Perlu Dipahami, ini Batas Minimal Usia Menikah dalam Islam
Pelajari batas minimal usia menikah dalam Islam dari sudut pandang hukum syariah dan kemaslahatan umat.
Pernikahan adalah salah satu bentuk ibadah yang sangat dianjurkan dalam ajaran Islam. Sebagai suatu ikatan suci yang menghalalkan interaksi antara pria dan wanita, pernikahan bertujuan untuk menciptakan keluarga yang harmonis, penuh kasih sayang, dan rahmat.
Untuk mencapai tujuan tersebut, kedua mempelai perlu memiliki kematangan fisik dan mental. Hal ini memicu perdebatan mengenai batas usia minimal untuk menikah dalam Islam. Dalam Al-Qur'an dan hadits, tidak terdapat ketentuan yang jelas mengenai batas usia minimal untuk menikah. Ini memberikan kesempatan bagi para ulama untuk menafsirkan kapan seseorang dianggap siap untuk melangsungkan pernikahan.
Perbedaan pandangan ini juga terlihat dalam penerapan hukum keluarga di berbagai negara Muslim kontemporer. Pembahasan mengenai batas usia minimal untuk menikah menjadi semakin penting di zaman modern ini, di mana kesadaran akan hak-hak anak dan nilai pendidikan semakin meningkat. Di sisi lain, fenomena pernikahan dini masih terjadi di berbagai negara Muslim, sering kali dengan alasan mengikuti sunnah Nabi atau menghindari perbuatan zina. Lalu, bagaimana pandangan Islam terhadap isu ini? Berikut ulasannya dari berbagai sumber, pada Senin (7/10).
Pengertian Baligh dalam Ilmu Fiqh Islam
Dalam ilmu fiqh Islam, istilah baligh (pubertas) sering kali digunakan sebagai acuan untuk menentukan kapan seseorang dianggap telah mencapai kedewasaan dan siap untuk menikah. Para ulama memiliki beragam pandangan mengenai tanda-tanda serta usia yang menandai baligh.
Tanda-tanda Baligh
Secara umum, tanda-tanda baligh yang disepakati oleh para ulama mencakup: 1. Mimpi basah (ihtilam) pada laki-laki 2. Menstruasi (haid) pada perempuan 3. Pertumbuhan rambut kemaluan Selain itu, beberapa ulama juga menambahkan tanda-tanda lain seperti perubahan suara dan pertumbuhan rambut di ketiak.
Perbedaan Pendapat Mengenai Usia Baligh
Para ulama dari berbagai mazhab memiliki pandangan yang berbeda mengenai usia minimum baligh:
1. Mazhab Hanafi: 18 tahun untuk laki-laki dan 17 tahun untuk perempuan
2. Mazhab Maliki: Ditandai dengan pertumbuhan rambut di bagian tubuh
3. Mazhab Syafi'i: 15 tahun untuk laki-laki dan 9 tahun untuk perempuan
4. Mazhab Hanbali: 15 tahun untuk baik laki-laki maupun perempuan Perbedaan pandangan ini menunjukkan bahwa konsep baligh tidak hanya ditentukan oleh usia kronologis, tetapi juga mempertimbangkan perkembangan fisik dan mental individu.
Riwayat Mengenai Perkawinan Nabi dengan Aisyah
Salah satu sumber yang sering dirujuk dalam perdebatan mengenai batas usia minimum untuk menikah adalah hadits mengenai pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan Aisyah r.a. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dinyatakan:
"Rasulullah menikahi Aisyah saat ia berusia enam tahun dan membawanya pulang ketika Aisyah berumur sembilan tahun, sementara beliau wafat pada usia delapan belas tahun" [2].
Hadits ini sering digunakan sebagai dasar oleh mereka yang mendukung pernikahan di usia muda. Namun, banyak ulama modern yang menafsirkan hadits ini dengan pendekatan kontekstual, memperhatikan kondisi sosial dan budaya pada zaman tersebut. Mereka berargumen bahwa hadits ini tidak dapat dijadikan sebagai pedoman hukum yang berlaku secara umum untuk melegitimasi pernikahan anak di bawah umur.
Pandangan Para Cendekiawan Muslim Masa Kini
Para ahli agama masa kini umumnya memiliki pandangan yang berbeda dibandingkan dengan para ulama klasik mengenai batas usia minimum untuk menikah. Mereka lebih memperhatikan faktor kematangan fisik, mental, dan sosial, serta kondisi zaman sekarang.
Yusuf al-Qaradawi
Yusuf al-Qaradawi, seorang tokoh ulama modern yang berpengaruh, berpendapat bahwa usia yang tepat untuk menikah adalah saat seseorang telah mencapai kematangan baik secara fisik maupun mental. Ia menekankan pentingnya pendidikan dan kesiapan finansial sebelum memasuki pernikahan [3].
Wahbah az-Zuhaili
Wahbah az-Zuhaili, dalam bukunya "Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu", menyatakan bahwa meskipun dalam perspektif fiqh pernikahan bagi anak yang belum baligh diperbolehkan, hal ini bertentangan dengan maqashid syariah (tujuan syariah) yang berfokus pada kemaslahatan. Ia mendukung adanya regulasi mengenai batas usia minimum menikah oleh pemerintah untuk melindungi kepentingan anak [4].
Pelaksanaan di Negara Penduduk Muslim
Berbagai negara dengan mayoritas Muslim telah menerapkan peraturan yang menetapkan batas usia minimum untuk menikah. Namun, terdapat perbedaan dalam penentuan usia minimum tersebut:
1. Indonesia menetapkan 19 tahun untuk kedua jenis kelamin (UU No. 16 Tahun 2019)
2. Di Malaysia, usia minimum untuk laki-laki dan perempuan adalah 18 tahun (Islamic Family Law Act 1984)
3. Mesir juga menetapkan usia 18 tahun untuk laki-laki dan perempuan (Child Law 2008)
4. Di Turki, usia minimum untuk menikah adalah 18 tahun bagi kedua belah pihak (Turkish Civil Code 2001)
5. Sementara itu, Pakistan menetapkan 18 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan (Child Marriage Restraint Act 1929, diamandemen 2019). Perbedaan ini mencerminkan bahwa meskipun didasarkan pada syariat Islam, interpretasi dan penerapan hukum dapat bervariasi sesuai dengan konteks sosial dan budaya di masing-masing negara.
Aspek Psikologis dan Kesehatan
Selain aspek fiqh, penting untuk mempertimbangkan faktor psikologis dan medis dalam menentukan batas usia minimal untuk menikah. Beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain:
1. Kematangan emosional: Masa remaja merupakan periode penting untuk pembentukan identitas dan perkembangan emosi, dan pernikahan di usia muda dapat mengganggu proses ini.
2. Risiko kesehatan reproduksi: Kehamilan di usia yang terlalu muda dapat meningkatkan kemungkinan komplikasi selama kehamilan dan persalinan.
3. Pendidikan: Menikah di usia dini sering kali menyebabkan terputusnya pendidikan, yang berdampak negatif pada kualitas hidup di masa depan.
4. Kesiapan ekonomi: Pasangan yang masih muda biasanya belum memiliki stabilitas finansial yang diperlukan untuk menjalani kehidupan berumah tangga. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan agar usia minimal untuk menikah adalah 18 tahun, dengan mempertimbangkan berbagai faktor tersebut.
Tujuan Syariah dan Kebaikan Umum
Dalam menentukan hukum, termasuk batas usia minimal untuk menikah, para ulama kontemporer sering mengacu pada konsep maqashid syariah (tujuan syariah). Lima tujuan utama syariah mencakup perlindungan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dari sudut pandang maqashid syariah, penetapan batas minimal usia menikah dapat dipahami sebagai upaya untuk:
1. Melindungi jiwa: Mengurangi risiko kesehatan yang mungkin timbul akibat pernikahan dan kehamilan yang terlalu dini.
2. Melindungi akal: Memberikan peluang untuk belajar dan berkembang secara pribadi.
3. Melindungi keturunan: Memastikan bahwa pasangan siap untuk membesarkan anak dengan baik.
4. Melindungi harta: Memberikan waktu bagi pasangan untuk mempersiapkan diri secara finansial.
Oleh karena itu, penetapan batas minimal usia menikah dapat dianggap sebagai implementasi maqashid syariah demi mencapai kemaslahatan umat. Perdebatan mengenai batas minimal usia menikah dalam Islam mencerminkan interaksi antara pemahaman fiqh klasik dan konteks zaman sekarang.
Meskipun tidak terdapat ketentuan yang jelas dalam Al-Qur'an dan hadits, para ulama kontemporer umumnya mendukung pembatasan usia minimal untuk menikah dengan mempertimbangkan kematangan fisik, mental, dan sosial. Pelaksanaan di berbagai negara Muslim menunjukkan upaya untuk menyeimbangkan prinsip syariah dengan kebutuhan masyarakat modern.
Penetapan batas minimal usia menikah dapat dilihat sebagai bentuk ijtihad kontemporer yang bertujuan untuk mewujudkan maqashid syariah dan kemaslahatan umat. Dalam konteks saat ini, penting untuk menyadari bahwa kesiapan untuk menikah tidak hanya ditentukan oleh usia atau tanda-tanda fisik baligh, tetapi juga melibatkan kematangan emosional, pendidikan, dan kesiapan ekonomi. Dengan mempertimbangkan berbagai faktor ini, diharapkan pernikahan dapat menjadi pondasi yang kuat untuk membangun keluarga dan masyarakat yang sejahtera.
Referensi:
[1] Shodikin, A. (2015). Pandangan Hukum Islam dan Hukum Nasional Tentang Batas Usia Perkawinan. Mahkamah: Jurnal Kajian Hukum Islam, 9(1). [2] Muslim. (n.d.). Shahh Muslim. Jakarta: Dr Ihya' al-Kutub al-Arabiyyah. [3] Al-Qaradawi, Y. (1995). Fatawa Mu'asirah. Kuwait: Dar al-Qalam. [4] Az-Zuhaili, W. (1985). Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Damascus: Dar al-Fikr. [5] Nasution, K. (2013). Hukum Perkawinan I. Yogyakarta: ACAdeMIA. [6] World Health Organization. (2018). Adolescent pregnancy. Retrieved from https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/adolescent-pregnancy [7] Auda, J. (2008). Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach. London: International Institute of Islamic Thought.