Jejak sejarah pembelian kapal haji di Aceh
Setelah heboh kemunculan surat obligasi dari Nyak Sandang warga Kabupaten Aceh Jaya untuk membeli pesawat RI 001, kini giliran Armija bin Mahjidin (72) warga Gampong Beurawe, Kecamatan Kuta Alam, Kota Banda Aceh memperlihatkan surat saham untuk membeli kapal laut di Aceh.
Setelah heboh kemunculan surat obligasi dari Nyak Sandang warga Kabupaten Aceh Jaya untuk membeli pesawat RI 001, kini giliran Armija bin Mahjidin (72) warga Gampong Beurawe, Kecamatan Kuta Alam, Kota Banda Aceh memperlihatkan surat saham untuk membeli kapal laut di Aceh.
Armija sudah menyimpan surat saham asli itu sejak tahun 1970 yang dikeluarkan oleh PT Perusahaan Pelayaran Arafat. Sebuah perusahaan yang membeli kapal laut sekitar tahun 1960-an untuk transportasi laut bagi warga Aceh yang hendak berangkat haji pada waktu itu.
-
Siapa Abu Bakar Aceh? Abu Bakar Aceh, seorang tokoh intelektual tersohor asal Aceh yang telah melahirkan banyak karya di bidang keagamaan, filsafat, dan kebudayaan.
-
Siapa Raja Ali Haji? Raja Ali Haji bin Raja Haji Ahmad atau dikenal dengan nama pena Raja Ali Haji lahir di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau pada tahun 1808 silam.
-
Apa itu haji? Haji sendiri merupakan salah satu rukun Islam yang bisa ditunaikan. Haji merupakan ibadah yang ditunaikan setelah syahadat, salat, zakat, dan puasa. Namun dalam syariatnya, menunaikan ibadah Haji dapat dilakukan apabila seorang muslim mampu melaksanakannya.
-
Apa yang dilakukan di Aceh saat Meugang? Mereka pastinya tidak ketinggalan untuk melaksanakan Meugang bersama keluarga, kerabat, bahkan yatim piatu. Tak hanya itu, hampir seluruh daerah Aceh menggelar tradisi tersebut sehingga sudah mengakar dalam masyarakatnya.
-
Siapa yang meneliti sejarah Sidoarjo? Mengutip artikel berjudul Di Balik Nama Sidoarjo karya Nur Indah Safira (Universitas Nahdlatul Ulama Sidoarjo, 2000), Kabupaten Sidoarjo terkenal dengan sebutan Kota Delta yang merujuk pada sejarah daerah ini yang dulunya dikelilingi lautan.
Surat saham tersebut atas nama Tgk Mahjidin (sudah almarhum) dengan alamat Lamtimpeung Tangkeh, Darussalam, Kota Banda Aceh. Surat itu kemudian disimpan oleh anak kandungnya atas nama Armija. Tgk Mahjidin memberikan wasiat kepada Armija untuk menyimpan surat saham tersebut.
Surat obligasi berbentuk saham yang diinvestasikan kepada PT Perusahaan Pelayaran Arafat untuk membeli kapal laut yang kemudian diberi nama Kapal Cut Nyak Dhien. Surat saham itu dituliskan dengan ejaan lama yang dikeluarkan pada tanggal 1 Januari 1969. Armija memprediksikan itu menjadi kapal laut pertama dibeli di Aceh untuk memberangkatkan jemaah haji dari pulau Sabang.
Di samping kertas surat saham tersebut dituliskan Modal Rp 560.000.000 terbagi atas 1.120.000 saham. Satu saham dinilai oleh perusahaan tersebut sebesar Rp 500. Surat saham milik Tgk Mahjidin ditantatangani langsung oleh Direktur Utama PT Perusahaan Pelayaran Arafat, Brigjen TNI Roeshan Roesli.
Pada surat saham milik Tgk Mahjidin ini, di halaman depan tertera jelas harga saham sebesar Rp 500. Lalu pada lembaran kedua ada pengesahan dan beberapa catatan. Sedangkan lembaran ketiga sebelah kanan atas tertulis 'Peringatan (Tjatatan) Penerimaan Dividen'. Ada 5 surat saham pada lembar ketiga dengan satu lembar pengesahan paling atas surat tersebut.
Surat saham tersebut jelas tertulis dengan ejaan lama sebelum disempurnakan yaitu "Talon penerimaan dividen, Surat Saham". Kedudukan PT Perusahaan Pelayaran Arafat tertera jelas di Jakarta.
Armija mengaku surat saham ini sudah dia simpan sejak tahun 1970. Surat saham itu diberikan oleh orang tuanya pada saat itu. Sedangkan orang tuanya meninggal dunia pada tahun 1980 lalu.
"Waktu itu Ayah memberikan kepada saya, karena saya anak laki tertua dari 11 bersaudara, saya anak ketiga, makanya diberikan kepada saya surat saham itu," kata Armija di Banda Aceh, Kamis (5/4).
Menurutnya, saham itu adalah modal, meskipun Armia mengaku tidak mengerti dibawa ke mana surat saham tersebut. Dia berharap ada perhatian dari pemerintah tentang keberadaan bukti sejarah tersebut.
"Enggak tau saya mau dikasih apa, tetapi ini kan surat saham, saham itu modal," tukasnya.
Armija mengisahkan, obligasi itu bermula pemerintah Kota Banda Aceh saat itu mengumumkan siapapun warga yang hendak menunaikan haji untuk bisa mendatangi kantor pemerintah di Peunayong Kota Banda Aceh.
Saat itu, Tgk Mahjidin yang bekerja di Departemen Agama mengajukan diri untuk menunaikan haji pada tahun 1965. Saat itu, Armija yang masih berusia 11 tahun mengaku kondisi ekonomi sedang sangat terpuruk. Kendati demikian, Tgk Mahjidin tetap berupaya segala usaha dengan bekerja sampingan sebagai buruh untuk memenuhi kebutuhan biaya naik haji.
Tidak semua warga beruntung bisa naik haji saat itu. Meskipun memiliki uang yang cukup, karena kouta saat itu sangat terbatas. Berdasarkan kesaksian Armija yang melihat langsung saat itu, untuk Kota Banda Aceh hanya diberi kouta sebanyak lima orang.
Untuk bisa mendapatkan lima orang tersebut. Pemerintah Kota Banda Aceh yang berpusat di Peunayong masa itu membuat undian. Dalam kotak undian ada lima nomor, setiap yang berkeinginan untuk menunaikan haji agar mengambil undian tersebut.
Saat itu, Armija menyebutkan, ayahnya (Tgk Mahjidin) beruntung. Tgk Mahjidin mendapat giliran yang terakhir menarik undian, yaitu mendapat nomor lima. Dengan demikian, Tgk Mahjidin yang bekerja sebagai pegawai di Depertemen Agama dan pedagang diminta untuk menyetorkan biaya haji sebesar Rp 450.000.
"Tetapi sebelum berangkat haji, setiap jamaah yang hendak naik haji juga diwajibkan untuk membayar lagi Rp 50.000, kata panitia untuk membeli kapal laut," ungkap Armija.
Dari jumlah pembayaran Rp 50.000 inilah kemudian pihak PT Perusahaan Pelayaran Arafat memberikan saham sebesar Rp 500 kepada Tgk Mahjidin sebagaimana tertera dalam surat saham tersebut. "Jadi total yang harus dikeluarkan uang saat itu Rp 500.000 untuk naik haji," tukasnya.
Penyertaan modal itu kemudian pihak PT Perusahaan Pelayaran Arafat mengeluarkan surat saham pada tahun 1 Januari 1969, setelah lima tahun T Mahjidin selesai menunaikan ibadah haji menggunakan kapal tersebut.
Armija masih ingat betul peristiwa 56 tahun lalu. Saat ayahnya berangkat haji pada tahun 1965 itu, dia sempat mengantarkan langsung ke pelabuhan Sabang. Saat itu, dari lima orang yang beruntung naik haji melalui pengundian itu, satu orang gagal berangkat karena tak mampu membayar uang tambahan Rp 50.000.
Bahkan saat itu berdasarkan kesaksian dari Armija, ada satu orang atas nama Apek Hasyem (sudah almarhum) gagal berangkat, karena tidak mampu membayar uang penyertaan modal membeli kapal laut tersebut. Sehingga Apek Hasyem warga Lhoknga tidak jadi berangkat saat itu.
"Ada satu orang gagal namanya Hasyem, jadi uang tambahan Rp 50.000 itu memang dipaksa, buktinya Apek Hasyem gagal berangkat," jelasnya.
Armija mengaku saat mengantarkan ayahnya berangkat haji menggunakan kapal tersebut yang diberi nama Cut Nyak Dhien sempat naik ke dalam. Saat itu, Armija takjub menyaksikan ada ratusan penumpang sudah berada dalam kapal yang hendak berangkat haji yang berlabuh di dermaga yang ada di Sabang.
Dermaga tempat berlabuh kapal tersebut, Armija memperkirakan letaknya di Pelabuhan CT I, II dan III Gampong Kuta Timu, Kota Sabang sekarang. Saat itu, Sabang sudah ditetapkan menjadi pelabuhan bebas (freeport) dan banyak merapat kapal-kapal lintas internasional.
Armija saat mengantar ayahnya berangkat haji usia 12 tahun, masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) kelas lima. Dia sendiri masih ingat semua dengan peristiwa tersebut, bahkan ayahnya selalu menceritakan saat waktu senggang berbagai kisah pada masa itu.
Sedangkan Armija kecil pulang dengan tetangganya yang juga ikut mengantarkan keluarganya berangkat haji menggunakan kapal tersebut. Orang tua Armija baru kembali ke Aceh setelah menempuh perjalanan selama tiga bulan ke Tanah Suci. Satu bulan berangkat, satu bulan di tanah suci dan satu bulan kemudian perjalanan pulang.
Kisah Tg Mahjidin bisa menunaikan ibadah haji sendiri bukan tak memiliki rintangan. Armija bercerita, saat mula ayahnya bercerita hendak menunaikan ibadah haji sempat ditertawakan oleh keluarganya saat itu.
Kondisi ekonomi saat itu sedang sangat terpuruk, mustahil bisa memenuhi dana yang dibutuhkan bisa terpenuhi. Akan tetapi, Armija menyebutkan ayahnya pantang menyerahkan saat niatnya sudah bulat.
Setelah menyetor uang naik haji Rp 450.000, ternyata tiba-tiba pihak penyelenggara haji meminta tambahan Rp 50.000 yang kemudian diketahui sebagai penyertaan modal membeli kapal laut oleh pihak PT Perusahaan Pelayaran Arafat.
Saat itu, Tgk Mahjidin nyaris gagal untuk berangkat. Karena semua harta benda dan tambungan tak cukup untuk membayar uang penyertaan modal tersebut.
Namun keberuntungan berpihak kepada Tgk Mahjedin. Selain sebagai pegawai di Depertemen Agama di Kota Banda Aceh. Untuk menambah pundi-pundi penghasilan yang saat itu ekonomi bangsa Indonesia sedang sulit, karena baru terjadi pemberontakan G30S PKI, Tgk Mahjidin mencoba mengadu keberuntungan dengan berdagang.
Saat kondisi sedang pelik seperti itu. Tiba-tiba ada rekan Tgk Majidin mengingatkan bahwa dia ada menyimpan dua goni gula pasir di sebuah gudang. Saat itu, harga gula pasir melambung tinggi. Dengan dua goni gula pasir itulah Tgk Mahjidin terselamatkan dan bisa menunaikan ibadah haji.
"Jadi diingatkan oleh rekannya, ada dua goni gula, ayah langsung menjual gula itu, satu goni dijual sudah berlebih untuk bisa membayar uang Rp 50.000 tersebut," jelasnya.
Surat saham tersebut kini disimpan rapi dalam berkas penting di rumahnya. Dia sendiri tak menyadari surat saham itu ternyata berguna. Baru ia bongkar kembali surat saham itu setelah heboh surat obligasi milik Nyak Sandang untuk membeli pesawat RI 001.
Baca juga:
8 Pasukan polisi paling brutal karena lakukan penyiksaan terhadap warga
Ini sosok Josef Mengele, dokter malaikat maut di balik kekejaman tragedi Holocaust
Jenderal pasukan Islam yang jadi legenda tak pernah kalah perang
Hanya di Indonesia, nama wilayah unik ini berasal dari kata buah
Kisah Dora Richter, wanita transgender penerima operasi kelamin pertama di dunia