Tiga Tersangka Kasus Kematian dr Aulia Dijerat Pasal Pemerasan dan Penipuan, Ini Sosoknya
Adapun peran ketiga tersangka berbeda-beda. SM misalnya, berperan meminta sejumlah uang tunai kepada bendahara PPDS.
Tiga orang yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus kematian dokter ARL, mahasiswa PPDS Anastesi Undip. Tetapi, ketiga dijerat bukan berkaitan dengan bullying yan akhirnya membuat dokter Aulia bunuh diri. Melainkan dijerat pasal pemerasan dan penipuan.
"Pasal yang disangkakan Pasal 368 pemerasan dan atau tindak pidana penipuan Pasal 378 KUHP atau secara melawan hukum memaksa orang lain melakukan sesuatu yang melawan hukum sesuai Pasal 365," kata Kabid Humas Polda Jateng Kombes Pol Artanto di Mapolda Jateng, Selasa (24/12).
- 43 Saksi Kasus Kematian Mahasiswi PPDS Undip dr Aulia Diperiksa Polisi, Ada Dua Ahli hingga Teman Seangkatan
- Ungkap Penyebab Kematian dr Aulia, Polisi Bakal Periksa Pihak Kemenkes, Kemendikbud hingga Dosen
- VIDEO: Fakta Baru Kematian Dokter Aulia, Kemenkes Ungkap Investigasi PPDS Soal Pemalakan Rp40 Juta
- Tak Gentar Menkes Ungkap Kasus Pemalakan dr Aulia: Saya Kasih ke Polisi Biar Langsung Dipidanakan Saja!
Ketiga tersangka yakni Kaprodi PPDS Anestesi Undip dr TEP, dokter senior inisial Z dan Kepala Staf PPDS SM.
"Ketiga tersangka terancam hukuman pidana sembilan tahun atas keterlibatan dalam kematian dokter PPDS. Para tersangka satu laki-laki dua perempuan. Barang bukti Rp90,7 juta. Saksi yang terperiksa sampai sekarang berjumlah 36 orang," jelasnya.
Adapun peran ketiga tersangka berbeda-beda. SM misalnya, berperan meminta sejumlah uang tunai kepada bendahara PPDS. Kebetulan Risma bendahara PPDS Anastesi di angkatannya.
Temuan Kemenkes Ada Pemalakan
Kementerian Kesehatan RI berdasarkan investigasinya menyatakan adanya dugaan pemalakan yang dialami Aulia. Tidak tanggung-tanggung, oknum di PPDS Anestesi Undip melakukan pemalakan dengan nominal yang cukup fantastis.
Kemenkes RI mengatakan ada dugaan dokter Aulia Risma harus mengeluarkan uang dengan jumlah besar di luar biaya pendidikan resmi. Dijelaskan bahwa oknum di PPDS Anestesi Undip ini meminta uang senilai Rp20-40 juta. Permintaan uang ini bahkan berlangsung sejak dokter Risma masuk PPDS Anestesi sekitar bulan Juli hingga November 2022 lalu.
"Dalam proses investigasi, kami menemukan adanya dugaan permintaan uang di luar biaya pendidikan resmi yang dilakukan oleh oknum-oknum dalam program tersebut kepada almarhumah Risma. Permintaan uang ini berkisar antara Rp20-Rp40 juta per bulan," ungkap Juru Bicara Kementerian Kesehatan Mohammad Syahril pada Minggu (1/9).
Lebih lanjut, Syahril mengungkapkan bahwa dokter Risma memperoleh jabatan sebagai bendahara angkatan. Tugasnya adalah menerima pungan dana mahasiswa PPDS Anestesi dari rekan lainnya di satu angkatan yang sama.
"Almarhumah ditunjuk sebagai bendahara angkatan yang bertugas menerima pungutan dari teman seangkatan," ujar Syahril.
Dokter Risma juga bertugas untuk menyalurkan uang yang terkumpul tadi untuk kebutuhan-kebutuhan non-akademik. Mulai dari membiayai penulis lepas untuk membuat naskah akademik senior, menggaji office boy hingga memenuhi berbagai kebutuhan senior lainnya.
"Pungutan ini sangat memberatkan almarhumah dan keluarga. Faktor ini diduga menjadi pemicu awal almarhumah mengalami tekanan dalam pembelajaran karena tidak menduga akan adanya pungutan-pungutan tersebut dengan nilai sebesar itu," sambungnya.
Guru Besar Undip Bantah Pemalakan
Guru Besar Fakultas Kedokteran Undip, Prof Zainal Muttaqin, meluruskan informasi itu. Prof Zainal menjelaskan, di Fakultas Kedokteran Undip, mahasiswa PPDS memang ada iuran bulanan dengan total Rp30 juta. Iuran itu berlaku pada semester satu. Sehingga, katanya, tidak tepat jika itu dianggap sebagai pemalakan.
"Uang itu dari teman-teman seangkatannya. Kebetulan almarhum ARL penanggungjawab iuran, setelah terkumpul uang itu digunakan untuk mahasiswa PPDS Anestesi, bukan untuk seniornya," kata Prof Zainal Muttaqin.
Menurutnya, iuran uang puluhan juta itu dilakukan mahasiswa semester awal. Setiap bulannya mereka membayar iuran Rp3 juta selama satu semester. Uang yang terkumpul biasanya dipakai untuk untuk makan bersama para tenaga kerja yang bertugas di bidang anestesi.
"Uang itu digunakan untuk membeli makanan karena dokter residen punya jadwal yang padat. Tidak semua nakes anestesi dapat istirahat waktu yang sama. Semua kesepakatan setiap bagian berbeda karena siklus tidak sama," jelasnya.
Prof Zainul menyayangkan pernyataan Kemenkes yang menyebut iuran sebagai pemalakan.