Wajib Diketahui Calon Pengantin, Sederet Faktor Membuat Pernikahan Tidak Sah dan Batal Menurut Hukum Islam
Sembilan faktor yang dapat menyebabkan pernikahan dianggap tidak sah atau batal menurut hukum Islam.
Pernikahan dalam Islam adalah suatu ikatan yang dianggap suci dan diatur oleh syariat yang jelas. Hal ini mencakup tidak hanya prosesi akad nikah, tetapi juga syarat-syarat, rukun-rukun, serta berbagai hal yang dapat membatalkannya. Seperti yang dijelaskan oleh Syekh Wahbah ibn Mushthafa al-Zuhaili dalam kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, pernikahan yang dianggap batal adalah yang tidak memenuhi rukun yang telah ditentukan, sedangkan pernikahan yang rusak adalah yang tidak memenuhi syarat-syarat yang ada.
Memahami faktor-faktor yang dapat menjadikan pernikahan tidak sah sangatlah krusial, karena hal ini memiliki dampak besar terhadap kehidupan pasangan dan generasi yang akan datang. Sebagai contoh, kasus terbaru mengenai pernikahan Rizky Febian dan Mahalini yang dinyatakan tidak sah oleh Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Keputusan tersebut diambil karena adanya ketidaklengkapan dalam rukun nikah, terutama berkaitan dengan wali nikah. Berdasarkan kajian fikih dan hukum Islam, berikut adalah penjelasan mendalam mengenai berbagai faktor yang dapat mengakibatkan pernikahan menjadi tidak sah atau batal, seperti yang telah dirangkum oleh Liputan6.com dari berbagai sumbe.
-
Kenapa ucapan selamat lamaran nikah penting? Ucapan selamat lamaran nikah akan menjadi ungkapan kebahagiaan dan harapan kita kepada pasangan yang berbahagia.
-
Kenapa akta nikah itu penting? Hingga kini, banyak masyarakat yang mengabaikan pentingnya akta perkawinan. Padahal, akta perkawinan memiliki banyak manfaat untuk pernikahan. Dengan adanya akta nikah, negara turut mengakui adanya pernikahan. Hal ini dapat mencegah fitnah serta memberikan posisi yang pasti bagi suami dan istri di hadapan hukum. Akta nikah juga sangat penting untuk mengurus dokumen, dan menegaskan status anak serta tidak ada pihak yang dirugikan apabila terjadi perceraian.
-
Apa itu Akta Nikah? Akta nikah atau perkawinan merupakan dokumen penting sebagai bukti peristiwa nikah yang sah secara hukum.
-
Siapa yang memberi makan Syaki saat akad nikah? Pada momen akad nikah, Hersa dengan penuh kasih sayang memberi makan Syaki yang sedang dipeluk oleh Ridho, sang saudara kembar Rizki.
-
Kapan Tyas Mirasih mengadakan pengajian pra nikah? Mendekati pernikahannya dengan Tengku Tezi, Tyas Mirasih menyelenggarakan acara pengajian pra nikah pada hari ini, yaitu Kamis (17/8).
-
Bagaimana suasana pernikahan Siti Mamduhah? Semoga Mamam Ma'ruf Amin & Iyar sukses menjalani kehidupan baru. Semoga cinta dan kebahagiaan senantiasa mengaliri setiap hari kalian dan menjadikan kalian berdua sebagai keluarga yang harmonis, penuh kasih, dan memberikan berkah," doa yang disampaikan oleh Rahma Perk.
Tidak Memiliki Wali Sah
Wali nikah merupakan salah satu rukun penting dalam pernikahan menurut ajaran Islam. Jika pernikahan dilakukan tanpa wali yang memenuhi syarat atau wali berhak, maka pernikahan tersebut dapat dianggap tidak sah. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, "Tidak sah nikah kecuali dengan wali." Dalam situasi mualaf seperti Mahalini, di mana ayah kandungnya beragama non-Muslim, seharusnya wali nikah dialihkan kepada wali hakim yang ditunjuk secara resmi oleh KUA. Proses penunjukan wali hakim harus mengikuti prosedur yang benar dan sesuai dengan ketentuan syariat. Wali nikah memiliki urutan prioritas yang harus diikuti, dimulai dari ayah kandung, kakek dari pihak ayah, saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki seayah, dan seterusnya. Jika urutan ini dilanggar tanpa alasan syar'i yang jelas, maka pernikahan tersebut dapat dinyatakan tidak sah. Ketidakabsahan wali juga bisa terjadi jika wali yang ditunjuk tidak memenuhi syarat, seperti belum baligh, tidak berakal, atau fasik. Islam menetapkan syarat-syarat ketat bagi wali nikah untuk melindungi hak-hak perempuan dalam pernikahan.
2. Pernikahan Syighar
Pernikahan syighar adalah jenis pernikahan di mana seorang wali menikahkan putrinya dengan syarat bahwa dia juga dinikahkan dengan putri dari wali lain, tanpa adanya mahar yang jelas. Model pernikahan seperti ini dilarang dalam Islam, berdasarkan hadits Rasulullah SAW yang menegaskan, "Tidak ada nikah syighar dalam Islam." Larangan ini ada karena pernikahan syighar mengandung unsur eksploitasi terhadap perempuan. Mereka diperlakukan sebagai alat tukar tanpa memperhatikan hak-hak mereka dalam pernikahan. Selain itu, ketidakjelasan mahar juga melanggar salah satu kewajiban dalam pernikahan menurut Islam. Para ulama sepakat bahwa pernikahan syighar termasuk dalam kategori pernikahan yang batal dan tidak memiliki dampak hukum. Jika ada hubungan suami istri yang terjadi, maka wajib ada mahar mitsil (mahar standar) sebagai bentuk perlindungan terhadap hak perempuan. Pembatalan pernikahan syighar berlaku sejak awal akad, yang berarti semua konsekuensi pernikahan seperti hak waris, nasab anak, dan kewajiban nafkah perlu ditinjau ulang sesuai dengan ketentuan syariat.
Pernikahan Mut'ah
Pernikahan mut'ah, atau yang sering dikenal sebagai kawin kontrak, merupakan jenis pernikahan yang memiliki batasan waktu tertentu, entah itu singkat maupun panjang. Dalam ajaran Islam, praktik ini dilarang dengan tegas sebagaimana tercantum dalam hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Muslim. Rasullulah SAW melarang nikah mut'ah pada saat Fathu Makkah. Larangan terhadap nikah mut'ah ini berlandaskan pada prinsip bahwa tujuan pernikahan dalam Islam adalah untuk membentuk keluarga yang harmonis (sakinah, mawaddah, warahmah), bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan fisik semata. Dengan adanya pembatasan waktu, tujuan mulia tersebut menjadi terabaikan. Selain itu, pernikahan mut'ah tidak hanya dianggap batal menurut hukum syariat, tetapi juga tidak diakui oleh hukum positif di Indonesia. Hal ini sejalan dengan UU Perkawinan yang menetapkan bahwa pernikahan merupakan ikatan lahir batin yang tidak memiliki batasan waktu. Dampak negatif dari pernikahan mut'ah sangat merugikan, terutama bagi perempuan dan anak-anak yang lahir dari ikatan tersebut. Mereka kehilangan hak-hak yang seharusnya mereka terima dalam pernikahan yang sah.
4. Pernikahan dalam Masa Ihram
Seseorang yang sedang menjalankan ibadah ihram, baik untuk haji maupun umrah, dilarang untuk melangsungkan pernikahan. Larangan ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, yang menyatakan, "Orang yang sedang ihram tidak boleh menikah, tidak boleh menikahkan, dan tidak boleh meminang." Aturan ini berlaku baik untuk individu yang sedang dalam kondisi ihram maupun bagi mereka yang ingin menikahi orang yang sedang ihram. Oleh karena itu, pernikahan yang dilakukan dalam keadaan ini dianggap tidak sah dan harus diulang setelah selesai masa ihram. Meskipun begitu, orang yang sedang ihram diperbolehkan untuk melakukan rujuk dengan istri yang telah ditalak raj'i, karena rujuk dianggap sebagai kelanjutan dari pernikahan sebelumnya dan bukan sebagai pembukaan pernikahan baru. Larangan untuk menikah saat ihram ini menunjukkan bagaimana Islam mengatur setiap aspek kehidupan umatnya, termasuk waktu yang tepat untuk melangsungkan pernikahan.
Pernikahan Dengan Mahram
Islam dengan tegas melarang pernikahan dengan mahram, baik yang disebabkan oleh nasab (keturunan), mushaharah (persemendaan), maupun radha'ah (sepersusuan). Allah SWT telah menetapkan larangan ini dalam Al-Quran Surat An-Nisa ayat 23. Larangan untuk menikahi mahram ini bersifat permanen (muabbad) dan tidak dapat diubah dalam kondisi apapun. Jika pernikahan dengan mahram telah terjadi, maka harus segera dibatalkan. Jika terdapat hubungan suami istri, hal tersebut termasuk dalam kategori zina yang akan mendapatkan sanksi berat. Dalam Islam, terdapat 14 golongan wanita yang haram untuk dinikahi selamanya, terdiri dari tujuh karena nasab dan tujuh lainnya karena alasan lain. Ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga garis keturunan dan mencegah terjadinya pernikahan yang dapat merusak tatanan sosial. Oleh karena itu, calon pengantin diwajibkan untuk melakukan penelusuran yang mendalam mengenai status kemahraman sebelum melaksanakan pernikahan, guna menghindari terjadinya pernikahan yang tidak sah.
6. Pernikahan Beda Agama
Meskipun laki-laki Muslim diperbolehkan untuk menikahi wanita ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) yang murni, terdapat batasan-batasan yang harus diperhatikan. Menikahi penyembah berhala, ateis, atau pengikut agama selain ahli kitab adalah tidak sah bagi seorang Muslim. Selain itu, seorang Muslimah juga dilarang untuk menikah dengan laki-laki non-Muslim, terlepas dari agama yang dianutnya. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 221 yang melarang pernikahan dengan orang musyrik hingga mereka beriman. Jika salah satu pasangan mengalami kemurtadan sebelum terjalinnya hubungan suami istri, maka pernikahan tersebut langsung batal. Namun, jika kemurtadan terjadi setelah hubungan suami istri, maka perlu menunggu hingga masa iddah selesai untuk menentukan status pernikahan. Dalam konteks hukum di Indonesia, pernikahan beda agama tidak dapat dicatatkan secara resmi, sehingga tidak mendapatkan perlindungan hukum dari negara.
Pernikahan Selama Masa Iddah
Seorang wanita yang sedang menjalani masa iddah, baik karena perceraian maupun ditinggal mati suami, tidak diperbolehkan untuk menikah lagi. Allah SWT telah menetapkan larangan ini dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 228. Jika pernikahan dilakukan selama masa iddah, maka pernikahan tersebut dianggap batal dan harus dipisahkan. Apabila terjadi hubungan suami istri, wanita tersebut harus menjalani dua kali masa iddah secara berturut-turut, yaitu iddah dari suami pertama hingga selesai, kemudian dilanjutkan dengan iddah dari pernikahan yang tidak sah tersebut. Larangan ini memiliki hikmah, antara lain untuk memastikan bahwa rahim wanita tersebut kosong, memberikan waktu untuk berkabung dalam kasus kematian suami, serta memberikan kesempatan untuk rujuk dalam kasus talak raj'i. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat menyebabkan kerancuan dalam nasab anak dan permasalahan warisan yang rumit.
8. Pernikahan Paksa
Pernikahan yang dilangsungkan di bawah paksaan atau ancaman dinyatakan tidak sah, kecuali dalam keadaan tertentu, seperti ketika seorang ayah menikahkan anak perempuan yang belum baligh (wali mujbir). Untuk sahnya sebuah pernikahan, diperlukan adanya kerelaan dari kedua mempelai, sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah SAW, bahwa perempuan yang sudah janda lebih berhak atas dirinya dibandingkan walinya, sedangkan perawan harus dimintai izinnya. Dalam Islam, hak individu untuk memilih pasangan hidup sangat dihargai. Paksaan dalam pernikahan dapat berujung pada ketidakharmonisan dalam rumah tangga dan berpotensi menimbulkan kerusakan yang lebih besar. Namun, pengecualian untuk wali mujbir harus tetap memperhatikan kemaslahatan anak dan tidak boleh menimbulkan mudarat.
Pernikahan Tidak Melibatkan Saksi
Kehadiran dua saksi yang memenuhi syarat merupakan salah satu rukun nikah yang tidak bisa diabaikan. Jika pernikahan dilaksanakan tanpa adanya saksi atau dengan saksi yang tidak memenuhi kriteria, maka pernikahan tersebut dianggap tidak sah. Saksi dalam pernikahan harus memenuhi beberapa kriteria, antara lain beragama Islam, baligh, berakal, adil, serta memahami maksud dari akad nikah. Fungsi saksi adalah untuk mengumumkan pernikahan dan mencegah terjadinya fitnah. Para ulama sepakat bahwa nikah sirri, yaitu pernikahan tanpa saksi, adalah pernikahan yang tidak sah dan harus dibatalkan. Apabila terjadi hubungan suami istri sebelum pembatalan, maka akan berlaku ketentuan mengenai wathi syubhat.
Di Indonesia, pernikahan yang tidak disaksikan tidak hanya batal menurut syariat, tetapi juga tidak dapat dicatat secara resmi, sehingga pasangan tidak memperoleh perlindungan hukum. Memahami berbagai faktor yang dapat membatalkan atau menjadikan pernikahan tidak sah sangat penting bagi setiap Muslim yang berencana untuk menikah. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, terdapat sembilan faktor utama yang dapat membatalkan pernikahan, mulai dari tidak adanya wali yang sah hingga ketiadaan saksi dalam akad nikah. Dengan memahami hal-hal ini, calon pengantin dapat mempersiapkan pernikahan mereka dengan lebih baik dan memastikan bahwa ikatan suci yang akan dibangun sah menurut syariat Islam serta hukum negara.
Mengingat dampak besar dari pernikahan yang tidak sah, baik terhadap status hubungan, hak-hak pasangan, nasab anak, maupun warisan, sangat dianjurkan untuk berkonsultasi dengan ahli agama dan pihak KUA sebelum melangsungkan pernikahan. Dengan demikian, calon pengantin dapat menghindari masalah di kemudian hari dan memastikan bahwa semua aspek pernikahan telah diatur dengan baik. Hal ini juga memberikan rasa tenang dan kepastian dalam menjalani kehidupan berumah tangga yang sesuai dengan ajaran agama dan ketentuan hukum yang berlaku.