Miris, Cuma 100 Pinjol Saja yang Berizin dan Diawasi OJK
Masyarakat diharapkan selalu waspada dan tidak menggunakan pinjaman online ilegal karena berpotensi merugikan.
Masyarakat diharapkan selalu waspada dan tidak menggunakan pinjaman online ilegal karena berpotensi merugikan.
Miris, Cuma 100 Pinjol Saja yang Berizin dan Diawasi OJK
Digitalisasi ekonomi membuat pembiayaan non perbankan atau dikenall dengan pinjaman online (pinjol) banyak bermunculan.
Hanya saja, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat hanya 100 pinjol saja yang memiliki izin dan diawasi langsung OJK.
OJK mencatat hingga Juni 2024 terdapat 100 penyelenggara fintech Peer to Peer (P2P) lending dan pinjaman online (pinjol) berizin dan diawasi OJK, setelah beberapa waktu lalu terdapat P2P lending yang dicabut izin usahanya seperti TaniFund.
"Saat ini jumlah penyelenggara fintech P2P lending berizin dan diawasi OJK sebanyak 100 Penyelenggara," kata Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya OJK, Agusman, dikutip dari keterangan tertulisnya, Rabu (12/6).
Sementara, berdasarkan data posisi akhir April 2024, terdapat 15 Penyelenggara fintech P2P lending yang memiliki tingkat risiko kredit macet secara agregat (TWP90) di atas 5 persen.
Agusman menjelaskan, hal itu berdasarkan POJK nomor 10 tahun 2022, TWP90 dihitung dari outstanding pendanaan yang wanprestasi di atas 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal jatuh tempo atau yang termasuk dalam kategori pendanaan macet.
Disisi lain, OJK mencatat pada posisi April 2024, TWP90 menurun menjadi 2,79 persen.
Penurunan TWP90 dimaksud terutama karena jumlah nominal pendanaan macet menurun dari Rp1,83 triliun pada Maret 2024 menjadi Rp1,75 triliun pada April 2024.
Lebih lanjut, Agusman menyampaikan berdasarkan data per April 2024, industri fintech lending secara agregat mencatat laba setelah pajak sebesar Rp172,84 miliar.
Diharapkan industri fintech lending dapat terus bertumbuh pada tahun 2024.
Pada posisi bulan April 2024, terdapat 5 perusahaan pembiayaan yang belum memenuhi ketentuan kewajiban ekuitas minimum sebesar Rp100 miliar.
Sementara itu, saat ini terdapat 3 Penyelenggara fintech P2P lending yang belum memenuhi kewajiban ekuitas minimal Rp2,5 miliar.
"Hal ini disebabkan karena penyelenggara belum dapat mencatat laba dan proses peningkatan permodalan yang sedang dilakukan belum sesuai dengan ketentuan yang berlaku," ujarnya.
Oleh karena itu, OJK terus melakukan langkah-langkah yang diperlukan terkait progress action plan upaya pemenuhan kewajiban ekuitas minimum dimaksud berupa injeksi modal dari pemegang saham, maupun dari strategic investor lokal/asing yang kredibel, termasuk pengembalian izin usaha.
Sementara itu, Satuan Tugas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal (Satgas PASTI) pada periode April-Mei 2024 menemukan 654 entitas pinjaman online, atau pinjol ilegal di sejumlah situs dan aplikasi. Pada saat yang sama juga ditemukan 41 konten penawaran pinjaman pribadi (pinpri) yang berpotensi merugikan masyarakat dan melanggar ketentuan penyebaran data pribadi.
Selain itu, Sekretaris Satgas PASTI Hudiyanto menyampaikan, pihaknya juga memblokir 129 tawaran investasi ilegal terkait penipuan yang dilakukan oleh oknum dengan modus meniru atau menduplikasi nama produk, situs, maupun sosial media milik entitas berizin dengan tujuan untuk melakukan penipuan (impersonation).
"Berkaitan dengan temuan tersebut dan setelah melakukan koordinasi antar anggota, Satgas PASTI telah melakukan pemblokiran dan berkoordinasi dengan aparat penegak hukum untuk menindaklanjutinya sesuai ketentuan yang berlaku," ujar Hudiyanto, Selasa (11/6).
Hudiyanto melaporkan, sejak 2017 hingga 31 Mei 2024, Satgas PASTI telah menghentikan 9.888 entitas keuangan ilegal yang terdiri dari 1.366 entitas investasi ilegal, 8.271 entitas pinjaman online ilegal/pinjaman pribadi, dan 251 entitas gadai ilegal.
"Satgas PASTI juga mengingatkan kembali agar masyarakat untuk selalu berhati-hati, waspada, dan tidak menggunakan pinjaman online ilegal maupun pinjaman pribadi karena berpotensi merugikan masyarakat, termasuk risiko penyalahgunaan data pribadi peminjam," pintanya.
"Masyarakat juga diminta untuk mewaspadai penawaran aktivitas atau investasi dengan modus impersonation di kanal-kanal media sosial, khususnya Telegram," kata dia seraya mengimbau.