Alasan Mengapa Kenaikan PPN 12 Persen Harus Dibatalkan
Kenaikan PPN menjadi 12 persen semakin mencekik masyarakat.
Rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen ke 12 persen terus menjadi bayang-bayang masyarakat Indonesia. Dalam kajian yang dilakukan Center of Economic and Law Studies (Celios) menunjukkan kenaikan PPN menjadi 12 persen dapat memberikan dampak signifikan terhadap inflasi.
Hal itu berkaca pada pengalaman 2022, ketika pemerintah menaikkan tarif PPN dari 10 persen menjadi 11 persen mengakibatkan inflasi melaju ke 3,47 persen secara tahunan (YoY). Pada Mei, Juni, dan Juli tahun yang sama inflasi kembali meningkat masing-masing sebesar 3,55 persen, 4,35 persen, dan 4,94 persen (YoY).
- Luhut Pandjaitan: Kenaikan PPN 12 Persen Hampir Pasti Diundur, Pemerintah Mau Beri Bansos Dulu
- Masyarakat Bisa Ajukan Pengaduan Kenaikan PPN 12 Persen, Begini Alurnya
- Hitung-Hitungan PPN 12 Persen, Ternyata Kenaikan Dirasakan Masyarakat Capai 20 Persen dalam 4 Tahun
- Diam-Diam, Pemerintah Sudah Masukkan Kenaikan PPN 12 Persen ke RAPBN 2025
"Inflasi itu telah menyebabkan merosotnya konsumsi rumah tangga, terutama bagi kelas menengah ke bawah," kata Direktur Hukum Celios, Mhd Zakiul Fikri dalam keterangannya, Rabu (25/12).
Zakiul menuturkan pihaknya juga telah mensimulasikan kenaikan kebutuhan masyarakat akibat kenaikan PPN, kelas menengah diprediksi mengalami penambahan pengeluaran hingga Rp354.293 per bulan atau Rp 4,2 juta per tahun dengan adanya kenaikan tarif PPN 12 persen.
Sedangkan, keluarga miskin diprediksi menanggung kenaikan pengeluaran hingga Rp101.880 per bulan atau Rp 1,2 juta per tahun.
"Kian mencekik bagi masyarakat karena meningkatnya jumlah pengeluaran berbanding terbalik dengan peningkatan pemasukan dari gaji bulanan yang rata-rata hanya tumbuh 3,5 persen per tahun," tegas Zakiul.
Dia menilai kondisi inilah yang mendorong berbagai kalangan masyarakat urun rembuk menyuarakan penolakan terhadap upaya kenaikan PPN dari 11 persen ke 12 persen.
"Banyaknya suara penolakan itu bukan tanpa alasan, sebab mayoritas penduduk Indonesia saat ini menurut kajian CELIOS merupakan penduduk dengan kelas ekonomi menengah ke bawah yang akan merasa dampak langsung dari kenaikan PPN tersebut," paparnya.
Akal Bulus Pemerintah dan DPR dengan Berlindung di Balik Undang-Undang
Akan Tetapi, pemerintah dengan mudahnya berlindung di balik narasi bahwa kenaikan itu merupakan perintah undang-undang, sehingga ambisi menaikkan tarif PPN terus diupayakan.
Perintah yang dimaksud tepatnya termaktub dalam Bab IV tentang Pajak Pertambahan Nilai Pasal 4 Angka 2 Undang-Undang 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang merupakan perubahan dari Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
Ketentuan Pasal 7 ayat (1) dari Bab IV Pasal 4 Angka 2 UU HPP 2021 mengatur bahwa tarif PPN sebesar 12 persen mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025.
"Terhadap norma ini, ada dua hal yang perlu dicatat, Pertama, tujuan norma hukum dibuat bukan hanya untuk kepentingan kepastian hukum, tetapi harus pula memuat kemanfaatan-kepatutan dan keadilan hukum," jelas Zakiul.
Menurutnya, pemerintah bisa saja mengevaluasi kenaikan PPN dengan menurunkannya hingga menjadi 5 persen atau menaikkan hingga maksimum 15 persen, sesuai ketentuan Pasal 7 ayat (3).
Namun, menurunkan angka PPN atau menunda saja berlakunya kenaikan PPN mustahil terjadi, sebab mereka fokus untuk menjalankan “perintah” dari Pasal 7 ayat (1), dalih yang terus diumbar di berbagai media.
Meskipun opsi Pasal 7 ayat (3) dilaksanakan, tetap akan terjadi kekacauan hukum akibat aturan pada ayat tersebut ambigu dan tidak jelas mengenai barometer untuk menentukan 5 persen hingga 15 persen.
Selain itu, pelaksanaan norma Pasal 7 ayat (3) harus dilakukan bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) sesuai ketentuan dari Pasal 7 ayat (4).
"Akibatnya, memakan proses yang panjang, lama, dan rumit," Zakiul mengakhiri.