MK Dikritik Karena Hanya Mengacu Selisih Suara di Sidang Sengketa Pilkada 2020
Margarito mengatakan, sikap MK dalam memeriksa dan mengadili syarat formal pengajuan sengketa hasil pilkada dipengaruhi Pasal 158 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada.
Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis mengkritisi produk putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sidang sengketa Pilkada Serentak 2020.
Margarito mengatakan, sikap MK dalam memeriksa dan mengadili syarat formal pengajuan sengketa hasil pilkada dipengaruhi Pasal 158 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada.
-
Apa itu Pilkada Serentak? Pilkada serentak pertama kali dilaksanakan pada tahun 2015. Pesta demokrasi ini melibatkan tingkat provinsi, kabupaten, dan kota.
-
Bagaimana Pilkada 2020 diselenggarakan di tengah pandemi? Pemilihan ini dilakukan di tengah situasi pandemi COVID-19, sehingga dilaksanakan dengan berbagai protokol kesehatan untuk meminimalkan risiko penularan.
-
Apa definisi dari Pilkada Serentak? Pilkada Serentak merujuk pada pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan secara bersamaan di seluruh wilayah Indonesia, termasuk pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota.
-
Kenapa Pilkada tahun 2020 menarik perhatian? Pilkada 2020 menarik perhatian karena dilaksanakan di tengah pandemi Covid-19. Pilkada di tahun tersebut dilaksanakan dengan penerapan protokol kesehatan ketat untuk menjaga keselamatan peserta dan pemilih.
-
Apa saja yang dipilih rakyat Indonesia pada Pilkada 2020? Pada Pilkada ini, rakyat Indonesia memilih:Gubernur di 9 provinsiBupati di 224 kabupatenWali kota di 37 kota
-
Kapan Pilkada serentak berikutnya di Indonesia? Indonesia juga kembali akan menggelar pesta demokrasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak di tahun 2024. Pilkada 2024 akan dilasanakan ada 27 November 2024 untuk memilih gubernur, wali kota, dan bupati.
Diketahui, Pasal ini membatasi gugatan sengketa hasil pemilihan kepala daerah hanya bisa diajukan jika selisih suara penggugat dengan pemenang pilkada maksimum 2 persen.
Menurut dia, apabila MK tetap menerapkan pasal tersebut dalam setiap proses persidangannya, maka sama saja MK sedang membiarkan kecurangan terjadi, selama tidak melebihi batas yang telah ditentukan.
"Itu dia, karena mereka (MK) hanya pakai Pasal 158 doang, akhirnya begitu. Seperti kemarin itu (permohonan sengketa Pilkada) berguguran semua, hari ini pun akan keguguran lagi. Akhirnya kecurangan-kecurangan tidak terdeteksi," kata dia, dikutip dari Antara, Selasa (16/2).
Lebih lanjut, dia berpendapat, sidang sengketa yang digelar MK tersebut hanya sekadar untuk mengetahui jumlah penduduk dan selisih suara dalam pilkada suatu daerah.
Margarito pun mengingatkan MK untuk kembali ke khitahnya sebagai benteng terakhir para pencari keadilan, dengan mengesampingkan Pasal 158 itu.
"Harus dikesampingkan. Menurut saya sebetulnya tanpa perlu revisi pun MK atas nama keadilan berhak meninggalkan pasal itu," ujar dia.
Abaikan Kecurangan
Sementara itu, Mantan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Muhamad Laica Marzuki mengatakan, manakala terjadi pelanggaran dari proses pemilihan, maka pemilihan dimaksud terancam pembatalan atau pilkada ulang.
Laica menyoroti sengketa Pilkada Kalimantan Tengah, di mana pasangan calon nomor urut 01 Ben Brahim-Ujang Iskandar menunjukkan bukti-bukti kecurangan yang terstruktur, sistematis dan masif (TSM).
Seperti dugaan manipulasi Daftar Pemilih Tambahan (DPTb), penggantian pejabat enam bulan sebelum tanggal penetapan calon sampai akhir masa jabatan, serta kecurangan yang meliputi penyalagunaan wewenang, sturuktur, birokrasi dan program pemerintahan.
“Bahwa semua kecurangan yang bersifat fundamental tersebut berpengaruh signifikan terhadap perolehan suara. MK Perlu memperhatikan bukti-bukti tersebut dan jika benar,maka kiranya pasangan Nomor 02 didiskualifikasi serta memerintahkan KPU Kalteng melakukan pemilu ulang di seluruh Kabupaten di Kalteng,” ujar dia.
(mdk/rnd)