Asep, tukang palak preman yang tobat masuk IAIN jurusan Agama Islam
Asep kerap mengancam korbannya dengan menunjukkan bakat dia yang mampu memakan pisau dan silet. Korbannya pun takut.
Asep Ruhiat pengacara kondang di Riau mempunyai bakat memakan silet dan pisau. Dia sudah terbiasa melakukannya sejak kecil di kampungnya, di desa Cinta Rakyat kecamatan Samarang kabupaten Garut.
Bakat inilah yang membuat Asep ditakuti teman-temannya. "Saya tunjukkin ke kawan-kawan sekolah, mereka pun takut duluan, jadi apapun yang saya lakukan yang semau saya saja," ujar kepada merdeka.com Sabtu (28/2) di kantornya.
Dengan hasil memeras orang seperti ini lah Asep bisa membayar uang sekolah. "Sini kamu, minta duit buat ongkos, kalau enggak, saya tendang kamu, waktu itu dikasih Rp 100 sampai Rp 200," kata Asep menirukan gaya premannya saat itu.
Uang Rp 100 dari orang-orang yang diperasnya, di kalangan pelajar ditahun 1992 menurut Asep sangatlah banyak. Bisa untuk makan dan biaya kehidupannya sehari-hari. Dan beli peralatan sekolah.
"Satu orang yang saya peras ngasih Rp 100, tapi saya tidak hanya memeras pelajar saja, saya juga kerja di terminal jadi calo penumpang, uangnya bisa buat bayar biaya sekolah Aliyah," katanya.
Kebiasaan ini berlanjut sampai di bangku kuliah. Meski tidak ada biaya, pengacara berambut gondrong ini nekat berangkat dari kampungnya di desa Cinta Rakyat kecamatan Samarang kabupaten Garut, ke kota Bandung.
Melewati berbagai ujian, Asep diterima di Universitas Padjajaran (UNPAD) Bandung dan IAIN Sunan Gunung Jati. Namun dirinya lebih memilih IAIN Sunan Gunung Jati untuk mengambil Strata Satu jurusan Agama Islam.
Semasa kuliah tahun 1994, Asep kembali ke dunia peras memeras di bunderan Cibiru dekat kampus IAIN, di situ Asep juga kembali menjadi calo penumpang agar bisa memenuhi biaya kuliah.
"Di situ, banyak yang iri dan merasa tersaingi, sempat mereka mengancam mau gibas saya, tapi saya ajak kelahi saja, dan enggak ada yang berani. Di kampus saya suka atraksi di kelas, makan beling, makan silet, memasukkan paku ke hidung, memasukkan sendok ke hidung," kata Asep Ruhiat.
"Selama kuliah, selain jadi calo penumpang, saya juga pernah jualan koran, narik penumpang sebagai kernet pakai taksi gelap pada malam hari, siang saya kuliah, istirahat kurang, badan kurus hitam lagi," katanya sambil menghapus tetesan airmatanya terkenang masa lalu.
Anak pertama dari tiga bersaudara ini akhirnya lulus kuliah sebagai sarjana Agama selama 4 tahun di IAIN Sunan Gunung Jati, dengan Indek Prestasi Kumulatif yang lumayan tinggi.
"Alhamdulillah IPK saya 3,5, meski nakal saya lulus kuliah selama 4 tahun, lalu nyambung kuliah lagi ngambil gelar sarjana hukum, untuk bisa jadi pengacara karena itu cita-cita saya," ujarnya.
Baca juga:
Taklukan preman terminal, Gus Tanto dirikan ponpes napi napi taubat
Cerita pendekar jalanan tobat jadi kolektor keris
Hobi tawuran, Agung Syuhada kini jadi guru ngaji keluarga Jokowi
Kisah penguasa bioskop Medan tobat jadi pejuang pembangunan masjid
Tak ada biaya sekolah, pengacara kondang ini dulu suka palak preman
Jhony AO, si tukang mabuk tobat karena lontong sayur ustaz Arifin
-
Bagaimana Prabowo disambut di Pondok Pesantren Cipasung? Prabowo dan rombongan mendapat sambutan yang meriah dari pengasuh dan pimpinan ponpes, serta santriwan dan santriwanti.
-
Kapan Kiai Ageung mendirikan pesantren di Purwakarta? Mulanya, Kiai Ageung datang ke Purwakarta untuk mengenalkan Agama Islam pada 1586.
-
Kenapa Prasasti Huludayeuh penting? Di masa itu, Prabu Siliwangi melalui program kerajaannya memiliki sejumlah proyek terkait infrastruktur seperti parit untuk kebutuhan pertahanan ibu kota Pakuan, membuat monumen gunungan, menggencarkan perkerasan jalan, menyelamatkan hutan lindung dan sebagainya.
-
Kapan Purnawarman meninggal? Purnawarman meninggal tahun 434 M.
-
Kapan Pondok Pesantren Langitan didirikan? Jauh sebelum Indonesia merdeka, yakni pada tahun 1852, Kiai Muhammad Nur mendirikan pondok pesantren di Kecamatan Widang, Kabupaten Tuban.
-
Kapan Paspampres dibentuk? Paspampres adalah salah satu dari Badan Pelaksana Pusat Tentara Nasional Indonesia (TNI).