La Nyalla lolos dari jerat kasus korupsi miliaran rupiah
La Nyalla lolos dari jerat kasus korupsi miliaran rupiah. La Nyalla sujud syukur begitu vonis bebas dibacakan Majelis Hakim. Dia terbebas dari semua dakwaan. Nabma baiknya pun segera dipulihkan.
Mantan Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Jawa Timur (Kadin Jatim) La Nyalla Mahmud Mattalitti sujud syukur, begitu majelis hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menjatuhkan vonis bebas. Mantan Ketua Umum Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) ini bebas dari semua dakwaan kasus korupsi dana hibah Pemprov Jatim.
"Menyatakan, terdakwa La Nyalla Mahmud Mattalitdi tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pindana korupsi," kata Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Sumpeno, Selasa (27/12).
Majelis Hakim juga memerintahkan agar terdakwa segera dikeluarkan dari dalam tahanan dan mengembalikan nama baik, harkat dan martabat.
Sementara itu, anggota Majelis Hakim Sigit memaparkan, timbulnya kerugian negara dalam perkara tersebut sudah dipertanggungjawabkan oleh Wakil Ketua Umum Bidang Pengembangan Jaringan Usaha Antar Kadin Jatim Diar Kusuma Putra dan Wakil Ketua Umum Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral Kadin Jatim Nelson Sembiring. Keduanya dinilai terbukti bersalah dan masing-masing dihukum 1 tahun penjara 2 bulan dan 5 tahun 8 bulan.
"Sehingga jelaslah terdakwa La Nyalla tidak pernah dilibatkan dalam perkara dana hibah tersebut, sehingga kerugian negara Rp 26,5 miliar tidak dapat lagi dimintakan pertanggungjawabkan kepada terdakwa La Nyalla karena sudah ditanggung oleh Diar dan Nelson," kata Sigit.
Sedangkan keuntungan Rp 1,1 miliar yang tercantum dalam tuntutan jaksa penuntut umum Kejati Jawa Timur dari hasil penjualan saham IPO Bank Jatim yang pembelian dananya disebut menggunakan dana hibah, hakim mengatakan uang pembelian saham itu sudah dikembalikan.
"Terkait uang Rp 1,1 miliar, majelis hakim mempertimbangkan, di persidangan telah diperiksa saksi dan ahli. Dari keterangan saksi Diar dan Nelson, menyatakan pinjaman adalah penggunaan dana hibah sudah dikembalikan pada 2012, tapi tidak dibuat kuitansi resmi karena hanya dengan catatan kecil. Saksi Diar menyatakan terdakwa diminta untuk melengkapi administrasi karena ada yang telah ketelingsut," kata anggota majelis hakim Mas'ud.
Pengembalian dana pembelian sebesar Rp 5,3 miliar itu dilakukan secara bertahap sebanyak 5 kali, namun tidak tercatat dalam pembukuan dan tidak ada bukti. Kejadian itu berlangsung akibat buruknya sistem administrasi Kadin Jatim hingga menyebabkan kerugian terhadap negara.
"Berdasarkan keterangan dan tiga alat bukti yang sah, majelis hakim berkeyakinan uang Rp 5,3 miliar telah benar dikembalikan ke Kadin Jatim. Berdasarkan pendapat ahli, uang Rp 5,3 miliar tersebut juga sudah termasuk yang dipertanggungjawabkan saksi Diar dan Nelson dan uang yang dikembalikan tidak dikembalikan ke rekening tapi langsung digunakan untuk kegiatan Kadin," ungkap hakim Mas'ud.
Sedangkan mengenai bukti materai tempel surat pengakuan utang yang seolah-olah dilakukan pada tanggal 9 Juli 2012, padahal materai baru dicetak oleh Perum Peruri pada tanggal 11 Juni 2014, hakim menilai hal itu hanyalah urusan administrasi.
"Materai tempel yang tidak sesuai tahun pembuatannya karena catatan ketlingsut atau hilang hanyalah bersifat administrasi, sehingga menurut majelis hakim, unsur menguntungkan diri sendiri dan orang lain tidak dapat dibuktikan," papar anggota Majelis Hakim Mas'ud.
Meski membebaskan terdakwa dari segala dakwaan, namun dua hakim anggota sempat menyatakan perbedaan pendapat (dissenting opinion).
Dalam persidangan sebelumnya, La Nyalla dituntut 6 tahun penjara ditambah denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan serta kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp 1,1 miliar.
"Menjatuhkan pidana 6 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan," kata jaksa penuntut umum Kejari Surabaya Didik Farkhan saat membacakan surat tuntutan di pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (30/11).
La Nyalla Mahmud Mattaliti dikenakan dakwaan subsider dari pasal 3 jo pasal 18 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 jo pasal 65 KUHP.
Selain tuntutan pidana, jaksa juga meminta agar La Nyalla membayar uang pengganti yang merupakan uang yang ia nikmati dari hasil korupsinya.
"Menjatuhkan pidana tambahan kepada terdakwa La Nyalla Mahmud Mattaliti sejumlah Rp 1,105 miliar dengan ketentuan apabila terdakwa tidak membayar uang pengganti tersebut dalam waktu satu bulan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya akan disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut, dalam hal terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut, maka dipidana penjara selama 3 tahun dan 6 bulan," tambah jaksa Didik.
Terdapat sejumlah pertimbangan memberatkan dari tuntutan tersebut.
"Hal-hal memberatkan, perbuatan terdakwa menimbulkan kerugian bagi negara, perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi, terdakwa melarikan diri ke Singapura hingga akhirnya dideportasi, terdakwa saat diperiksa sebagai tersangka tidak mau menjawab. Hal meringankan, belum pernah dihukum," ungkap jaksa Didik.
La Nyalla dianggap melakukan korupsi dana hibah yang diberikan Pemrov Jatim kepada Kadin Jatim periode 2011-2014 senilai Rp 48 miliar. Dana tersebut dicairkan bersama-sama dengan Wakil Ketua Umum Bidang Pengembangan Jaringan Usaha Antar Provinsi Kadin Jatim Diar Kusuma Putra dan Wakil Ketua Umum Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral Kadin Jatim Nelson Sembiring.
Pada 2011, terdapat dana hibah sebesar Rp 13 miliar tapi pada kenyataannya dana yang tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh La Nyalla, Diar dan Nelson. Pada 2012, terdapat dana hibah sebesar Rp 10 miliar, dan dari jumlah itu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan adalah Rp 6,6 miliar.
"Dari jumlah itu Rp 1,3 miliar digunakan untuk kepentingan pribadi terdakwa yaitu dengan meminta Diar mentrasfer ke rekening terdakwa Rp 900 juta di Bank Mandiri dan Rp 400 juta di rekening terdakwa di Citibank," tambah jaksa.
Selain itu La Nyalla menggunakan dana Kadin sebesar Rp 5,36 miliar untuk pembelian Initial Public Offering (IPO) Bank Jatim atas nama La Nyalla.
"Pada 11 Juli 2012 terdakwa La Nyalla Mattalitti melalui PT. Mandiri Sekuritas tercatat mendapatkan IPO Bank Jatim sejumlah 12.340.500 lembar di harga Rp 430 per lembar," ungkap jaksa Didik.
Ia selanjutnya menjual saham Bank Jatim itu secara bertahap pada 2 April 2013 dan 23 Februari 2015 dengan nilai total seluruhnya Rp 6,411 miliar sehingga mendapat selisih keuntungan sejumlah Rp 1,105 miliar.
"Terdakwa mengatakan tidak mengetahui pembelian IPO menggunakan dana hibah, sehingga pembelian IPO dianggap sebagai utang namun dalam persidangan diketahui tidak ada dana pribadi yang disimpan Diar untuk dibelikan IPO. Keterangan tersebut bertentangan dengan keterangan Diar dan Edi Kusdaryanto dari Bagian Keuangan Kadin Jatim yang mengatakan sudah memberitahu soal pembelian IPO dan minat untuk membeli IPO sejumlah Rp 20 miliar namun terdakwa hanya mendatap jatah Rp 5,3 miliar," ungkap jaksa Didik.
Jaksa membantah keterangan La Nyalla yang mengatakan sudah ada pengembalian uang yan dilakukan oleh Diar dan Nelspon pada Oktober dan November 2012 untuk pembelian IPO.
"Ternyata bukti pengembalian tidak didukung dengan bukti pengembalian sistem keuangan, misalnya pengembalian uang dicatat dalam bukukas, disimpan di brankas, atau diketahui oleh bendahara. Diar dalam persidangan mengatakan pengembalian IPO tidak tercatat dan hanya ada dalam catatan kecil. Edi mengatakan tidak permah ada pengembalian dana hibah tahun 2012 karena tidak tercatat dalam buku kas dan tidak tersimpan dalam brankas," tambah jaksa Didik.
La Nyalla selanjutnya menandatangani Surat Pengakuan Hutang yang seolah-olah dilakukan pada tanggal 9 Juli 2012. Namun surat itu tidak benar karena materai yang digunakan dalam surat dimaksud baru dicetak oleh Perum Peruri pada tanggal 11 Juni 2014 sedangkan Surat Pengakuan Hutang dibuat pada 9 Juli 2012.
Kemudian pada pada 2013 terdapat Rp 15 miliar anggaran yang dicairkan dari dana hibah provinsi Jatim, dan yang tidka dapat dipertanggunjawabkan adalah sebesar Rp 8,5 miliar.
Selanjutnya pada 2014 terdapat pencairan dana hibah Rp 10 miliar dan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan La Nyalla dengan Diar dan Nelson adalah Rp 5,3 miliar.
"Agar seolah-olah dana hibah pada 2011-2014 sesuai Rencana Anggaran Biaya (RAB), terdakwa meminta Heru Susanto sebagai Staf Badan Penelitian dan Pengembangan Pemprov Jatim untuk membuat laporan pertanggungjawaban yang telah disesuaikan dengan RAB dengan cara merekayasa dengan RAB dengan cara merekayasa data pendukung laporang pertanggungjwaban," ungkap jaksa Didik.
Perbuatan-perbuatan itu juga memperkara orang lain yaitu Diar Kusuma Putra dan Nelson Sembiring sebesar Rp 26,65 miliar dan merugikan keuangan negara pemprov Jatim sebear Rp 27,76 miliar atau setidak-tidaknya Rp 26,654 miliar.
-
Kapan HUT Kodam Jaya diperingati? Setiap tanggal 24 Desember diperingati HUT Kodam Jaya.
-
Bagaimana prajurit Mataram akhirnya berjualan di Jakarta? Meskipun kalah perang, para prajurit yang kalah justru mulai berjualan di Jakarta dengan dua menu yaitu telur asin dan orek tempe.
-
Kapan Alimin bin Prawirodirjo lahir? Lahir di Surakarta, Jawa Tengah pada tahun 1889, pria yang kerap disapa Alimin ini terlahir dari kalangan keluarga miskin.
-
Kapan Kurniawan Dwi Yulianto lahir? Kelahiran Kurniawan Dwi Yulianto 13 Juli 1976
-
Kapan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo lahir? Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo lahir pada 7 Januari 1905, di Cepu, Jawa Tengah.
-
Kapan Syamsidar Yahya wafat? Hj. Syamsidar Yahya wafat pada tahun 1975 di Pekanbaru, Riau di usianya yang ke-61 tahun.
Baca juga:
Pengadilan Tipikor vonis bebas La Nyalla
Divonis bebas, La Nyalla Mahmud Mattalitti sujud syukur
Ini alasan majelis hakim Tipikor vonis bebas La Nyalla
La Nyalla divonis bebas, 2 hakim Tipikor ajukan dissenting opinion