10 Anak Cuci Darah di RS Kariadi Semarang, Begini Penjelasan Dinkes Jateng
Tidak ada pasien anak rujukan dari luar provinsi Jateng di RS Kariadi Semarang.
Sebanyak 10 pasien anak yang berasal dari beberapa daerah di provinsi Jawa Tengah (Jateng) menjalani cuci darah di RSUP Dr Kariadi Semarang. Tidak ada pasien anak rujukan dari luar provinsi Jateng di rumah sakit tersebut.
- Kasus Dugaan Bayi Tertukar di RS Cempaka Putih, Dinkes DKI Janji Tindak Tegas Tenaga Medis Jika Terbukti Lalai
- Duduk Perkara Perwira Polisi Siram Kopi ke Wajah Pria Coba Culik Anak SD di Serang Banten
- Anak Pedagang Kue Sukses jadi Jenderal Bintang Tiga TNI, kini Adu Nasib Maju di Pilkada
- 20 Anak Cuci Darah di RSHS Bandung, Sebagain Pasien Dirujuk ke Rumah Sakit Daerah
"Di tempat kami 10 pasien anak cuci darah dan berasal dari Jateng semua," kata Koordinator Humas RSUP Dr. Kariadi Semarang, Vivi Vira Viridianti, Jumat (2/8).
Terkait penyebab puluhan anak itu menjalani cuci darah, Vivi tak bisa menjelaskan. Begitu juga dengan spesifik daerah asal pasien tersebut. Dia mengatakan, penyebab dan asal pasien merupakan rekam medis yang tidak bisa diungkapkan ke publik.
"Ini sudah ranah medis. Saya tidak berwenang menyampaikan," ungkapnya.
Kepala Bidang (Kabid) Pelayanan Kesehatan (Yankes) Dinkes Jateng, Elhamangto Zuhdan mengatakan, ada banyak penyebab anak cuci darah.
"Mungkin karena bawaan, akibat pengobatan yang membuat fungsi ginjal menurun, konsumsi minuman manis, dan lain sebagainya. Tapi untuk minuman manis memang perlu waktu cukup lama untuk mengakibatkan komplikasi gagal ginjal. Makanya perlu kajian mendalam,” kata dia.
Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan (Dinkes) Jateng, terdapat empat RS besar atau tipe A, yakni RSUD Margono di Purwokerto, RSUP dr Kariadi Semarang, RSUD dr Moewardi Solo, dan RSUP Soeradji Tirtonegoro di Klaten. Dalam satu bulan, keempat RS tersebut bisa menangani 10-14 pasien anak cuci darah.
Dinkes Jateng mengungkap fenomena yang terjadi di wilayahnya sama seperti yang terjadi di RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Yakni tidak ada kenaikan kasus cuci darah bagi anak, melainkan tren peningkatan pelayanan karena adanya rujukan pasien dari luar daerah.
Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Piprim Basarah Yanuarso menyebut, sekitar 1 dari 5 anak Indonesia berusia 12-18 tahun berpotensi mengalami kerusakan ginjal. Kondisi ini disebabkan gaya hidup kurang sehat.
Melihat data tersebut, Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra mendorong pengawasan ketat terhadap makanan dan minuman yang beredar di masyarakat.
Menurut dia, banyaknya anak-anak yang mengonsumsi makanan dan minuman dengan kandungan gula, garam, dan lemak berlebih menjadi salah satu penyebab gangguan ginjal pada anak.
"Penting segera ada sosialisasi gejala sebelum terganggu ginjalnya dan cuci darah, kemudian konsumsi air putih yang perlu diperhatikan, mengurangi konsumsi zat berpemanis buatan, garam dan lemak," kata Jasra Putra, pada Jumat (26/7) lalu.