Mistik atau Medis? Transisi Histeria Abad Pertengahan ke Penyakit Mental di Era Kontemporer
Pada abad pertengahan, masyarakat sering mengaitkan gangguan mental dengan tanda kutukan dan dosa. Simak perbandingannya dengan zaman modern di artikel berikut!
Histeria dan konsep gangguan mental telah mengalami evolusi pemahaman yang signifikan dari masa ke masa. Di Abad Pertengahan, masyarakat sering kali mengaitkan gangguan mental dengan hal-hal mistis atau supranatural, dan menganggapnya sebagai tanda kutukan, dosa, atau bahkan pengaruh setan. Pandangan ini berbeda jauh dari pemahaman medis modern, yang menganggap gangguan mental sebagai masalah kesehatan yang bisa dijelaskan melalui faktor biologis, psikologis, dan sosial. Artikel ini akan mengeksplorasi perbandingan antara histeria pada Abad Pertengahan dengan penyakit mental di era modern, menggunakan pandangan para ahli sebagai dasar pembahasan.
Pemahaman tentang Histeria pada Abad Pertengahan
Pada Abad Pertengahan, gejala yang kita kenal sebagai histeria dan gangguan mental, sering kali dianggap sebagai fenomena yang tidak dapat dijelaskan secara rasional. Menurut Lyndsey D. M. Sutherland dalam artikelnya yang berjudul The History of Hysteria: From Ancient Greece to Modern Medicine, histeria pada periode ini sering dikaitkan dengan kepercayaan bahwa perempuan lebih rentan terhadap gangguan mental akibat struktur sosial dan norma gender yang mendominasi. Di masa itu, perempuan yang menunjukkan perilaku tak lazim, seperti panic attack atau ledakan emosi tanpa sebab, seringkali dicurigai terlibat dalam praktik sihir atau pengaruh setan. Menurut profesor psikologi dan sejarah medis, Edward Shorter, dalam bukunya From Paralysis to Fatigue, histeria selama Abad Pertengahan sering dihubungkan dengan kekuatan jahat, dan penderitanya dianggap sebagai "pengkhianat" bagi masyarakat. Pemahaman ini diperparah oleh minimnya ilmu medis yang tersedia saat itu, sehingga masyarakat cenderung mengambil pandangan mistis atau religius untuk menjelaskan fenomena tersebut.
-
Apa masalah kesehatan mental yang dihadapi oleh sebagian besar penduduk Indonesia? Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, menunjukkan lebih dari 19 juta penduduk berusia di atas 15 tahun mengalami gangguan mental emosional. Sementara itu, diketahui juga bahwa lebih dari 12 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami depresi.
-
Apa yang dimaksud dengan kelelahan mental? Kelelahan mental, yang juga dikenal sebagai burnout adalah kondisi kelelahan fisik dan emosional kronis yang disebabkan oleh stres berkepanjangan, kelebihan kerja, atau ketidakseimbangan antara tanggung jawab dan sumber daya.
-
Apa itu mental health? Mental health adalah istilah bahasa Inggris yang berarti kesehatan mental. Ini merujuk kepada kondisi kesehatan mental atau pikiran yang dimiliki seseorang. Layaknya fisik, kesehatan mental juga perlu dijaga untuk meningkatkan kualitas hidup.
-
Mengapa mental health penting? Kesehatan mental sangat penting karena memengaruhi cara seseorang menangani stres, hubungan interpersonal, dan pengambilan keputusan. Pentingnya kesehatan mental tidak bisa diabaikan karena berdampak langsung pada kualitas hidup seseorang.
-
Apa itu keterbelakangan mental? Keterbelakangan mental, atau yang lebih dikenal sebagai gangguan perkembangan intelektual, merupakan suatu kondisi medis yang memengaruhi fungsi intelektual dan keterampilan adaptif seseorang.
-
Apa definisi dari mental health? Mental health adalah kondisi kesehatan yang mencakup kesejahteraan emosional, psikologis, dan sosial seseorang. Hal ini mencakup bagaimana seseorang merasakan, berpikir, dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari.
Masyarakat Abad Pertengahan juga memiliki kepercayaan kuat terhadap agama dan moralitas, yang turut memengaruhi cara mereka memahami histeria dan gangguan mental. Banyak individu, khususnya perempuan, yang diperlakukan sebagai “penyihir” atau “pengikut iblis” akibat perilaku yang tidak sesuai dengan norma sosial. Tuduhan-tuduhan ini sering kali berujung pada penyiksaan atau bahkan hukuman mati, karena sistem hukum saat itu mendukung pemahaman bahwa perilaku aneh merupakan tanda kutukan atau dosa besar.
Gejala histeria pada Abad Pertengahan bisa sangat bervariasi, mencakup keluhan fisik dan emosional seperti kesedihan mendalam, kejang, dan perilaku yang tidak terduga. Pasien histeria seringkali menjalani pengobatan yang tidak manusiawi, seperti penyiksaan atau pengusiran roh jahat. Metode perawatan ini mencerminkan kurangnya pemahaman medis tentang kondisi psikologis dan lebih mengutamakan pendekatan religius atau spiritual. Perempuan-perempuan yang mengalami gangguan kesehatan mental, dirawat dengan cara-cara yang mengarah pada pengekangan dan isolasi, bertentangan dengan pendekatan medis yang lebih empatik di era modern.
Penyakit Mental di Era Modern
Di era modern, pemahaman tentang gangguan mental semakin berkembang dengan adanya studi-studi terbaru dalam bidang neurologi, psikologi, dan psikiatri. Para ahli, seperti American Psychiatric Association (APA), telah mendefinisikan gangguan mental sebagai kondisi yang melibatkan perubahan dalam pikiran, emosi, dan perilaku, serta berdampak pada kehidupan sosial dan fungsional sehari-hari. Penelitian modern menunjukkan bahwa gangguan mental disebabkan oleh interaksi kompleks antara faktor genetik, lingkungan, dan psikologis. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Caspi et al. (2003), individu dengan risiko genetik tertentu memiliki kerentanan terhadap gangguan mental ketika mereka terpapar stresor lingkungan. Penelitian ini mengungkapkan bahwa ada hubungan signifikan antara genetik dan faktor lingkungan dalam pengembangan gangguan mental, seperti depresi dan gangguan kecemasan.
Dengan kemajuan dalam teknologi neuroimaging, para peneliti kini dapat mempelajari aktivitas otak dan struktur otak yang terkait dengan gangguan mental. Penelitian oleh Mayberg et al. (2005) yang dipublikasikan dalam American Journal of Psychiatry menunjukkan bahwa ada area tertentu di otak, seperti korteks prefrontal dan amigdala, yang berperan dalam regulasi emosi dan perilaku. Penelitian ini mendukung ide bahwa gangguan mental seperti depresi dan kecemasan mungkin memiliki kaitan erat dengan disfungsi dalam sistem saraf yang mengatur emosi.
Salah satu perubahan besar adalah stigma yang mulai berkurang terhadap penderita gangguan mental, di mana penyakit mental tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang harus disembunyikan atau disembuhkan melalui ritual religius, tetapi membutuhkan perawatan profesional. Salah satu penelitian dari National Alliance on Mental Illness (NAMI) menyatakan bahwa sekitar 1 dari 5 orang dewasa di Amerika Serikat mengalami gangguan mental setiap tahunnya, menunjukkan betapa pentingnya perawatan yang mendukung kesehatan mental. Kondisi seperti depresi, gangguan kecemasan, dan skizofrenia menjadi topik utama dalam riset kesehatan mental modern, dengan fokus pada terapi kognitif, terapi obat-obatan, dan dukungan sosial sebagai metode pengobatan yang utama. Perawatan ini didukung oleh bukti empiris yang menunjukkan bahwa gangguan mental dapat diobati dan banyak penderita yang bisa sembuh jika mendapatkan perawatan yang tepat.
Perbandingan antara Histeria Abad Pertengahan dan Penyakit Mental di Era Modern
Perbandingan antara pemahaman histeria pada Abad Pertengahan dan gangguan mental di era modern mencerminkan perbedaan yang mendalam dalam pendekatan terhadap kesehatan mental. Salah satu aspek paling mencolok dalam perbandingan ini adalah bagaimana stigma sosial terhadap penyakit mental telah berubah. Pada Abad Pertengahan, stigma terhadap individu dengan histeria sangat kuat, dan mereka sering kali diasingkan atau dihukum. Jika pada masa lalu penderita histeria sering kali dicap sebagai "bermasalah" atau "terkutuk," maka di era modern, mereka dianggap sebagai individu yang membutuhkan dukungan dan perawatan medis.
Di era modern ini, kemajuan dalam mengurangi stigma dilakukan melalui penyuluhan kesadaran publik dan pendidikan tentang kesehatan mental. Sejumlah organisasi, seperti NAMI (National Alliance on Mental Illness), bekerja untuk mendidik masyarakat dan mengurangi stigma terhadap individu dengan gangguan mental. Penelitian oleh Thornicroft et al. (2016) menunjukkan bahwa edukasi dan kampanye mengenai kesehatan mental dapat mengurangi stigma terhadap individu dengan gangguan mental. Dengan mengedukasi masyarakat dan menciptakan kesadaran yang lebih besar tentang kesehatan mental, kita dapat mengubah persepsi negatif dan menciptakan lingkungan yang lebih suportif bagi mereka yang mengalami gangguan mental.
Menurut profesor psikiatri Nancy C. Andreasen dalam bukunya The Broken Brain, kemajuan teknologi seperti MRI dan PET scan memungkinkan para ilmuwan untuk melihat gangguan mental dalam konteks yang lebih ilmiah, dengan mempelajari struktur dan fungsi otak secara langsung. Pemahaman ini memperkuat gagasan bahwa gangguan mental bukan disebabkan oleh dosa atau pengaruh supernatural, melainkan oleh gangguan dalam sistem biologis.
Transformasi pemahaman tentang histeria dan gangguan mental dari Abad Pertengahan hingga era modern menunjukkan betapa pentingnya peran ilmu pengetahuan dalam mengubah persepsi masyarakat. Dari anggapan sebagai tanda dosa atau kutukan, gangguan mental kini dipahami sebagai kondisi kesehatan yang membutuhkan perawatan profesional. Evolusi ini membuka jalan bagi masyarakat untuk lebih inklusif terhadap individu dengan gangguan mental, sekaligus menekankan perlunya perawatan yang tepat.