Tradisi Sepak Bola Api ala Santri di Mojokerto, Ternyata Ini Rahasianya
Sepak bola api merupakan tradisi di kala Bulan Ramadan
Sepak bola api merupakan tradisi di kala Bulan Ramadan
Tradisi Sepak Bola Api ala Santri di Mojokerto, Ternyata Ini Rahasianya
Main sepak bola di lapangan, ah itu sudah biasa. Lalu, bagaimana jika main bola tapi bolanya sembari terbakar api, itu baru tidak biasa.
Permainan sepak bola api ini lah yang biasanya dilakukan oleh sejumlah santri di Pondok Pesantren (Ponpes) Al Hidayah, Desa Pulorejo, Kecamatan Dawarblandong, Mojokerto, Jawa Timur.
'Menjaga tradisi para pendekar' merupakan spirit utama yang diusung oleh sejumlah santri selama di bulan ramadan ini.
Mereka yang tergabung dalam Perguruan Silat Pagar Nusa di Ponpes Al Hidayah ini, selalu melestarikan tradisi bermain sepak bola api secara turun temurun.
Bertempat di lapangan Ponpes Al Hidayah anggota Pagar Nusa Ranting Al Hidayah berkumpul untuk melaksanakan latihan rutin.
Dalam latihan kali ini, setidaknya ada 20 orang santri dan santriwati yang turut serta.
Menggunakan pakaian khas warna hitam, mereka mereka memperagakan materi berbagai jurus ciri khas Pagar Nusa. Peragaan ini, merupakan sesi pemanasan sebelum melakukan permainan sepak bola api.
Dalam permainan sepak bola api ini, bola yang dipakai bukanlah bola pada umumnya. Bola api yang dipakai, berbahan batok kelapa. Sebelum dipakai, batok kelapa tersebut direndam terlebih dahulu ke dalam minyak tanah hingga beberapa hari.
Tujuannya, agar api yang menyala nantinya bisa bertahan lama ketika dipakai untuk bermain sepak bola api.
Dalam sepak bola api ini, aturannya tidak mengikuti aturan dari FIFA sebagaimana permainan sepak bola biasanya. Jumlah para pemainnya pun, dapat diatur menyesuaikan kebutuhan.
Dalam permainan sepak bola api kali ini, jumlah pemain dibagi 10 orang untuk satu tim. Sama dengan futsal. Tapi, bedanya dalam permainan ini tidak ada penjaga gawang dan ukuran gawangnya kecil.
Demikian pula saat permainan berlangsung, para pemain dapat melakukan oper bola kemana saja, asal ditujukan pada gawang lawan. Yang menjadi pembeda dengan sepak bola biasa, para pemain ini harus memainkan bola dalam kondisi api yang menyala.
Berlari mengejar dan berebut bola yang diselimuti bara api, menjadi keseruan tersendiri dalam permainan ini. Uniknya lagi, para pemainnya tak menggunakan sepatu sepak bola. Mereka diharuskan untuk bertelanjang kaki.
Butuh nyali besar untuk turut serta dalam permainan sepak bola api ini. Sebab, resiko cedera maupun terpapar panasnya api cukup besar. Jika gegabah dan tidak hati-hati, kaki yang telanjang bisa melepuh terkena panasnya bola api.
"Seru, panas tapi tak terasa panas. Kita main dengan pelan-pelan saja, tidak tergesa-gesa," kata Ahmad Hamim, salah satu peserta sepak bola api.
Tak ada ritual khusus dalam permainan yang tergolong berbahaya ini. Tak ada ilmu kebal atau pun penggunaa tenaga dalam sekali pun. Namun tentu saja doa pada pendiri dan sesepuh Pagar Nusa tetap menjadi ritual yang tak bisa dikesampingkan.
"Yang penting mentalnya berani karena yang kita mainkan bukan bola biasa. Setiap membuka latihan kita bertawasul (mengirim doa) kepada pendiri Pagar Nusa, sesepuh-sesepuh Pagar Nusa. Seperti main bola biasa, ya kalau dirasakan ya panas. Tidak ada tenaga dalam, hanya doa saja," ungkap pria 22 tahun ini.
Ia menambahkan, permainan sepak bola api ini tak lain untuk memperkuat kebersamaan, dengan mengutamakan sportivitas juga kekompakan. Hingga kini, tradisi permainan sepak bola api telah menjadi tradisi tahunan yang masih berlangsung di lingkungan Ponpes Al Hidayah. Ia sendiri telah mengikuti sejak tiga tahun yang lalu.
"Kita main ramai-ramai untuk mempererat persaudaraan di Pagar Nusa. Setiap bulan ramadan disini selalu ada sepak bola api setiap tahun. Kegiatan ini juga untuk menunggu waktu sahur," terangnya.
Pengasuh Ponsel Al Hidayah, Akmaluniamillah mendukung kegiatan bermain sepak bola api ini. Sebab, dapat menjauhkan para santri dari kegiatan-kegiatan bernilai negatif dan maksiat.
"Kegiatan ini dalam rangka tarkul ma’asih, yaitu di dalam bulan Ramadan harus diperbanyak kegiatan yang bernilai postif. Sehingga mendapat berkah bulan Ramadan," tuturnya.
Permainan sepak bola api ini sendiri juga menepis stigma pamer kesaktian santri. Sebaliknya, olahraga ekstrem tersebut hanyalah meniru upaya dakwah dengan menggandeng kearifan lokal, mengikuti jejak Wali Songo di Tanah Jawa.
"Nilai positifnya anak-anak disini juga bisa menjaga budaya, menjaga solidaritas teman-teman semua. Terutama tarkul ma’asih," imbuhnya.
Ia pun berharap, apa yang dilakukan para santri ini tidak dipandang sebagai sesuatu yang berbau mistis. Namun, harus tetap dipandang sebagai kegiatan olahraga biasa sekaligus menjaga tradisi santri di bulan yang penuh berkah ini.