Bayi-Bayi di Gaza Meninggal Kedinginan di Tenda, "Dia Tak Mau Bangun, Kepalanya Dingin dan Wajahnya Pucat Tak Bernyawa"
Cuaca dingin di Gaza membuat beberapa bayi meninggal kedinginan di tenda-tenda pengungsian.
Setetes embun jatuh dari atap tenda pengungsian membangunkan Yahya Muhammed al-Batran di hari Minggu yang dingin. Ia terbangun bersama istri dan satu anak kembarnya yang baru lahir, sementara anak kembarnya yang lain telah meninggal kedinginan.
“Istri saya sudah bangun. Saya bertanya kepadanya apa yang salah, dan dia menunjuk ke arah Jumaa dan menggelengkan kepalanya,” kenang Batran.
-
Kenapa bocah Gaza mengubur diri? Genosida yang dilakukan Israel terhadap Gaza Palestina meninggalkan rasa trauma bagi masyarakat di Gaza, terutama anak-anak. Setiap hari mereka menyaksikan warga hingga sanak saudara mereka tewas terbunuh karena kebengisan militer Israel. Seorang bocah bernama Hossam pun ingin merasakan bagaimana rasanya menjadi orang meninggal seperti para korban Israel.
-
Siapa bocah Gaza yang mengubur diri? Seorang bocah bernama Hossam pun ingin merasakan bagaimana rasanya menjadi orang meninggal seperti para korban Israel.
-
Apa yang terjadi pada bayi baru lahir di Gaza? Kesempatan bayi baru lahir di Jalur Gaza, Palestina, untuk bisa bertahan hidup sangat tipis. Di bangsal gizi buruk rumah sakit Kamal Adwan di Gaza utara, bayi-bayi yang baru beberapa hari lahir ke dunia dan kebanyakan prematur, bertarung untuk tetap hidup.
-
Bagaimana kondisi jasad bayi Palestina? Weird how meta doesn't blur out this pic. Because this baby in unrecognisable .... burnt beyond recognition.
-
Mengapa bayi meninggal? Kelainan genetik yang dialami anak ini membuat jantung tidak dapat menerima atau memompa cukup darah setiap kali berdetak dan mengakibatkan kematian dini anak laki-laki tersebut karena gagal jantung, ungkap para peneliti seperti dikutip dari laman Live Science.
-
Kenapa bayi nya meninggal? Salah satu penyebab bayi laki-laki itu meninggal dunia karena lokasi melahirkan tidak memadai.
“Ali terlihat setengah hidup. Tapi Jumaa, saya sudah mencoba membangunkannya tapi dia tidak mau bangun,” kata istrinya seraya mengatakan kepala Jumma terasa seperti es dan wajahnya pucat, tidak bernyawa.
Batran membungkus putranya dengan selimut dan melarikannya ke Rumah Sakit Syuhada al-Aqsa di Deir al-Balah.
“Ketika saya tiba di sana, dokter berkata, 'Semoga Allah memberimu kesabaran, dia sudah meninggal'.”
Kondisi Ali, anak kembar Batran yang tersisa masih dalam kondisi kritis karena ia juga menderita efek hipotermia.
Batran dan keluarganya berasal dari Beit Lahia di Jalur Gaza utara. Istrinya melahirkan sebulan sebelumnya. Rumah pertama anak-anak itu adalah sebuah tenda darurat untuk para pengungsi, yang ditambal dengan selimut, di Deir al-Balah di Gaza tengah.
Batran hanya contoh kecil dari ratusan ribu warga sipil di Gaza yang dipaksa berpindah dari satu rumah ke rumah lainnya bahkan ke tenda pengungsian.
“Kami datang ke Gaza tengah untuk menyelamatkan diri dari kematian yang kami saksikan di Gaza utara. Sebelumnya kami tinggal di sebuah sekolah di al-Maghazi, tetapi setelah sekolah itu dibom kami melarikan diri ke Deir al-Balah dan tinggal di sebuah tenda,” kata Batran kepada Middle East Eye.
“Dua keponakan saya dan tiga mertua saya syahid beberapa minggu lalu. Seminggu setelah saudara laki-laki saya terbunuh, Allah memberkati saya dengan anak laki-laki kembar.
“Saya menamai salah satunya dengan nama pamannya yang telah menjadi syahid, Jumaa, dan yang satunya lagi dengan nama keponakan saya yang baru saja menjadi syahid, Ali.”
Jumaa dan Ali lahir prematur pada usia delapan bulan, namun dalam kondisi stabil pada saat itu.
5 bayi meninggal dalam 2 pekan akibat hipotermia
Dana Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) mengungkapkan hingga September, lebih dari 525.000 wanita Palestina di Gaza telah kehilangan akses ke layanan penting dan lebih dari 17.000 wanita hamil menghadapi kelaparan, dengan hampir 11.000 di antaranya sudah menderita kekurangan makanan yang parah.
“Kurangnya nutrisi untuk ibu hamil ditambah tekanan yang luar biasa dari situasi di Gaza menyebabkan peningkatan kelahiran prematur. Bayi dengan berat badan lahir rendah dan peningkatan risiko kelahiran mati dan keterlambatan perkembangan,” jelas UNFPA dalam situs webnya.
Kematian Jumaa menambah daftar anak-anak yang meninggal dunia di Gaza dalam dua pekan terakhir menjadi lima bayi.
Kapasitas rumah sakit yang terbatas dan jumlah kasus yang sangat banyak membuat bayi kembar Batran dikeluarkan dari inkubator lebih awal, mereka terpaksa membawa Jumaa dan Ali kembali ke tenda darurat.
“Saya tidak punya uang untuk membelikan mereka pakaian atau selimut. Beruntungnya beberapa tetangga menyumbangkan beberapa pakaian. Namun, si kembar membutuhkan sesuatu seperti inkubator rumah sakit agar mereka tetap hangat,” kata Batran.
Batran telah berupaya meminta bantuan ke UNRWA [badan PBB untuk pengungsi Palestina], dan mereka memberikannya sebuah alat yang dapat diisi daya untuk menghangatkan bayi kembarnya itu.
Sayangnya, alat itu hanya bisa bekerja selama tiga jam sebelum perlu diisi ulang. Saya menggunakannya selama satu setengah jam untuk setiap bayi, jelas Batra.
Untuk mengisi ulang daya alat tersebut, Batran pergi ke rumah sakit dua kali sehari dan menggunakan listrik yang disediakan oleh generator listrik. Namun pada malam Jumaa mati kedinginan, alat itu sudah kehilangan daya karena penggunaan sebelumnya.
Risiko kematian di musim dingin
Dr. Hani al-Faleet, seorang spesialis pediatrik di Rumah Sakit Nasser di Khan Younis, mengatakan ada beberapa kasus di mana anak-anak hampir meninggal namun berhasil selamat.
“Situasi ini sangat menyedihkan karena hal ini dapat dicegah jika ada pemanas, pakaian, dan nutrisi yang memadai,” kata Faleet, seperti dikutip dari MEE, Senin (30/12).
Dengan meningkatnya kasus hipotermia dan suhu yang terus menurun di Gaza, orang tua menjadi semakin paranoid, bisa saja anak-anak mereka menjadi korban berikutnya.
“Saya tidak bisa tidur. Dalam kegelapan yang mencekik, saya merasakan napas mereka di bawah hidung mereka untuk memastikan mereka belum mati kedinginan. Saya tidak bisa tidur. Saya hampir gila,” tuli Nour seorang ibu pengungsi Palestina di Jalur Gaza tengah, dalam sebuah unggahan di media sosial X.
Di al-Zawaida, Gaza tengah, Hamed Ahmed, ayah dari tiga anak, menusuk kaki anaknya yang baru lahir dengan peniti ketika ia tidur untuk memastikan anaknya masih merasakannya.
Hamed mengatakan ia dan keluarga tidak mampu lagi membeli pakaian mengingat pakaian tersebut menjadi barang yang langka dan mahal.
“Sekarang, satu pasang piyama harganya 150-180 shekel (Rp 645-800 ribu). Saya menganggur sekarang, jadi saya tidak membelikannya,” kata dia.
Barang-barang di Gaza termasuk pakaian musim dingin dan selimut semakin langka akibat blokade yang dilakukan Zionis Israel dan dijual tiga kali lipat dari harga normal.
Setelah mendengar tentang anak-anak yang meninggal karena kedinginan, Hamed dan istrinya tidak bisa tidur di malam hari. Mereka secara bergantian berjaga untuk untuk memastikan anak perempuan mereka yang berusia 22 hari masih hidup.
“Kami meraba kakinya secara teratur untuk mengetahui apakah kakinya dingin atau hangat,” kata Hamed.
Reporter Magang: Elma Pinkan Yulianti