Mengenal Carok, Tradisi Pertarungan Bersenjata dalam Sejarah Madura
Carok merupakan tradisi pertarungan yang dilakukan untuk menjaga harga diri dalam budaya Madura.
Dalam mozaik budaya Indonesia yang beragam, terdapat sebuah tradisi yang penuh kontroversi namun telah menjadi bagian integral dari masyarakat Madura, yaitu carok. Tradisi ini bagi masyarakat Madura merupakan wujud dari prinsip hidup yang mengedepankan harga diri dan kehormatan.
Carok telah menjadi elemen penting dalam identitas budaya Madura selama berabad-abad, meskipun saat ini praktiknya semakin jarang dilakukan. Fenomena ini bukan sekadar pertarungan fisik, tetapi juga mencerminkan sistem nilai sosial yang rumit, di mana harga diri dan kehormatan sangat dijunjung tinggi. Sebuah peribahasa Madura, "Lebbi bagus pote tolang, etembang pote mata," yang berarti "lebih baik mati berkalang tanah daripada menanggung malu," menjadi dasar filosofis yang mendasari tradisi carok. Prinsip ini menunjukkan betapa krusialnya menjaga harga diri dalam budaya Madura.
-
Apa itu tradisi Carok? Secara historis, carok merujuk pada pertarungan yang menggunakan senjata tajam, terutama celurit, sebagai cara untuk mempertahankan harga diri dan kehormatan individu.
-
Kapan carok mulai dikenal? Menarik untuk dicatat, bahwa fenomena carok yang kita kenal saat ini sebenarnya dimulai pada era penjajahan Belanda di abad ke-18.
-
Kenapa tradisi carok masih ada? Dalam masyarakat Madura yang tradisional, carok berfungsi sebagai mekanisme untuk menegakkan keadilan sosial dan mempertahankan martabat, meskipun cara ini sering kali bertentangan dengan hukum modern dan nilai-nilai kemanusiaan yang universal.
-
Bagaimana carok dilakukan? Dalam budaya Madura, terdapat dua metode utama dalam pelaksanaan carok yang memiliki nilai dan pandangan yang berbeda di kalangan masyarakat. Metode pertama dikenal sebagai Ngonggai, yang dianggap lebih terhormat karena dilakukan secara terbuka. Dalam proses Ngonggai, pelaku carok akan langsung mendatangi rumah lawan untuk menantang duel.
-
Apa itu tradisi Perang Topat? Di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) ada tradisi sambut lebaran yang unik bernama Perang Topat atau perang ketupat. Konon tradisi ini merupakan simbol kerukunan antar umat Hindu dan Islam yang hidup berdampingan di Lombok.
-
Kenapa Pacu Itiak jadi tradisi? Pacu Itiak ini bukanlah hanya kegiatan masyarakat Payakumbuh saja, tetapi dari kegiatan ini juga ada nilai-nilai budaya dan moral yang bisa kita petik. Beberapa di antaranya yaitu nilai kejujuran, patriotisme, persaingan, harmonis, kerjasama dan pastinya hiburan.
Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang apa itu carok, mari bersama simak penjelasan lengkap berikut ini yang telah dilansir Merdeka.com dari berbagai sumber Selasa(26/11).
Pengertian Serta Definisi Carok
Carok adalah tradisi pertarungan bersenjata, khususnya menggunakan celurit, yang merupakan bagian integral dari budaya Madura. Tradisi ini seringkali dihubungkan dengan pembelaan harga diri dan penyelesaian konflik, seperti perselisihan terkait kehormatan istri, sengketa tanah, atau pembalasan dendam.
Dalam masyarakat Madura, carok dipandang sebagai ujian kejantanan dan kehormatan seorang laki-laki, dengan pepatah yang mengatakan, "Oreng Lake' Mate' Acarok, Oreng Bini' Mate' Arembi'", yang menggambarkan bahwa carok adalah urusan pria dan sangat terkait dengan harga diri.Meskipun carok memiliki aturan dan etika tertentu dalam pelaksanaannya, praktik ini kini sering terjadi secara spontan dan lebih berisiko melibatkan kekerasan yang tidak terkendali.
Seiring waktu, pandangan terhadap carok juga berubah, dan kini penting untuk mentransformasikan tradisi ini menjadi cara penyelesaian konflik yang lebih konstruktif dan sesuai dengan norma hukum yang berlaku, agar nilai-nilai kehormatan dan harga diri tetap terjaga tanpa menimbulkan kerugian atau kekerasan.
Asal Usul dan Sejarah Carok
Tradisi carok memiliki sejarah yang panjang dan kompleks, bermula dari perjuangan masyarakat Madura melawan penjajahan dan ketidakadilan sosial. Pada masa sebelum abad ke-18, konflik di Madura diselesaikan dengan pertarungan kesatria yang menggunakan senjata tradisional seperti pedang atau keris, dengan mematuhi aturan kesatriaan. Namun, dengan kedatangan kolonial Belanda pada abad ke-17, struktur sosial Madura berubah drastis.
Pemerintah kolonial memberlakukan pembatasan, termasuk larangan membawa senjata, yang mendorong masyarakat untuk menggunakan senjata alternatif seperti celurit. Celurit, yang awalnya digunakan sebagai alat pertanian, berubah menjadi simbol perlawanan terhadap penjajah, khususnya setelah peran Pak Sakera dalam perjuangan rakyat Madura.Namun, Belanda dengan cerdik mengubah citra celurit dari simbol perlawanan menjadi alat carok dengan melibatkan golongan Blater (jagoan), yang akhirnya merusak makna awalnya.
Setelah Indonesia merdeka, carok berkembang menjadi mekanisme penyelesaian konflik yang berkaitan dengan harga diri dan kehormatan. Meskipun praktik carok mulai berkurang dan banyak dikritik, memahami sejarahnya memberikan wawasan penting tentang bagaimana tradisi ini berevolusi dari simbol perlawanan menjadi cara penyelesaian konflik dalam masyarakat Madura, serta menggambarkan adaptasi nilai budaya terhadap kondisi sosial-politik yang berubah.
Prosedur dan Syarat untuk Carok
Tradisi carok sering kali dianggap sebagai bentuk kekerasan, namun sebenarnya memiliki aturan dan prosedur yang sangat ketat. Bagi masyarakat Madura, carok lebih dari sekadar pertarungan fisik; ia merupakan ritual yang memerlukan persiapan mental, spiritual, dan fisik yang komprehensif. Memahami tata cara dan syarat yang ada sangat penting untuk menyadari bahwa carok bukanlah tindakan impulsif tanpa pedoman.
Persyaratan Mendasar
1. Kadigdajan (Latihan Bela Diri)
Sebelum terjun dalam carok, individu harus menguasai ilmu bela diri terlebih dahulu. Latihan ini tidak hanya berfokus pada kemampuan fisik, tetapi juga mencakup aspek mental dan spiritual. Kadigdajan diibaratkan sebagai "sedia payung sebelum hujan," yang berarti persiapan dasar yang wajib dimiliki oleh setiap pria Madura. Proses ini dapat berlangsung bertahun-tahun dan melibatkan berbagai jenis latihan, termasuk penguasaan teknik menggunakan celurit.
2. Tamping Sereng (Kekebalan Supranatural)
Aspek spiritual dalam carok diwujudkan melalui ritual yang bertujuan untuk mendapatkan jampi-jampi kekebalan. Praktik ini mencerminkan bahwa masyarakat Madura masih memegang teguh kepercayaan animisme dan dinamisme. Tamping sereng tidak hanya bertujuan untuk memperoleh kekebalan fisik, tetapi juga untuk mendapatkan kekuatan mental dan spiritual dalam menghadapi pertarungan. Ritual ini biasanya dilakukan dengan bantuan dukun atau orang yang dianggap memiliki kemampuan supranatural.
3. Banda (Modal dan Persiapan Material)
Persyaratan ini meliputi kesiapan finansial dan material untuk menghadapi konsekuensi dari carok. Banda tidak hanya berarti uang, tetapi juga mencakup persiapan untuk keluarga jika terjadi sesuatu pada pelaku carok. Besarnya modal yang dikeluarkan bukanlah masalah utama, karena yang paling penting adalah menjaga kehormatan.
Metode Pelaksanaan
1. Ngonggai (Pertarungan Berhadapan)
Cara ini dianggap paling terhormat dalam tradisi carok. Pelaku akan langsung mendatangi rumah lawannya untuk menantang bertarung. Metode ini memerlukan keberanian yang luar biasa dan persiapan yang matang, karena kedua belah pihak akan berhadapan secara langsung. Pertarungan biasanya dilakukan di lokasi dan waktu yang telah disepakati, dengan disaksikan oleh beberapa orang sebagai saksi.
2. Nyelep (Penyerangan Tidak Langsung)
Metode ini dianggap kurang terhormat karena dilakukan dengan menyerang dari belakang atau samping saat lawan sedang lengah. Meskipun dianggap tidak ksatria, cara ini tetap dipilih oleh sebagian pelaku carok, terutama ketika mereka merasa tidak memiliki kekuatan yang seimbang dengan lawan mereka.
Peraturan dan Etika
1. Keterlibatan Pihak Lain
Dalam situasi carok yang melibatkan lebih dari satu orang, biasanya pelaku akan dibantu oleh kerabat dekat (taretan dalem) yang memiliki reputasi sebagai jagoan. Namun, ada aturan tidak tertulis yang mengharuskan pertarungan tetap seimbang dan adil.
2. Waktu dan Tempat
Pemilihan waktu dan tempat untuk carok harus disepakati oleh kedua pihak. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa pertarungan berlangsung dengan cara yang terhormat dan memberikan kesempatan bagi masing-masing pihak untuk mempersiapkan diri.
Tradisi carok, beserta seluruh tata cara dan persyaratannya, mencerminkan kerumitan budaya Madura yang sangat menjunjung tinggi nilai kehormatan. Meskipun saat ini praktik ini mulai ditinggalkan dan digantikan oleh metode penyelesaian konflik yang lebih modern, penting untuk memahami tata cara dan persyaratannya. Hal ini menunjukkan bahwa carok bukan sekadar tindakan kekerasan tanpa aturan, melainkan juga merupakan manifestasi dari sistem nilai yang telah mengakar dalam masyarakat Madura. Transformasi dari cara penyelesaian konflik tradisional ke metode yang lebih konstruktif perlu mempertimbangkan nilai-nilai yang mendasari tradisi ini.
Tinjauan Hukum mengenai Carok
Tradisi carok, yang merupakan bagian dari budaya Madura, menimbulkan dilema dalam konteks negara hukum modern. Meskipun carok dianggap oleh sebagian masyarakat Madura sebagai cara sah untuk menyelesaikan konflik, praktik ini jelas bertentangan dengan hukum positif Indonesia, yang mengategorikan carok sebagai tindak pidana penganiayaan atau pembunuhan dengan hukuman yang berat.
Penegakan hukum terhadap carok tidak hanya melibatkan penerapan pasal-pasal dalam KUHP, tetapi juga harus mempertimbangkan nilai-nilai budaya yang mengakar dalam masyarakat Madura. Dalam beberapa kasus, pendekatan restorative justice, melibatkan tokoh masyarakat seperti kiai, telah digunakan untuk memediasi dan mencari solusi yang diterima oleh semua pihak.Upaya pencegahan carok menghadapi tantangan besar, karena tradisi ini begitu erat dengan identitas budaya masyarakat Madura.
Namun, ada perubahan sikap dalam masyarakat, dengan sebagian besar responden lebih memilih cara penyelesaian konflik yang lebih bijaksana. Oleh karena itu, transformasi budaya carok dalam sistem hukum modern perlu dilakukan secara bertahap, dengan pendekatan yang melibatkan penegakan hukum, kesadaran hak asasi manusia, serta mekanisme penyelesaian sengketa alternatif. Pendekatan ini diharapkan dapat menjaga nilai-nilai budaya positif sambil mendorong terciptanya masyarakat yang lebih damai dan konstruktif.
Kasus Carok di Sampang, Dari Perseteruan Politik hingga Proses Hukum
Salah satu contoh kasus carok yang belakangan ini hangat diperbincangkan adalah yang terjadi di Desa Ketapang Laok, Sampang, Madura pada November 2024. Kasus ini menarik perhatian publik karena melibatkan aspek politik dalam konteks Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Peristiwa ini menambah kompleksitas dalam penanganan kasus carok, yang kini tidak hanya berkaitan dengan harga diri individu, tetapi juga terhubung dengan dinamika politik lokal. Situasi ini mencerminkan bagaimana tradisi carok terus berkembang dan memerlukan pendekatan penanganan yang lebih menyeluruh.
Menurut penjelasan Dirreskrimum Polda Jatim, Kombes Pol Farman, insiden ini bermula dari kunjungan mendadak H Slamet Junaidi, calon pasangan nomor urut 2 dalam Pilkada Sampang, ke padepokan Babussalam yang dipimpin oleh Kiai Mualif. Kunjungan yang tiba-tiba ini memicu konflik antara dua tokoh agama bersaudara, yaitu Kiai Mualif dan Kiai Hamduddin. Perselisihan ini berujung pada aksi carok yang mengakibatkan tewasnya Jimmy Sugito Putra, yang merupakan saksi dari calon tersebut.
Motif di balik aksi carok ini menunjukkan pergeseran dari pola tradisional. Sebelumnya, carok lebih sering dipicu oleh masalah kehormatan keluarga atau sengketa tanah, namun sekarang kasus ini menunjukkan bahwa politik dapat menjadi pemicu baru. Kiai Hamduddin merasa kehormatannya sebagai tokoh senior dilanggar karena tidak dimintai izin atas kunjungan politik tersebut, yang kemudian mengarah pada konflik fisik.
Pihak kepolisian pun mengambil tindakan cepat dalam menangani kasus ini dengan mengirimkan tim dari Polda Jatim untuk mendukung penyelidikan Polres Sampang. Pendekatan yang diambil tidak hanya terfokus pada pengungkapan pelaku, tetapi juga pada upaya pencegahan konflik yang lebih luas, mengingat konteks politik yang melatarbelakangi insiden ini.
Kompleksitas kasus ini juga terlihat dari banyaknya korban yang berjatuhan. Jimmy Sugito Putra mengalami berbagai luka serius, termasuk luka robek di kepala sepanjang 12 sentimeter, luka bacok di pipi sepanjang 21 sentimeter, serta luka-luka lainnya yang menunjukkan betapa brutalnya aksi tersebut. Kondisi ini menambah urgensi bagi aparat penegak hukum untuk menangani kasus ini dengan serius dan mencegah potensi konflik yang mungkin muncul di kemudian hari.
Penanganan kasus ini melibatkan berbagai pihak, termasuk Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang diminta untuk mencegah potensi konflik dalam Pilkada serentak 2024. Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka juga memberikan perhatian, dengan mengingatkan pentingnya mencegah perpecahan akibat perbedaan pilihan politik.
Kasus carok di Sampang ini memberikan pelajaran penting mengenai interaksi antara tradisi lokal dan dinamika politik modern, serta potensi konflik yang lebih kompleks. Penanganannya memerlukan pendekatan multi-dimensi yang tidak hanya berfokus pada aspek hukum, tetapi juga mempertimbangkan aspek sosial, budaya, dan politik. Yang paling penting, kasus ini mengingatkan kita akan perlunya transformasi cara penyelesaian konflik dalam masyarakat yang sedang mengalami modernisasi, terutama dalam konteks politik lokal.
Tradisi carok mencerminkan kompleksitas hubungan antara budaya, kehormatan, dan kekerasan dalam masyarakat Madura. Meskipun praktik ini semakin berkurang dan banyak ditentang, pemahaman terhadap fenomena ini tetap penting sebagai pembelajaran dalam mengelola konflik sosial dan mentransformasikan nilai-nilai tradisional ke dalam konteks modern.