Mengenal "Karlak", Budaya Mengutil Ikan Ala Masyarakat Nelayan Pantura
Sebelum dikirim ke pelelangan, biasanya muatan ikan yang ada di kapal dibongkar dulu di pelabuhan. Di sanalah kadang banyak ikan yang berjatuhan. Ikan-ikan yang berjatuhan itu terkadang dipungut oleh para pengutil yang tidak bertanggung jawab yang terkenal dengan istilah "karlak".
Daerah pesisir pantai utara Jawa (Pantura) merupakan daerah yang panas. Di daerah itu, banyak warganya yang berprofesi sebagai nelayan.
Setelah melaut, biasanya para nelayan itu mengumpulkan tangkapan ikannya di tempat pelelangan. Sebelum dikirim ke pelelangan, biasanya muatan ikan yang ada di kapal dibongkar dulu di pelabuhan.
-
Kenapa Jaka merantau? Dengan penuh tekad, Jaka pun memutuskan untuk merantau ke negeri orang untuk mencari nafkah dan mewujudkan semua impian mereka berdua.
-
Kapan Beji Sirah Keteng dibangun? Mengutip Instagram @purbosasongko_dalang, Situs Beji Sirah Keteng dibangun pada masa pemerintahan Raja Sri Jayawarsa.
-
Apa yang diterima Pemprov Jateng dari Balai Bahasa? Pada Kamis (10/8), Pemprov Jateng menerima hibah dari Balai Bahasa berupa bangunan gedung permanen dan perangkatnya.
-
Bagaimana cara membuat Jenang Saren? Mengutip Kemdikbud.go.id, bahan utama yang digunakan untuk membuat jenang saren adalah tepung ketan dan gula jawa.
-
Kenapa Candi Jago dibangun? Sejarah Candi Jago dibangun atas inisiasi Raja Kertanegara untuk menghormati mendiang sang ayah, Raja Sri Jaya Wisnuaedhana (1248-1268).
-
Bagaimana cara membuat kue jipang? Berasnya dimasukkan ke situ,” ungkap pemilik kanal YouTube Brent Sastro sembari menunjuk sebuah alat pemanas yang dihubungkan ke gas elpiji. Di sebelahnya, tampak sebuah wajan berisi air gula yang dicampur minyak sedang dipanaskan.
Di sanalah kadang banyak ikan yang berjatuhan. Ikan-ikan yang berjatuhan itu terkadang dipungut oleh para pengutil yang tidak bertanggung jawab. Para pengutil inilah yang biasa disebut orang-orang pantura dengan istilah “karlak”.
Melansir dari Indonesia.go.id, keberadaan “karlak” di kawasan pantura ini sebenarnya cukup meresahkan. Tiap kali bongkaran ikan, jumlah para pengutil yang kebanyakan berasal dari kalangan “emak-emak” itu biasanya sampai 50-100 orang.
Mereka biasanya datang dengan membawa ember plastik dan menghargai ikan hasil curiannya dengan harga Rp 5.000 hingga Rp 10.000 per satuannya. Lalu bagaimana sepak terjang para “karlak” di tengah kehidupan para nelayan pantura? Berikut selengkapnya.
Bandit Kelas Coro
©2020 Merdeka.com/Facebook Heriyanto Subekti
Bisa dikatakan, “karlak” merupakan bandit kelas coro. Mereka biasanya memunguti ikan hasil nelayan secara terang-terangan. Istilah itu berasal bahasa Belanda yaitu “kakkerlak”, yang merujuk pada hewan yang gemar mengutil sisa makanan. Orang Indonesia biasa menyebut hewan itu dengan nama kecoak.
Eko Fidiyanto, seorang penulis cerita pendek, pernah menulis soal anak-anak “karlak” yang berkeliaran di pelabuhan Desa Kluwut, Brebes. Mereka biasanya datang bersama ibu mereka dan kedatangan mereka ini menandai musim tangkapan ikan yang lagi berlimpah.
Lain halnya di Subang, Jawa Barat, istilah ini digunakan untuk kuli bongkar muat ikan.
Punya Muka Tebal
©2013 Merdeka.com
Pelabuhan pantai utara Jawa dinilai menjadi tempat paling cocok bagi para “karlak”. Dengan menggunakan teknologi jaring ikan yang canggih, kapal-kapal nelayan itu bisa mendapat ikan dengan jumlah yang banyak. Saat tiba di pelabuhan, para “karlak” ini mengerubungi hasil bongkar muat ikan tangkapan nelayan itu.
Sebenarnya mereka sudah diperingatkan oleh anak buah kapal akan tindakannya itu. Namun karena memiliki muka tebal, mereka tidak pernah malu walau sudah diperingatkan berkali-kali.
Selain itu, operasi penertiban yang dilakukan oleh para penegak hukum tak pernah membuat para “karlak” jera. Ketidakdisiplinan petugas pelabuhan untuk mengawasi orang-orang yang keluar masuk pelabuhan di kala musim ikan berlimpah membuat para pengutil ikan itu bisa memperoleh hasil yang besar dari hasil jarahan mereka.
Bisa untuk Berangkat Umroh
©Reuters/Ibraheem Abu Mustafa
Melansir dari Indonesia.go.id, Marni, seorang pedagang ikan asal Pelabuhan Jongor, Tegal bercerita bahwa dari hasil mengutil ikan itu ada orang yang bisa berangkat umroh. Apalagi sebenarnya cukup banyak kapal-kapal nelayan yang melakukan bongkar muat di pelabuhan itu yang setiap tahunnya bisa mencapai 1.500 kapal. Makin banyak kapal yang dibongkar, makin banyak pula hasil jarahan para “karlak” yang siap dijual.