Sambut Ramadan dengan Cara Unik, Ini Fakta Sejarah Tradisi Dandangan di Kudus
Kudus merupakan salah satu tempat berkembangnya ajaran Islam di Nusantara. Di sana, tradisi budaya Islam telah berkembang di kalangan santri sejak zaman Walisongo. Salah satu bentuknya adalah tradisi yang dikenal dengan nama “Dandangan”.
Kudus merupakan salah satu tempat berkembangnya ajaran Islam di Nusantara. Di sana, tradisi budaya Islam telah berkembang di kalangan santri sejak zaman Walisongo. Salah satu bentuknya adalah tradisi yang dikenal dengan nama “Dandangan”.
Dilansir dari Wikipedia.org, Dandangan merupakan sebuah festival di Kudus untuk menandai dimulainya ibadah puasa di Bulan Ramadan. Beberapa acara yang masuk dalam rangkaian acara ini adalah festival rebana dan kirab.
-
Kenapa Jaka merantau? Dengan penuh tekad, Jaka pun memutuskan untuk merantau ke negeri orang untuk mencari nafkah dan mewujudkan semua impian mereka berdua.
-
Kapan Beji Sirah Keteng dibangun? Mengutip Instagram @purbosasongko_dalang, Situs Beji Sirah Keteng dibangun pada masa pemerintahan Raja Sri Jayawarsa.
-
Apa yang diterima Pemprov Jateng dari Balai Bahasa? Pada Kamis (10/8), Pemprov Jateng menerima hibah dari Balai Bahasa berupa bangunan gedung permanen dan perangkatnya.
-
Bagaimana cara membuat Jenang Saren? Mengutip Kemdikbud.go.id, bahan utama yang digunakan untuk membuat jenang saren adalah tepung ketan dan gula jawa.
-
Kenapa Candi Jago dibangun? Sejarah Candi Jago dibangun atas inisiasi Raja Kertanegara untuk menghormati mendiang sang ayah, Raja Sri Jaya Wisnuaedhana (1248-1268).
-
Bagaimana cara membuat kue jipang? Berasnya dimasukkan ke situ,” ungkap pemilik kanal YouTube Brent Sastro sembari menunjuk sebuah alat pemanas yang dihubungkan ke gas elpiji. Di sebelahnya, tampak sebuah wajan berisi air gula yang dicampur minyak sedang dipanaskan.
Biasanya, para peserta tradisi Dandangan berjumlah ratusan yang terdiri dari kelompok seniman, masyarakat, serta para pelajar. Masih dilestarikan hingga kini, tradisi Dandangan sudah ada sejak zaman Walisongo. Lalu seperti apa asal mula tradisi ini?
Asal Mula Dandangan
©2020 liputan6.com
Dilansir dari Kemdikbud.go.id, pada mulanya, Dandangan merupakan tradisi berkumpulnya para santri di depan Masjid Menara Kudus untuk menunggu pengumuman dari Sunan Kudus tentang penentuan awal puasa.
Kata “Dandangan” sendiri berasal dari onomatope suara bedug khas Masjid Menara Kudus. Ketika bedug ditabuh, muncul suara yang nyaring, “Dang!” yang menjadi bunyi tanda awal datangnya Bulan Ramadan.
Sudah Ada Sejak Zaman Wali Songo
©istimewa
Pada mulanya, atau tepatnya pada abad ke-16, tradisi ini dilakukan setelah Sunan Kudus mengumumkan hari awal puasa. Waktu itu, Sunan Kudus memang salah satu ahli Ilmu Falak yang bisa mengetahui hitungan hari dan bulan dalam Kalender Hijriah.
Pemukulan bedug itu dilakukan dua kali di pelataran Masjid Menara Kudus.
Pemukulan pertama ditunjukkan untuk mengumpulkan masyarakat, sementara pemukulan kedua dilakukan untuk membuka awal Bulan Ramadan yang dilakukan setelah salat Isya’.
Pada masanya, acara ini dihadiri langsung oleh murid-murid Sunan Kudus seperti Sultan Trenggono dari Kerajaan Demak, Sultan Hadirin dari Jepara, hingga Arya Penangsang dari Blora.
Tradisi Dandangan Kini
©2015 merdeka.com/parwito
Seiring waktu, tradisi Dandangan selalu diwariskan secara turun temurun hingga sekarang. Kini, tradisi ini berwujud festival budaya dan kirab rebana. Saat diselenggarakan tradisi ini, pengunjung dapat melihat atraksi-atraksi seni seperti Barongan Gembong Kamijoro.
Seiring waktu, tradisi ini makin meriah digelar dengan para pelaku usaha yang memanfaatkan momen itu untuk berjualan. Semaraknya tradisi ini tidak hanya disambut hangat oleh masyarakat muslim yang akan melaksanakan puasa, namun juga masyarakat non-muslim di Kudus. Tidak sedikit masyarakat non-muslim yang menjajakan dagangannya atau sekedar melihat kemegahan Menara Kudus dari dekat.
Ditiadakan Selama Masa Pandemi
©2020 Merdeka.com/liputan6.com
Guna mencegah penularan virus COVID-19 selama masa pandemi, tradisi Dandangan terpaksa ditiadakan. Pemkab Kudus memutuskan untuk tidak mengadakan tradisi itu karena bila tetap berani mengadakannya, kemungkinan besar kerumunan sulit dibendung.
Berdasarkan pengalaman di tahun-tahun sebelumnya, tradisi itu mampu menampung 500-an pedagang yang 90 persennya merupakan warga luar kota. Begitu pula pengunjungnya yang didominasi warga luar kota. Hal ini pulalah yang menjadi pertimbangan agar tradisi itu tidak digelar selama pandemi masih merebak.