Mengungkap Filosofi 'Perempuan Melamar Pria', Tradisi Warga Lamongan yang Masih Eksis
Umumnya, proses lamaran (meminang) dalam pernikahan dilakukan oleh pihak laki-laki. Tetapi hal itu tidak berlaku di Kabupaten Lamongan. Di kota pecel lele itu, justru pihak perempuanlah yang memiliki inisiatif melamar calon suami.
Umumnya, proses lamaran (meminang) dalam pernikahan dilakukan oleh pihak laki-laki. Tetapi hal itu tidak berlaku di Kabupaten Lamongan. Di kota pecel lele itu, justru pihak perempuanlah yang memiliki inisiatif melamar calon suami.
Dikutip dari news.unair.ac.id, tradisi lamaran ini bermula dari kisah di zaman kerajaan dahulu. Konon, Tumenggung Lamongan memiliki dua anak laki-laki yang rupawan bernama Panji Laras dan Liris. Ketampanan dua pemuda itu sangat terkenal.
-
Kapan Diah Permatasari dan suaminya menikah? Mereka mengucapkan janji suci pada tanggal 5 April 1997. Kini, mereka telah menikah selama 24 tahun dan diberkati dengan kedua anak mereka.
-
Apa yang dimaksud dengan tradisi "piring terbang" di pernikahan adat Jawa? Dalam acara resepsi pernikahan adat Jawa, ada sebuah tradisi yang dikenal dengan istilah “piring terbang”.
-
Kenapa suami dilarang memancing saat istri hamil di Jawa Timur? Itu dipercaya akan membahayakan kondisi bayi ketika dilahirkan, seperti bayi akan terlahir dalam kondisi bibir sumbing atau cacat.
-
Kenapa prajurit TNI AD ini dan istrinya menggunakan adat Jawa saat menikah? Uniknya, mereka menggunakan adat Jawa saat prosesi pernikahan. Rupanya hal ini lantaran sang istri sebenarnya orang Jawa, namun ikut transmigrasi. "Mace kan Jawa, (dia) trans," ujarnya.
-
Apa arti dari Kembar Mayang dalam pernikahan adat Jawa? Kembar Mayang adalah simbol hiasan pernikahan yang memiliki arti filosofis dalam adat Jawa. Kembar Mayang terbuat dari bahan-bahan seperti bunga, daun, dan kain, yang disusun secara simetris untuk menggambarkan kesetaraan dan keselarasan antara dua insan yang akan menikah.
-
Kapan Kembar Mayang mulai tergeser di pernikahan adat Jawa? Namun, di zaman modern, penggunaan kembar mayang dalam pernikahan seringkali terdistorsi. Beberapa pasangan memilih untuk tidak menggunakan kembar mayang karena dianggap kuno dan lebih memilih hiasan lain yang lebih modern.
Sejarah Tradisi Perempuan Melamar Pria
©Axioo
Konon, tradisi perempuan melamar laki-laki sudah terjadi turun temurun, yakni sejak masa pemerintahan Raden Panji Puspokusumo alias Tumenggung Lamongan. Penguasa Lamongan pada 1640 – 1665 itu tercatat sebagai keturunan ke-14 Prabu Hayam Wuruk, penguasa Majapahit.
Dalam kisahnya, Panji Puspokusumo memiliki dua anak kembar bernama Raden Panji Laras dan Raden Panji Liris. Kedua pangeran rupawan itu memiliki hobi menyabung ayam.
Suatu hari, keduanya mengikuti sabung ayam di daerah Wirosobo yang sekarang dikenal dengan Kertosono, Nganjuk. Ketampanan Panji Laras dan Panji Liris berhasil membius dua putri kembar raja Wirosobo, yakni Dewi Andansari dan Dewi Andanwangi. Kedua putri cantik itu jatuh cinta pada pandangan pertama.
Kendati dianggap melanggar norma saat itu, Raja Wirosobo akhirnya melamar kedua putra kembar penguasa Lamongan itu. Desakan dua putri kesayangan membuatnya berani melanggar norma.
Sejak saat itu tradisi perempuan melamar laki-laki mulai diberlakukan. Budaya itu kemudian dilestarikan sebagai budaya leluhur yang masih terjaga hingga kini.
Selanjutnya, cerita tentang anak Tumenggung Lamongan dan putri dari Kerajaan Kediri itu melahirkan tradisi lamaran yang unik di Lamongan. Yakni, pihak perempuan yang harus melamar calon suaminya.
Pada pelaksanaannya, orang tua pihak perempuan meminta si laki-laki untuk menjadi menantunya. Selanjutnya, mereka melakukan lamaran kepada pihak laki-laki. Selang beberapa hari, pihak laki-laki membalas lamaran tersebut. Jika keluarga kedua belah pihak setuju, mereka akan menentukan hari pernikahan.
Penghargaan Kepada Perempuan
©2018 Merdeka.com/Pixabay
Tradisi perempuan melamar laki-laki ini memiliki sejumlah nilai sosial. Perempuan mendapat penghargaan sebagai pihak yang memulai lamaran. Sementara itu, lamaran yang dilakukan pihak perempuan juga menjadi bentuk penghargaan kepada calon suaminya.
Selain itu, tradisi lamaran ini lekat dengan kewajiban seorang pria menjaga perempuan. Hal ini lantaran sang perempuan mampu memberikan sesuatu kepadanya. Jika ada laki-laki yang hanya menggantungkan hidup kepada perempuan, maka harga diri laki-laki itu turun di mata masyarakat. Misalnya dalam hal ekonomi yang bisa menyebabkan rumah tangga berantakan.
Dalam melangsungkan lamaran, pihak perempuan membawa seserahan untuk calon suaminya. Selanjutnya, dalam pernikahan yang akan digelar nanti pihak laki-laki akan memberikan mahar yang lebih besar dari seserahan yang ia terima. Ini menjadi bentuk penghargaan terhadap perempuan.
Alasan Filosofis
©2019 Merdeka.com/Pixabay
Tradisi perempuan melamar laki-laki bukan terjadi tanpa sebab, ada alasan filosofis yang mendasarinya. Laki-laki maupun perempuan boleh berinisiatif mencari jodoh. Hal ini menjadi perwujudan egalitarianisme masyarakat Lamongan. Di samping banyak nilai lain yang mendukung etos hidup masyarakat Lamongan yang ulet dan berani mengambil peluang dalam mencari penghidupan ekonomi, sebagaimana dikutip dari syariah.uin-malang.ac.id
Namun, seiring perkembangan zaman, perilaku pacaran mengurangi proses tahapan di atas sehingga keluarga pihak perempuan yang datang seringkali langsung menentukan hari pernikahan. Pihak keluarga yang datang juga tidak selalu punya kewenanganan lebih untuk memboyong atau membawa calon menantu ke rumah mereka. Kesadaran calon mempelai memilih pasangan hidup dibersamai otonomi pasangan dalam merencanakan dan menentukan masa depan pernikahan mereka.
Masyarakat Pesisir
www.dresscodeclothing.com
Tradisi perempuan melamar laki-laki ini tidak terjadi di semua daerah di Lamongan, melainkan hanya di beberapa daerah pesisir pantai utara. Selain di Lamongan, tradisi ini juga dipegang teguh oleh sebagian masyarakat Kabupaten Tuban.
Sebagaimana lazimnya, seserahan yang dibawa pihak perempuan menyesuaikan kondisi ekonomi keluarganya. Pada zaman dahulu, pihak keluarga yang melamar membawa ‘jodhang’ alias seserahan makanan yang diletakkan dalam wadah kayu dan diangkut oleh empat orang. Namun, kini tradisi itu tidak terjadi lagi. Barang bawaan berupa makanan biasanya diangkut pick up.