Ahli Kesehatan Tegaskan Konsumsi Air Galon Polikarbonat tidak Menimbulkan Efek Samping
Pakar kesehatan menyatakan bahwa mengonsumsi air dari galon polikarbonat yang mengandung Bisphenol A (BPA) tetap aman dan tidak berisiko bagi kesehatan.
Di tengah diskusi publik mengenai keamanan galon air berbahan polikarbonat yang mengandung Bisphenol A (BPA), banyak ahli kesehatan menegaskan bahwa mengonsumsi air dari galon tersebut tetap aman dan tidak akan menimbulkan efek samping yang berbahaya bagi kesehatan.
Pernyataan ini disampaikan oleh Dr. Ngabila Salama MKM, seorang pakar kesehatan masyarakat dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Dr. Ngabila menekankan bahwa mengonsumsi air dari galon polikarbonat yang kuat masih dapat dianggap aman. Dengan kata lain, masyarakat tidak perlu merasa khawatir karena mengonsumsi air dari galon tersebut tidak akan menyebabkan masalah kesehatan.
- Air Dalam Galon Polikarbonat Dipastikan Aman Diminum, Begini Penjelasan Pakar
- Tak Selamanya Sehat, Ketahui 5 Dampak Buruk Minum Air Hangat saat Perut Kosong
- Tak Selamanya Sehat, Ketahui 5 Dampak Buruk Minum Air Hangat saat Perut Kosong
- Aturan Pelabelan BPA Disahkan, Komunitas Konsumen Indonesia Apresiasi BPOM
"Masih aman, dan tidak akan menyebabkan gangguan kesehatan apapun," kata Dr. Ngabila, dalam keterangannya pada Senin (19/11/2024).
Dr. Ngabila juga menjelaskan bahwa penggunaan BPA tidak hanya terbatas pada galon polikarbonat saja. Senyawa ini juga banyak digunakan dalam kemasan makanan kalengan seperti ikan, daging, jagung beku, hingga susu evaporasi. Selain itu, BPA juga dapat ditemukan dalam produk non-makanan seperti mainan, peralatan listrik, perangkat otomotif, peralatan medis, dan berbagai barang sehari-hari lainnya.
"BPA aman, selama tidak bermigrasi ke manusia dalam jumlah tinggi melebihi ambang batas normal," katanya.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat bahwa rata-rata kadar BPA pada anak di atas 3 tahun adalah 70 ng/kgBB/hari, sedangkan pada orang dewasa adalah dua kali lipatnya. Kadar yang dianggap aman adalah 0,05 mg/kgBB/hari, dengan rata-rata kadar yang terdeteksi dalam urine manusia sebesar 0,03 mg/kgBB/hari. Sementara itu, ambang batas yang ditetapkan oleh BPOM di Indonesia adalah 0,06 mg/kg.
Dr. Ngabila menambahkan bahwa sekitar 90 persen BPA yang masuk ke dalam tubuh akan dikeluarkan melalui urine dan feses. Ia menjelaskan bahwa BPA baru dapat berpindah dari kemasan ke makanan jika dipanaskan pada suhu lebih dari 70 derajat Celsius.
"Faktor suhu tinggi menjadi terbanyak risiko migrasi ke manusia," ungkap Kepala Seksi Surveilans Epidemiologi dan Imunisasi di Dinas Kesehatan DKI Jakarta ini. Dengan demikian, penting untuk memahami bahwa meskipun BPA terdapat dalam berbagai produk, risiko terhadap kesehatan dapat diminimalkan dengan cara penyimpanan dan pemanasan yang tepat.
Tidak menimbulkan masalah kesehatan
Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Hermawan Saputra, juga menegaskan hal yang sama. Ia memastikan bahwa mengonsumsi air dari galon yang terbuat dari polikarbonat, baik yang kuat maupun yang dapat digunakan ulang, tidak akan menimbulkan masalah kesehatan.
Hermawan menekankan bahwa galon-galon tersebut telah memenuhi standar SNI dan telah melalui berbagai penelitian serta uji kecocokan pangan. Oleh karena itu, pakar kesehatan masyarakat ini mengimbau kepada masyarakat agar tidak merasa khawatir dalam mengonsumsi air dari galon tersebut. "Kalau semua produk terutama kemasan itu sudah terstandar SNI ya tandanya dia juga level toleransinya terhadap cemaran itu tidak membahayakan dan itu tidak sampai menimbulkan gangguan kehamilan dan janin," ungkap Hermawan.
Galon polikarbonat sudah diuji dan memenuhi standar
Ahli epidemiologi menjelaskan bahwa badan akreditasi mutu telah melaksanakan serangkaian penelitian dan uji klinis sebelum memberikan label SNI pada galon atau kemasan pangan lainnya. Dia menambahkan bahwa dari hasil penelitian tersebut, diperoleh kesimpulan bahwa paparan BPA dalam galon yang terbuat dari polikarbonat masih berada dalam batas aman dan tidak membahayakan konsumen.
"Artinya dengan terstandar atau ter-SNI maka dia (galon) sudah melewati tahap evidence base komparatif atau studi perbandingan terhadap hasil penelitian dengan hasil produksi yang sudah ada," sambung Hermawan.
Menurut penjelasan dari ahli epidemiologi tersebut, proses akreditasi mutu melibatkan penelitian yang mendalam dan uji klinis yang ketat. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa produk yang diberi label SNI memenuhi standar keamanan yang ditetapkan. Dengan demikian, konsumen bisa merasa lebih aman saat menggunakan galon atau kemasan pangan yang telah terakreditasi. Penelitian ini menjadi penting karena memberikan jaminan bahwa produk yang beredar di pasaran telah melalui evaluasi yang komprehensif dan dapat dipercaya.