Kisah Mbah Fanani, Petapa Dieng yang Dipercaya Orang Akan Kesaktiannya
Di Dataran Tinggi Dieng yang termasyhur itu, hiduplah seorang petapa yang sangat dikenal warga setempat. Nama petapa itu Mbah Fanani. Di sana, petapa itu tinggal di sebuah tenda kecil dan menghabiskan waktu belasan tahun di dalamnya tanpa beraktivitas apapun.
Di Dataran Tinggi Dieng yang termasyhur itu, hiduplah seorang petapa yang sangat dikenal warga setempat. Nama petapa itu Mbah Fanani.
Melansir dari merdeka.com, saat bertapa di Dieng, Mbah Fanani tinggal di sebuah tenda kecil di depan rumah warga. Dia menghabiskan waktu belasan tahun di dalam tenda tanpa beraktivitas apapun. Dengan bermodalkan sebuah kain sarung, dia mampu bertahan dari dinginnya udara Dieng.
-
Kenapa Jaka merantau? Dengan penuh tekad, Jaka pun memutuskan untuk merantau ke negeri orang untuk mencari nafkah dan mewujudkan semua impian mereka berdua.
-
Kapan Beji Sirah Keteng dibangun? Mengutip Instagram @purbosasongko_dalang, Situs Beji Sirah Keteng dibangun pada masa pemerintahan Raja Sri Jayawarsa.
-
Apa yang diterima Pemprov Jateng dari Balai Bahasa? Pada Kamis (10/8), Pemprov Jateng menerima hibah dari Balai Bahasa berupa bangunan gedung permanen dan perangkatnya.
-
Bagaimana cara membuat Jenang Saren? Mengutip Kemdikbud.go.id, bahan utama yang digunakan untuk membuat jenang saren adalah tepung ketan dan gula jawa.
-
Kenapa Candi Jago dibangun? Sejarah Candi Jago dibangun atas inisiasi Raja Kertanegara untuk menghormati mendiang sang ayah, Raja Sri Jaya Wisnuaedhana (1248-1268).
-
Bagaimana cara membuat kue jipang? Berasnya dimasukkan ke situ,” ungkap pemilik kanal YouTube Brent Sastro sembari menunjuk sebuah alat pemanas yang dihubungkan ke gas elpiji. Di sebelahnya, tampak sebuah wajan berisi air gula yang dicampur minyak sedang dipanaskan.
Walau begitu, banyak orang yang datang berkunjung untuk menemui Mbah Fanani. Bahkan banyak dari mereka yang berasal dari kalangan habib dan ustaz.
“Yang saya heran banyak orang yang datang dari berbagai daerah, mulai dari habib-habib, ustaz, anak-anak pondok pesantren, orang biasa, nggak tau mau ngapain,” kata Narti, salah seorang warga yang rumahnya berada di seberang tenda Mbah Fanani.
Lalu bagaimana seorang petapa seperti Mbah Fanani menjalani kehidupannya? Berikut selengkapnya:
Anak Pejuang NKRI
©2015 merdeka.com/desi aditia ningrum
Melansir dari Liputan6.com, Mbah Fanani merupakan anak kedua dari pasangan Mbah Benyamin dan Nyai Zahro.
Menurut keponakan Mbah Fanani, Kiai Ma’dun, dulunya Mbah Benyamin merupakan salah satu kiai yang berperan dalam memperjuangkan NKRI. Salah satunya adalah peristiwa 10 November bersama Kiai Hasyim Sy’ari dan Mbah Abbas. Mbah Fanani kemudian menikah dengan Nyai Zaenab dan dikaruniai seorang anak bernama Nyai Mariam.
“Kakak dan adik dari Mbah Fanani sudah meninggal semua. Sisanya Mbah Fanani saja,” kata Kiai Ma’dun mengutip dari Liputan6.com.
Punya Pengetahuan Mendalam Soal Islam
©2017 Merdeka.com
Kiai Ma’dun mengatakan, walaupun penampilannya yang nyeleneh dan cenderung pendiam, Mbah Fanani memiliki pengetahuan yang mendalam soal keislaman. Bahkan saat sebelum bertapa di Dieng dan masih tinggal di Cirebon, Ma’dun sudah bisa melihat bahwa Mbah Fanani sudah terlihat berbeda dari orang-orang pada umumnya.
“Dia beda dan diakui warga sekitar sini. Uwak (paman) saya sangat pendiam dan suka berinteraksi di luar logika manusia atau tidak rasional. Ilmu mengaji dan kajian Islamnya ternyata sangat baik semasa muda,” kata Ma’dun.
Sempat Bertapa di Karawang
©2015 merdeka.com/desi aditia ningrum
Sebelum menghabiskan belasan tahun bertapa di Dieng, sekitar tahun 1971 hingga 1972, Mbah Fanani sempat pernah ditemukan tengah bertapa di Kesambi, Lempeng, Cilamaya, Karawang. Kemudian antara tahun 1978 hingga 1979, dia keluar dari pertapaannya dan singgah di Desa Rejemeti, Jagapura, Cirebon. Setelah itu barulah ia menghabiskan berpuluh tahun bertapa di daerah Dieng.
“Sepulang dari Cilamaya dan sempat mampir di Jagapura, uwak saya menghilang lagi dan tiba-tiba tahun 2000an saya dengar kabar dia ada di Dieng. Kami sekeluarga mengecek dan memperhatikan sifat-sifat beliau ternyata sama dan akhirnya kami memastikan kalau itu Uwak saya,” kata Kiai Ma’dun.
Kesaktian Mbah Fanani
©2015 merdeka.com/desi aditia ningrum
Bagi masyarakat Dieng maupun yang berasal dari luar Dieng yang mengenalnya, Mbah Fanani merupakan orang sakti. Dia menjadi tempat orang-orang meminta rezeki, jodoh, ataupun hal lainnya. Oleh karena itu, tendanya tidak pernah sepi pengunjung.
Bahkan pernah ada orang yang mengaku melihat Mbah Fanani sewaktu di Makkah. Padahal selama ini Mbah Fanani selalu berdiam diri di tenda dan tak pernah pergi ke manapun. Lalu ada pula warga yang mengatakan bahwa dia hilang secara misterius saat memasuki waktu salat.
“Dibilang sakti ya sakti, buktinya belasan tahun hidup di tenda terpal nggak pakai alas. Walau dingin banget di sini, tapi dia bisa bertahan. Mungkin kalau orang kayak kita, sebulan sudah meninggal,” kata Taifin, salah seorang Ketua RT di Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Banjarnegara.
Meninggalkan Dieng
©2020 liputan6.com
Pada 12 April 2017, Mbah Fanani dijemput dan dibawa ke Indramayu. Proses penjemputan itu dilakukan atas perintah Abah Rojab, sesepuh Dieng yang sudah menetap selama 20 tahun di Indramayu. Perintah penjemputan itu dimandatkan kepada anaknya sendiri, Toha.
Namun butuh waktu tujuh bulan bagi Toha untuk dapat melaksanakan mandat itu. Awalnya dia merasa tak sanggup untuk menjemput Mbah Fanani. Padahal Mbah Fanani sudah memberi isyarat untuk membawanya pergi dari Dieng menuju Indramayu. Namun ia akhirnya yakin untuk menjemput Mbah Fanani setelah mendapat pesan lewat mimpi.
“Saya merasa yakin untuk menjemput Mbah Fanani setelah didatangi juga lewat mimpi. Saat itu juga saya mempersiapkan rencana penjemputan,” kata Toha dikutip Merdeka.com dari Liputan6.com.
Tangisan Mbah Fanani
©2016 merdeka.com/chandra iswinarno
Melihat kondisi Dieng yang terkena banjir dan longsor, Toha mengaku teringat akan tangisan ayahnya dan Mbah Fanani. Kala itu, mulai banyak wisatawan khususnya pelajar dan mahasiswa beramai-ramai mendaki Gunung Prau untuk menikmati matahari terbit.
Namun dampaknya, kondisi gunung semakin tercemar bahkan banyak pula ditemukan alat kontrasepsi. Hal inilah yang menurut Toha, membuat Mbah Fanani dan Abah Rojab menangis.
“Kata beliau ini peringatan untuk masyarakat Dieng. Tangisan beliau berdua tidak ada yang tahu,” kata Toha dikutip Merdeka.com dari Liputan6.com pada Jumat (19/3).