Suara Pengusaha Tanggapi Aturan Baru Industri Makanan dan Tembakau
Protes yang dilayangkan banyak mencermati kurangnya partisipasi publik dalam penyusunan peraturan-peraturan terkait kesehatan.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 yang disusun dengan metode omnibus dan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) menuai banyak polemik. Dua regulasi yang mengatur berbagai aspek kesehatan dan non-kesehatan, termasuk pengaturan industri makanan, tembakau, dan alat kontrasepsi dikritik dari berbagai sektor.
Protes yang dilayangkan banyak mencermati kurangnya partisipasi publik dalam penyusunan peraturan-peraturan terkait kesehatan sehingga peraturan yang dihasilkan menekan berbagai sektor nonkesehatan yang turut terdampak.
- Susun Aturan Turunan PP Kesehatan, Anggota DPR Minta Pemerintah Libatkan Pemangku Kepentingan
- Buruh Kritik RPP Kesehatan, Dianggap Dibahas Diam-Diam
- Curhat Pengusaha: Masyarakat Indonesia Lebih Suka Beli Minuman Tinggi Gula Dibanding Rendah Kalori
- Saran untuk Pemerintah Tengah Susun Aturan Turunan UU Kesehatan, Terutama Soal Produk Tembakau
Ketua Umum Apindo, Shinta W. Kamdani menyampaikan keprihatinannya atas dampak PP 28/2024 kepada sektor-sektor padat karya, khususnya pada industri manufaktur.
"Regulasi ini membebankan tanggung jawab penyakit tidak menular (PTM) sepenuhnya pada produsen pangan olahan dan industri hasil tembakau, padahal PTM disebabkan oleh banyak faktor lain, seperti gaya hidup, kurangnya aktivitas fisik, merokok, alkohol, paparan polutan, dan stres. Beban ini tidak bisa hanya ditimpakan kepada satu atau dua sektor," jelas Shinta ditulis Liputan6.com.
Shinta menegaskan bahwa kebijakan yang tidak mempertimbangkan keseimbangan antara perlindungan kesehatan dan dampak ekonomi dapat mengganggu kestabilan sektor-sektor penting. Ia menyoroti bahwa dalam konteks pangan olahan, produk ini hanya menyumbang sekitar 30 persen dari konsumsi gula, garam, dan lemak (GGL) di Indonesia, sementara 70 persen berasal dari pangan non-olahan.
"Pembatasan batas maksimal GGL pada produk pangan olahan perlu dikaji ulang efektivitasnya dalam mengatasi PTM karena tidak menyasar konsumsi GGL secara menyeluruh. Hal serupa berlaku untuk industri hasil tembakau. Regulasi yang terlalu ketat akan mendorong munculnya produk ilegal dan melemahkan industri formal," tambahnya.
Dalam hal industri hasil tembakau, Shinta juga menyampaikan bahwa kebijakan seperti kemasan polos dan pembatasan kadar tar serta nikotin tidak hanya menekan industri formal tetapi juga meningkatkan risiko peredaran produk ilegal.
"Kebijakan yang terlalu membatasi, seperti kemasan polos dan pembatasan iklan luar ruang, hanya akan membuka peluang bagi rokok ilegal yang merugikan negara dari segi penerimaan cukai. Sementara itu, industri formal yang mematuhi regulasi justru terancam," tegasnya.
Partisipasi Publik
Ahli Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Fitriani A. Sjarif menyoroti minimnya partisipasi publik dalam penyusunan peraturan yang menggunakan metode omnibus ini. Menurutnya, kebijakan ini tidak sejalan dengan hukum yang sudah ada untuk menjamin partisipasi publik (meaningful participation) dalam penyusunan peraturan.
"Dalam proses penyusunan aturan, penting untuk memastikan bahwa masyarakat diberikan kesempatan untuk didengarkan dan memberikan masukannya. Penyusunan peraturan menggunakan metode omnibus menggabungkan banyak topik dalam satu peraturan dengan ribuan pasal. Proses pembahasan yang terburu-buru dan tidak transparan akan semakin menyulitkan pemangku kepentingan untuk terlibat, sehingga kualitas substansi peraturan yang dihasilkan kurang baik dan sulit diimplementasikan di lapangan,” tuturnya dikutip Minggu (15/9).
Fitriani menambahkan agar pemerintah berhati-hati dalam menggunakan metode omnibus dalam penyusunan peraturan dan belajar dari pengalaman negara lain. Dengan begitu, harapannya dapat tercipta regulasi yang baik dan berimbang tanpa mendiskriminasi sejumlah pihak.
"Dalam UU 12/2011, Indonesia menganut penyusunan peraturan dengan metode single subject rule, di mana satu peraturan akan fokus mengatur topik yang sama. Indonesia mulai menerapkan metode omnibus beberapa tahun terakhir, yang diawali dengan penyusunan UU Cipta Kerja. Indonesia bisa mencontoh Amerika Serikat yang lebih dulu menerapkan metode omnibus yang hanya membolehkan metode omnibus jika peraturan yang disusun memiliki tema yang sama, atau bisa dibilang omnibus law dengan pendekatan single subject rule,” papar dia.
Salah satu aturan terbaru yang tengah dirancang oleh Kemenkes yakni kemasan rokok polos tanpa merek melalui RPMK. Draft kebijakan tersebut dinilai paling berpotensi mempengaruhi seluruh pelaku industri tembakau.
Kekhawatiran utamanya adalah dampak dari persaingan tidak sehat dan maraknya rokok ilegal. Kemasan yang seragam berpotensi menyulitkan konsumen untuk membedakan produk legal dan ilegal. Bahkan penerapan kemasan rokok polos tanpa merek juga bertentangan dengan regulasi seperti UU tentang Hak Cipta, Merek, maupun Perlindungan Konsumen.