Sidang gugatan UU Pemilu, presidential threshold disebut picu koalisi transaksional
Djayadi Hanan menyebut pula partai yang tidak bisa mencalonkan presiden terpaksa mengambil opsi dengan mendukung calon presiden yang dianggap terkuat untuk memenangkan pemilihan presiden.
Djayadi Hanan, ahli politik dari Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC), menjadi ahli pemohon dalam uji materi Pasal 222 UU No.7 Tahun 2017 tentang ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold).
Dalam sidang gugatan UU Pemilu, ia mengutarakan bahwa ambang batas pencalonan presiden menyuburkan koalisi transaksional antar partai pendukung calon presiden.
Ia menilai partai yang tidak bisa mencalonkan presiden terpaksa mengambil opsi dengan mendukung calon presiden yang dianggap terkuat untuk memenangkan pemilihan presiden.
"Partai terpaksa berkoalisi karena tidak ada pilihan atau bisa juga berkolusi, menjegal pencalonan lain. Manuver ini ada 'harganya' transaksi justru marak terjadi karena ada ambang batas. Ambang batas justru potensial menyuburkan transaksi berkoalisi," ujar Djayadi ketika membacakan keterangan di sidang Mahkamah Konstitusi, Selasa (14/11).
Presidential threshold dianggap perlu karena presiden terpilih tak akan lemah di parlemen karena mendapatkan dukungan yang banyak dari partai politik. Namun, dia menilai hal sama akan terjadi apabila pada Pilpres terdapat calon yang banyak sekali pun. Sebab, pada ujungnya, presiden terpilih akan pula lemah di parlemen. Justru dengan tidak adanya ambang batas akan membuat kontestasi yang lebih kompetitif.
"Konstitusi menegaskan sistem dua putaran untuk memastikan presiden terpilih didukung mayoritas lebih dari 50 persen. Satu sisi menjamin kontestasi yang kompetitif tapi sisi lain dengan ada putaran kedua memastikan efektivitas dukungan politik dari rakyat dan dari parpol kepada presiden terpilih," terangnya.
Djayadi menambahkan alasan adanya ambang batas karena menguatkan sistem presidensial, adalah lemah. Ambang batas, kata Djayadi, malah tidak memurnikan sistem presidensial dan cenderung menjadi sistem parlementer.
Dalam sistem parlementer, mandat diberikan satu arah melalui rakyat kepada partai politik, kemudian ke eksekutif. Dengan adanya ambang batas, artinya mandat tidak langsung ke presiden, melainkan harus lewat keterpilihan di legislatif.
"Pemberian mandat kepada presiden tidak secara langsung. Pemberian mandat terlebih dahulu kepada legislatif berisi partai politik. Logika presidensial menjadi tidak murni," jelas Djayadi.
Lanjut dia, ambang batas yang digunakan adalah pemilu 2014 yaitu ambang batas pencalonan presiden 20/25 persen. Konfigurasinya tentu akan berbeda dengan apa yang akan terjadi di 2019 mendatang. Lalu, ambang batas pencalonan disebut olehnya berpotensi bertentangan dengan UUD 1945.
"Potensi bertentangan dengan pasal 6a ayat 2 UUD 1945. Konsekuensi parpol tidak dapat mengusulkan presiden atau terpaksa mendukung pasangan capres yang tersedia tanpa memiliki kekuatan politik untuk menyampaikan kehendak atau aspirasi," ujarnya.
-
Kapan Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak gugatan Pilpres? Momen kunjungan kerja ini berbarengan saat Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak gugatan Pilpres diajukan Kubu Anies dan Ganjar.
-
Kapan Masinton Pasaribu mengusulkan hak angket terhadap Mahkamah Konstitusi? Sebelumnya, Masinton Pasaribu berupaya menggalang dukungan anggota Dewan untuk mengusulkan hak angket terhadap Mahkamah Konstitusi.
-
Di mana Uut Permatasari tinggal? Uut Permatasari memilih untuk tinggal di sebuah rumah kos. Keputusan ini diambil untuk mendukung tugas suaminya, Tri Goffarudin Pulungan di Bali.
-
Bagaimana Pemilu memastikan legitimasi dan kedaulatan rakyat dalam pemerintahan? Dalam praktiknya, Pemilu memungkinkan terpilihnya pemimpin yang didukung oleh mayoritas warga negara, sehingga memastikan legitimasi dan kedaulatan rakyat dalam pemerintahan.
-
Kenapa UMKM penting? UMKM tidak hanya menjadi tulang punggung perekonomian di Indonesia, tetapi juga di banyak negara lain karena kemampuannya dalam menciptakan lapangan kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
-
Kapan UGM diresmikan? Universitas Gadjah Mada (UGM) didirikan pada 19 Desember 1949 di Yogyakarta, Indonesia.