'Fakta hukum tak boleh sebut Oesman Sapta Odang sebagai ketua DPD'
Salah satu anggota Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Administrasi Negara (APHTN-HAN), Feri Amasari, mengatakan bahwa secara konstitusional Oesman Sapta Odang (OSO) tidak bisa disebut sebagai Pimpinan dewan Pimpinan Daerah (DPD).
Salah satu anggota Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Administrasi Negara (APHTN-HAN), Feri Amasari, mengatakan bahwa secara konstitusional Oesman Sapta Odang (OSO) tidak bisa disebut sebagai Pimpinan dewan Pimpinan Daerah (DPD).
"Jadi mulai saat ini enggak boleh panggil OSO Ketua DPD, kerena fakta hukumnya tidak menyatakan demikian," ungkapnya di Kantor Komisi Yudisial, Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, Jumat (28/4).
Dia mengatakan, sangat menyayangkan tindakan Wakil Ketua Mahkamah Agung abaikan konteks pasal 260 ayat (6) Undang-Undang MD3 yang menegaskan penuntutan sumpah pimpinan DPD dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung.
"Dalam konteks ini posisi ketua Mahkamah Agung tidak dapat diwakilkan oleh siapa pun. Kenapa demikian, karena tidak ada dalam penjelasannya bahwa kalau nanti berhalangan dapat diwakilkan," jelasnya.
Feri mengajak masyarakat untuk melihat peristiwa terpilihnya OSO sebagai ketua DPD sebagai suatu fakta politik sangat berbeda dengan fakta hukum berlaku. Fakta hukum tidak boleh diabaikan hanya karena terjadinya suatu fakta politik.
"Fakta politik terjadi. Itu kan bicara soal kekuatan politik ya? Misalnya dengan dikuasainya sekjen DPD. Misalnya dengan dikuasainya Wakil Ketua Mahkamah Agung itu langkah-langkah politis yang dilakukan," tuturnya.
Dia menekankan bahwa langkah hukum harus dihormati lebih dahulu jika memang bangsa ini masih merasa dirinya sebagai negara hukum bukan negara kekuasaan.
"Kecuali kita mau beralih ke negara kekuasaan ya, yang mendominankan kekuatan politik di atas segala-galanya," katanya.
Karena Indonesia merupakan negara hukum bukan negara kekuasaan, maka menurut Feri, putusan Mahkamah Agung yang harus dihormati. Atas dasar itulah OSO tidak dapat disebut sebagai pimpinan DPD.
"Kita ini kan negara hukum, bukan negara kekuasaan. Secara institusional OSO itu tidak bisa disebut sebagai pimpinan DPD," terangnya.