuan bambu runcing itu kemudian dimanfaatkan Jepang di kemudian hari. Senjata-senjata itu dijadikan perkakas baris-berbaris para pemuda yang mengikuti pelatihan militer Jepang.
Saat Jepang terdesak dalam Perang Asia Pasifik, pemerintah Jepang di Hindia Belanda menjadikan bambu runcing sebagai senjata tempur bagi misili pemuda melawan sekutu.
Bela diri yang diajarkan militer Jepang pada para pemuda Hindia Belanda pada waktu itu dinamakan Takeyari Jutsu. Teknik ini diajarkan pada Seinendan, Keibodan, Gakutotai, Hizbullah, dan barisan pemuda yang lain.
Saat masuk anggota PETA, tokoh dokter gigi Hindia Belanda, dr. Moestopo bahkan menulis sebuah makalah tentang penerapan militer senjata bambu runcing yang diolesi kotoran kuda agar dapat menimbulkan tetanus pada musuh yang tertusuk. Makalah inipun mendapat apresiasi yang tinggi dari perwira militer Jepang.
- Tak Cuma Bambu Runcing, Ini 10 Senjata Mematikan Para Pejuang Indonesia Zaman Dulu Melawan Penjajah
- Tertarik dengan Budaya Indonesia, Ini Cerita WNA Asal Jepang Belajar Tari Jaipong Khas Sunda
- Sejarah Monumen Simpang Tinju, Simbol Perjuangan Bagindo Aziz Chan di Kota Padang
- Makna Pemberian Keris Emas ke Jenderal TNI AL, Simbol Kepercayaan Raja pada Bangsawan
Setelah Indonesia merdeka, barisan pemuda menjadikan bambu runcing sebagai perkakas perjuangan mempertahankan kemerdekaan bangsa dan kedaulatan negara Indonesia.
Keterbatasan persenjataan membuat banyak pemuda menjadikan bambu runcing sebagai alat untuk menekan Jepang, terutama dalam operasi perampasan senjata.
Dilansir dari kanal YouTube Hendri Teja, penggunaan bambu runcing yang paling masif terjadi pada saat Pertempuran Surabaya.
Penggunaan bambu runcing saat itu dikaitkan dengan adanya doa dan tenaga dalam pada senjata itu yang dimulai dari Parakan, Temanggung.
Tokoh pentingnya adalah KH. Subkhi yang terkenal dengan gelar Kyai Bambu Runcing.
Bagi Belanda sendiri, bambu runcing dianggap sebagai pembunuh dalam keheningan. Saat bambu runcing dilempar atau dihujamkan, senjata ini tidak mengeluarkan suara apa-apa sehingga tidak mudah diketahui keberadaannya oleh musuh.
Dalam realitas sejarah, perjuangan dengan senjata bambu runcing terjadi pada hampir semua medan perang terutama di Surabaya, Magelang, hingga Cianjur. Laskar-laskar rakyat seperti BKR, AMRI, Hizbullah, Sabilillah, dan laskar lain yang terlibat pada pertempuran di berbagai tempat menggunakan senjata bambu runcing sebagai senjata utama sebelum mereka mampu merebut senjata musuh.
Setelah Indonesia mendapat pengakuan kedaulatan pada 27 Desember 1949, Indonesia perlahan mampu menyediakan persenjataan yang lebih layak bagi TNI. Sejak saat itu, penggunaan bambu runcing sebagai perkakas tempur mulai ditinggalkan.
Hari ini, bambu runcing dijadikan simbol perjuangan bangsa Indonesia. Peninggalan-peninggalan senjata ini bisa dilacak ke berbagai tempat di antaranya rumah KH Subkhi, rumah KH. R Sumo Gunardo, Museum Monjali, dan beberapa tempat di Temanggung yang dulunya menjadi pusat penyepuhan bambu runcing dengan doa sebelum digunakan untuk berperang.