Kejamnya kepala sekolah tolak siswa karena sikap kritis orang tua
Vincero (6) gagal masuk SDN 016 Samarinda karena sikap kritis orang tua yang menanyakan pungutan Rp 815.000 dari pihak sekolahan. Kini nasib warga Jalan Gerilya RT 60 No 64 Kelurahan Sungai Pinang Dalam, Kecamatan Sungai Pinang, Samarinda tersebut belum jelas.
Vincero (6) gagal masuk SDN 016 Samarinda karena sikap kritis orang tua yang menanyakan pungutan Rp 815.000 dari pihak sekolahan. Kini nasib warga Jalan Gerilya RT 60 No 64 Kelurahan Sungai Pinang Dalam, Kecamatan Sungai Pinang, Samarinda tersebut belum jelas.
"Ada 3 ruang kelas I di SDN 016 di Jalan Proklamasi itu. Kelas IA, IB dan IC. Tapi kok tidak ada nama saya," kata orang tua Vincero, Marwah (30) mengawali obrolan dengan merdeka.com Senin kemarin.
Marwah lantas menanyakan keanehan tersebut ke dewan guru. Dia lantas diarahkan untuk bertanya langsung ke Kepala Sekolah Thoyyibah. "Begitu saya bertemu, ditanya kenapa saya kemarin ke Dinas Pendidikan?" ceritanya.
Marwah tidak menampik dia ke Dinas Pendidikan. Namun demikian, bukan tanpa alasan. "Saya ke Dinas Pendidikan minta perlindungan khawatir anak saya diintimidasi. Karena saya kemarin disodorin kuitansi bernilai Rp 815.000 yang harus saya bayar, di awal masuk sekolah. Tapi tidak ada rinciannya. Saya mau tahu rinciannya, transparan," kritis Marwah.
"Ibu Kepala Sekolah itu memang sempat ketemu saya di kantor Dinas Pendidikan. Jadi, begitu ketemu di sekolah tanggal 17 kemarin, dia tanya ngapain ke Dinas Pendidikan. Ya saya jelaskan," ungkap Marwah.
Vincero sendiri mengikuti proses seleksi penerimaan siswa baru tanggal 3 Juli 2017, dinyatakan lulus dan diterima tanggal 5 Juli 2017. Untuk keperluan administrasi, orang tua diminta mendaftarkan ulang anaknya tanggal 8 Juli 2017.
"Saya daftarkan ulang anak saya tanggal 8 Juli, dibilang terlambat. Loh kok terlambat, kan anak saya lulus seleksi murni. Dijawab kepala sekolah tanggal 8 itu, terserah saya, kan saya yang buat peraturan," sebut Marwah mengingat saat itu.
Setelah sempat debat, Marwah pun menyodorkan uang Rp 815.000 dan selembar kuitansi tanda terima uang, tanpa ada embel-embel rincian apa saja yang didapat dari nominal sebesar itu.
"Itu saja saya utang di koperasi. Karena dari mana saya punya uang dalam 3 hari sebesar itu. Pekerjaan suami saya hanya nganvas mainan keliling," terang Marwah.
Akhirnya rincian Rp 815.000 yang dibayar itu merupakan paket yang berisi 4 LKS, baju olahraga, rompi dan baju batik.
"Anak saya pakai seragam merah putih, datang ke sekolah kemarin, kok tidak ada nama anak saya masuk di kelas mana? 1A, 1B atau 1C? Tidak ada nama anak saya," kenang Marwah.
"Saya perjuangkan anak saya karena sejak awal saya ikuti proses seleksinya. Tapi kok malah tidak ada nama anak saya? Akhirnya uang yang saya setor dikembalikan oleh Kepsek, anak saya tidak jadi sekolah," terang Marwah.
"Awalnya cuma saya mau tahu dan sekolah transparan uang Rp 815.000 di awal masuk sekolah itu, untuk apa? Tidak ada penjelasan rinci. Jadi, ujungnya anak saya tidak bisa sekolah. Ke Disdik pun tidak ada solusi. Akhirnya saya curhat di medsos," jelas Marwah.
"Iya kami sebagai orang tua, uang Rp 815 ribu itu besar sekali. Sementara saya kerja jual mainan keliling. Seandainya saja transparan sejak awal. Jadi untuk dapat uang sebesar itu, saya minjam di koperasi," tambah David Saputro (31), ayah dari Vincero.
Saat masalah ini dikonfirmasi, Thoyyibah mempersilakan wartawan untuk menanyakan langsung ke Dinas Pendidikan.
"Ke Dinas Pendidikan saja. Dia (Marwah) ke sana saja. Dia kan sering ke Dinas Pendidikan. Soal transparansi, saya no comment. Kita diminta Dinas no comment," ungkap Thoyyibah.
Dia membantah telah mengeluarkan Vincero. Pernyataannya berbanding terbalik dengan kesaksian Marwah. "Kita tidak keluarkan anak itu dari sekolah. Orang tua yang tidak mau sekolah di sini," kilahnya.
Kepala Dinas Pendidikan Kota Samarinda Akhmad Hidayat menjamin Vincero akan kembali sekolah dalam pekan ini. Bahkan dia bersedia menjadi jaminannya.
"Saya menjamin dia bersekolah dalam pekan ini. Kalau tidak sekolah, tuntut saya," terang Akhmad Hidayat kepada wartawan, Selasa (18/7).
Disdik Samarinda juga telah memanggil Thoyyibah. Dalam keterangannya, penyebab Vincero lantaran wali murid tidak melakukan pendaftaran ulang.
"Kata kepala sekolah, anaknya ibu itu tidak mendaftar ulang. Tiba-tiba datang masuk tanggal 17 kemarin. Jadi anak itu dikeluarkan dari sekolah, karena tidak terdaftar," klaim Hidayat.
"Saya minta panggil lagi orang tuanya, kembalikan ke sekolah (SDN 016). Terserah orang tuanya, mau sekolah di sana atau tidak. Jadi, ini miskomunikasi saja tidak daftar ulang," ujar Hidayat.
Terkait pungutan Rp 815 ribu, Disdik menyalahkan pihak sekolahan lantaran tak transparan. Selain itu juga kebijakan tersebut bukan dari Disdik.
"Memang, saya juga menyalahkan, tidak ada informasi ke kita. Mestinya transparan. Angka Rp 815 ribu untuk apa saja, dan komite sekolah mesti tahu. Ini sepertinya belum ada komunikasi," ujar Hidayat.
"Sepihak? Mungkin banyak sekolah lain, cuma tidak terekspose ya. Masalahnya, pihak sekolah (SDN 016) tidak transparan, sehingga ada pertanyaan kok mahal sekali," terangnya.
"Bicarakan, diterima di sekolah SD ini, mesti menembus ini dan itu. Kalau sanggup tak masalah, tak sanggup dicicil. Mestinya kebijakannya seperti itu. Sekolah memang gratis, tapi sarana yang dipakai kan bayar. Dalam aturan, tidak ada diatur soal bayar pakaian," tukasnya.
Wali Kota Samarinda Syaharie Jaang mengambil langkah tegas dengan menonaktifkan Thoyyibah sebagai kepala SDN 016. Thoyyibah kini dalam pemeriksaan Inspektorat Kota Samarinda.
"Dinonaktif sementara, dalam masa pemeriksaan. Saya sudah instruksikan ke Dinas Pendidikan dan Inspektorat, mengadakan pemeriksaan," kata Jaang, Rabu kemarin.
Jaang memastikan Vincero tetap akan bisa sekolah di SDN 016. "Anak Vincero tetap sekolah di tempat di mana orang tuanya mendaftar awal," ujar Jaang.
Meski sudah ada jaminan dari Wali Kota hingga anggota DPRD, Marwah mempertimbangkan menyekolahkan anaknya kembali di SDN 016. Hingga kini Marwah masih trauma.
"Saya masih diskusikan dulu dengan suami saya, bagaimana keputusan terbaiknya. Apakah Vincero tetap bersekolah di sekolah itu, atau di sekolah lain," ujar Marwah.
"Khawatirnya anak saya bersekolah di sekolah itu, dengan kepala sekolah yang sama, nanti diintimidasi. Saya pertimbangkan psikologi anak saya juga," ungkap Marwah.
Baca juga:
Tolak siswa tak mampu, Kepala SDN 016 Samarinda dinonaktifkan
Trauma, Marwah masih pertimbangkan Vincero bersekolah di SDN 016
Diduga pungli sertifikasi guru, Disdik Sumsel digeledah polisi
MK tolak gugatan terkait SMA/SMK dikelola Pemprov
Sempat ditolak, bocah Vincero dipastikan masuk SDN 016 Samarinda
Standardpen galakkan Gerakan Ayo Menulis
Mensesneg sebut Perpres Pendidikan Karakter masih didiskusikan
-
Mengapa warga Sampangan panik dengan kucing liar? Warga menduga bahwa kucing liar itu terkena rabies.
-
Bagaimana cara mengatasi gigitan kucing liar? Jika Anda tiba-tiba digigit kucing liar yang kemudian timbul luka, pertolongan pertama yang perlu dlakukan adalah menghentikan pendarahan. Setelah perdarahan berhenti keluar di area gigitan, selanjutnya bersihkan luka dengan sabun dan air, serta oleskan salep antibiotik dan perban pada gigitan. Setelah melakukan pertolongan pertama, Anda bisa mengecek kondisi ke dokter untuk mengetahui apakah luka tersebut berisiko menimbulkan komplikasi lain.
-
Bagaimana cara warga Sampangan mengatasi kucing liar? Warga yang khawatir kemudian menghubungi Dinas Pemadam Kebakaran (Damkar) untuk membantu mengevakuasi hewan tersebut.
-
Di mana henbane hitam ditemukan tumbuh liar? Sisa-sisanya umum ditemukan di situs arkeologi di Eropa Barat Laut karena tumbuh liar di dekat pemukiman manusia, sehingga sulit untuk menentukan apakah itu sengaja digunakan.
-
Bagaimana Pohon Pelawan menjadi penghasil madu liar? Selain dimanfaatkan untuk berbagai aktivitas manusia, pohon ini rupanya juga menjadi rumah atau sarang lebah liar sehingga menjadi penghasil madu lebah liar yang memiliki cita rasa pahit.
-
Dimana balap liar ini terjadi? Aksi pembubaran balap liar ini terjadi di Jalan Sudirman, Kudus, Jawa Tengah.