Langkah Bappenas di Tengah Polemik Nyamuk Wolbachia
Bappenas akan turut andil untuk menengahi kebijakan Kemenkes dan keresahan masyarakat.
Langkah Bappenas di Tengah Polemik Nyamuk Wolbachia
Penyebaran nyamuk dengan teknologi Wolbachia kini tengah menjadi perbincangan di masyarakat. Bukan tanpa sebab, nyamuk ber-wolbachia yang diyakini bisa menekan kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) ini, akan disebar ke lima kota di Indonesia. Kelima kota tersebut yakni Semarang, Bandung, Jakarta Barat, Kupang dan Bontang.
Adapun program ini mengacu pada Keputusan Menteri kesehatan RI Nomor 1341 tentang Penyelenggaran Pilot project Implementasi Wolbachia sebagai inovasi penanggulangan dengue.
Meskipun efektivitasnya telah diteliti di sembilan negara, penyebaran nyamuk Wolbachia mengundang pro dan kontra dari masyarakat. Masih banyak masyarakat yang mempertanyakan kejelasan dan keberhasilan program yang akan dijalankan oleh Kemenkes itu.
Menanggapi hal ini, Bappenas akan turut andil untuk menengahi kebijakan Kemenkes dan keresahan masyarakat. Hal ini ditegaskan Bappenas dalam audiensi yang digelar bersama sejumlah elemen masyarakat, seperti Asosiasi Serikat Pekerja (ASPEK) Indonesia, dan Forum Negarawan, Kamis (30/11/2023)
"Semakin persoalan tidak bisa didefinisikan, semakin itu harus di lebih berhati-hati. Kalau seperti itu kejadian juga, apa langkah yang dipersiapkan pemerintah? Itu yang belum kita pernah dengar. Yang disebut fasilitasi, manajemen risiko nasionalnya itu di Bappenas" kata Staf Khusus Menteri PPN/Kepala Bappenas, Kemal Taruc saat audiensi di Kantor Bappenas, Menteng, Jakarta Pusat.
Bappenas pun akan membuka komunikasi kepada Kemenkes untuk memperjelas persoalan ini, dan mengklarifikasi keluhan serta aduan yang telah disampaikan kepada mereka.
"Jadi kesepakatan dari yang terlibat (masyarakat) ini perlu didengar dan kemudian mereka (Kemenkes) bertanggung jawab," tuturnya.
Kemal menyebut, pihaknya akan sesegera mungkin memulai perannya sebagai fasilitator. Bappenas pun akan memberikan rekomendasi-rekomendasi kepada Kemenkes untuk dapat mempertimbangkan program ini lebih lanjut.
"Kita membuat peta manajemen risiko, kalau dia siap bertanggung jawab melakukan itu, ya silakan. Kita umumkan, publik mau enggak begitu? (Kita) enggak bisa membatalkan, presiden yang bisa," ujar Kemal.
Berkaca dari penyebaran nyamuk Wolbachia di Bali yang tidak dilanjutkan, Kemal mengaku optimistis program ini bisa dihentikan. Kendati kebijakan di Bali bukanlah berasal dari Kemenkes.
"Ya tapi enggak apa-apa, yang penting berhenti. Kalau ada orang yang enggak mau ya jangan dipaksa. Tapi kan ada pihak otoritas lebih tinggi membuat itu berhenti, ya cukup dong. Enggak perlu Kemenkes yang menghentikan, kita potong ke yang lebih berwenang lagi," tegasnya.
Aspirasi Masyarakat
Ia menegaskan bahwa penyebaran nyamuk Wolbachia harus dipertimbangkan secara matang, baik risiko maupun dampak yang akan dihadapi.
Sejumlah elemen masyarakat menyampaikan aspirasi mereka di Gedung Bappenas. Pertemuan juga digelar untuk menyuarakan penghentian penyebaran nyamuk Wolbachia di sejumlah kota di Indonesia oleh Kemenkes RI.
Dalam aksinya, massa menolak Kemenkes RI menyebar jutaan nyamuk Wolbachia di Jakarta dan juga di Indonesia karena dianggap menimbulkan masalah baru di masyarakat.
"Ini kayak semacam grasa-grusu. Ini harus dilakukan dengan lain-lain yang telah ditetapkan," kata Praktisi Ketenagakerjaan, Dr. Kun Wardana Abyoto.
Ia mengungkapkan yang menjadi perhatiannya saat ini adalah bagaimana program ini berimbas bagi kesehatan masyarakat dan juga kesehatan lingkungan.
"Harus lakukan manajemen resistensi nasional. Kita harus lihat apa risikonya, apakah si nyamuk bisa semakin resisten dan bermutasi menjadi tidak terkendali? Harus dilihat secara jangka panjangnya," jelasnya.
Ia mengatakan, studi di Yogyakarta saja belum cukup untuk membuktikan keamanan nyamuk Wolbachia. Perlu ada studi menyeluruh di wilayah lain, seperti, Jakarta Barat, Bandung, Semarang, Kupang dan Bontang.
Adapun berdasarkan uji coba yang telah dilakukan di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul pada 2022, Wolbachia terbukti mampu menekan kasus demam berdarah hingga 77 persen, dan menurunkan proporsi dirawat di rumah sakit sebesar 86 persen.
Sementara itu, Kun mengatakan untuk pemberantasan DBD sebenarnya dapat dilakukan cukup dengan pendekatan konvensional, dengan catatan dijalankan dengan optimal.
"Masih banyak jalan untuk memberantas DBD. Kalau kita optimal melakukan pemberantasan nyamuk, misalnya setiap Jumat di sekolah, di lingkungan kantor kita, di perumahan. Kalau kita benar-benar melakukan 5M kita bisa terbebas dari DBD," ujarnya
Kun juga sempat menjelaskan studi kasus di negara tetangga, Singapura, yang sempat menerapkan metode nyamuk wolbachia.
"Nyamuk itu disebar 2016, di tahun 2020 kasus DBD meningkat sangat tajam bahkan dalam sepanjang sejarah DBD di Singapura. Sekarang ada 50 cluster aktif DBD. Lalu uji coba tidak diteruskan," tutur Kun.
Singapura pun akhirnya memutuskan keluar dari kelompok negara-negara yang akan melakukan uji coba nyamuk Wolbachia. Alasan lainnya karena munculnya dampak ekologi, seperti jumlah kutu busuk yang meningkat dan kurangnya pendanaan.
Presiden ASPEK Indonesia, Mirah Sumirat, ikut buka suara soal ini. "Situasi ekonomi dalam hal ini sedang lemah. Sayang sekali jika anggaran yang luar biasa ini diberikan kepada suatu hal yang tidak bermanfaat atau mubazir," jelasnya.
"Logika akal sehat kita seakan-akan dibalik, kenapa harus impor nyamuk? Ini kan aneh," sambung Mirah.
Tak hanya audiensi, hari ini masyarakat yang tergabung dari sejumlah organisasi, di antaranya ASPEK dan Forum Negarawan juga melakukan aksi di depan Gedung Bappenas. Mereka melakukan orasi dengan berdiri di atas bak truk terbuka. Dengan lantang dan berdiri tegap, Mirah Sumirat bersama dengan dua rekan lainnya menggaungkan tuntutan mereka untuk membatalkan penyebaran nyamuk Wolbachia.
Tak hanya itu, di sekitar tempat mereka melakukan orasi juga dipenuhi masyarat yang memegang spanduk bertuliskan "Nyamuk Wolbachia Mesin Pembunuh Rakyat". Beragam spanduk lainnya juga dibawa oleh masyarakat, di antaranya bertulis "Kedaulatan Kesehatan Rakyat No.1 Di Atas Kepentingan Apapun."
Reporter magang: Aleda Fanesya