Kronologi Terbitnya PPN 12%, dari Usulan Awal hingga Kontroversi yang Muncul
Kronologi lengkap kenaikan PPN 12% yang menuai kontroversi, dari pengusulan era Jokowi hingga penetapan pada 2025. Simak penjelasan dan respons berbagai pihak.
Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% yang akan mulai diterapkan pada 1 Januari 2025 mendatang menarik perhatian masyarakat. Kebijakan ini memicu berbagai perdebatan, terutama mengenai latar belakang usulan dan pengaruhnya terhadap daya beli masyarakat. Banyak orang mempertanyakan siapa yang pertama kali mengusulkan aturan ini serta relevansinya dengan kondisi ekonomi saat ini.
Ketua Umum Rumah Keluarga Bersama (RKB), Wigit Bagoes Prabowo, mengungkapkan bahwa kebijakan ini merupakan hasil dari legislasi pada periode 2019-2024. Hal ini juga melibatkan berbagai elemen politik, termasuk partai-partai besar yang ada di DPR RI.
- Kronologi Partai Coklat Muncul di Pilkada 2024, Disebut Sebagai Simpatisan Jokowi
- Kronologi Terungkapnya Korupsi Bansos Presiden Jokowi Rugikan Negara Rp125 M, Berawal OTT Eks Mensos Juliari
- Kronologi Pria Terobos Paspampres hingga Jokowi Terdorong, Begini Nasibnya
- Kronologi Seorang Pria di Konawe Tiba-Tiba Merangsek Hampiri Jokowi Saat Wawancara
Di sisi lain, Ketua DPP PDI Perjuangan, Deddy Yevri Sitorus, menegaskan bahwa kenaikan ini bukan inisiatif dari partainya. Pernyataan ini membuka ruang untuk diskusi lebih dalam mengenai perjalanan panjang kebijakan ini, mulai dari tahap legislasi hingga akhirnya menjadi peraturan resmi.
Awal Mula Pengusulan Kebijakan
Kebijakan PPN 12% pertama kali diperkenalkan pada tanggal 5 Mei 2021 melalui Surat Presiden yang dikirimkan oleh Joko Widodo dengan nomor R-21/Pres/05/2021 kepada DPR RI. Surat ini menjadi landasan untuk membahas revisi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), yang selanjutnya dikenal dengan nama UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Menindaklanjuti surat tersebut, Komisi XI DPR RI segera mengadakan rapat dengan Menteri Keuangan dan Menteri Hukum dan HAM pada 28 Juni 2021. Rapat ini memiliki agenda utama untuk membentuk Panitia Kerja (Panja) yang bertugas untuk mendalami, membahas, dan menyelaraskan isi RUU tersebut. Proses ini ditandai dengan serangkaian diskusi yang intens antara pihak pemerintah dan legislatif.
Banyak pihak merasa optimis bahwa UU HPP dapat menjadi solusi yang efektif untuk meningkatkan pendapatan negara. Meskipun demikian, terdapat kekhawatiran mengenai dampak kebijakan ini terhadap masyarakat kecil. Sejumlah kelompok berpendapat bahwa perlu ada perhatian khusus agar kebijakan ini tidak memberatkan mereka yang berada dalam kondisi ekonomi yang rentan.
Pembahasan di Komisi XI dan Panja DPR RI
Pada tanggal 29 September 2021, hasil diskusi Panja disampaikan dalam Rapat Paripurna DPR RI. Dolfie OFP, selaku Ketua Panja dari Fraksi PDIP, mengungkapkan bahwa delapan fraksi sepakat untuk melanjutkan pembahasan ke tahap berikutnya. Beberapa fraksi yang mendukung keputusan tersebut antara lain PDIP, Gerindra, Golkar, dan NasDem.
Di sisi lain, Fraksi PKS mengungkapkan penolakannya dengan alasan bahwa kebijakan ini dapat memberikan beban tambahan kepada masyarakat. Keputusan yang diambil oleh Panja ini menjadi langkah signifikan dalam proses pengesahan UU HPP, meskipun menuai berbagai kritik dari kalangan masyarakat. Isu mengenai transparansi dan daya beli masyarakat menjadi perhatian utama dalam diskusi publik pada saat itu.
Pengesahan UU HPP sebagai Landasan Hukum
Pada tanggal 7 Oktober 2021, RUU HPP resmi disahkan oleh DPR RI menjadi undang-undang. Keputusan tersebut diambil dalam Rapat Paripurna ke-7 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2021-2022, yang menandai langkah signifikan dalam pengaturan perpajakan di Indonesia.
Ketua DPR RI saat itu, Puan Maharani, memimpin rapat dan memastikan bahwa semua prosedur telah dilaksanakan dengan baik. Namun, meskipun undang-undang ini telah disahkan, perdebatan mengenai pelaksanaan aturan baru tersebut masih terus berlanjut, terutama di tengah situasi pandemi COVID-19.
Respons Publik dan Pemerintah Terkait Kenaikan PPN
Sejak disahkannya UU HPP, kebijakan kenaikan PPN mendapat banyak kritik. Banyak pihak merasa khawatir bahwa kebijakan ini akan berdampak negatif pada daya beli masyarakat, terutama di tengah situasi PHK yang meluas dan inflasi yang terus meningkat.
Di sisi lain, Ketua Umum RKB, Wigit Bagoes Prabowo, memberikan penjelasan bahwa Presiden Prabowo telah menegaskan bahwa PPN sebesar 12% hanya akan dikenakan pada barang-barang mewah. Sementara itu, partai PDIP yang diwakili oleh Deddy Yevri Sitorus, meminta agar pemerintah mempertimbangkan kembali kebijakan tersebut.
Implikasi Kebijakan dan Harapan ke Depan
Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% diharapkan dapat meningkatkan pendapatan negara, yang selanjutnya akan digunakan untuk pembangunan infrastruktur dan peningkatan layanan publik. Namun, tantangan yang dihadapi adalah bagaimana memastikan bahwa kebijakan ini tidak memperburuk kondisi ekonomi masyarakat yang kurang mampu.
Rumah Keluarga Bersama menekankan pentingnya mengembalikan aset negara yang telah dikorupsi sebagai salah satu prioritas utama bagi pemerintah saat ini. Di sisi lain, para pengamat ekonomi mengingatkan bahwa pemerintah perlu melakukan sosialisasi secara luas agar masyarakat dapat memahami manfaat dari pajak ini dan tidak merasa terbebani secara berlebihan.
Apa alasan utama kenaikan PPN dari 11% menjadi 12%?
Kenaikan ini diharapkan dapat meningkatkan pemasukan negara yang akan digunakan untuk mendukung pembangunan infrastruktur serta pelayanan publik.
Apakah PPN 12% berlaku untuk semua barang dan jasa?
Wigit Bagoes Prabowo menyatakan bahwa pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12% hanya diterapkan pada barang-barang yang tergolong mewah.
Bagaimana respons masyarakat terhadap kebijakan ini?
Berbagai kalangan mengkhawatirkan bahwa kebijakan ini dapat mengurangi kemampuan masyarakat untuk membeli barang dan jasa, terutama di saat ekonomi sedang mengalami kesulitan.
Siapa pihak yang pertama kali mengusulkan kenaikan PPN?
Usulan ini muncul dari pemerintah pada masa kepemimpinan Presiden Jokowi, melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang telah disetujui pada tahun 2021.