Transaksi QRIS Kena PPN 12 Persen, Begini Penjelasan Pemerintah
Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, menegaskan bahwa penggunaan QRIS tidak akan dikenakan PPN.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menegaskan bahwa sistem pembayaran yang menggunakan QRIS tidak akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Airlangga menyatakan PPN hanya dikenakan pada barang yang dijual, bukan pada sistem transaksinya.
- QRIS Bantu Transaksi Bisnis Jadi Lebih Aman, Tapi Ekosistem Perlu Diperkuat
- Pemerintah Jamin UMKM Tidak Dirugikan dari Penghentian Sementara QRIS InterActive
- Ternyata, Transaksi Menggunakan QRIS Jadi Strategi Hindari Penggunaan Uang Palsu
- Aturan BI, Pedagang Dilarang Ambil Biaya Tambahan Saat Transaksi Pakai QRIS
Menko Perekonomian tersebut juga menegaskan bahwa bahan pokok penting dan turunannya tidak akan dikenakan PPN. Selain itu, sektor transportasi, pendidikan, dan kesehatan juga tidak akan dikenakan pajak tersebut, kecuali untuk beberapa hal tertentu.
"Berita akhir-akhir ini banyak yang salah. Pertama urusan bahan pokok penting tidak kena PPN termasuk turunannya turunan tepung, terigu turunan minyak kita, turunan gula. Bayar tol juga tak kena PPN," jelas Airlangga.
Transaksi Uang Elektronik
Sebelumnya, terdapat isu di masyarakat yang menyatakan bahwa transaksi uang elektronik akan dikenakan tarif PPN sebesar 12 persen mulai 1 Januari 2025.
Menanggapi hal tersebut, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan memberikan klarifikasi bahwa pengenaan PPN atas jasa layanan uang elektronik sudah dilakukan sejak berlakunya UU PPN Nomor 8 Tahun 1983 yang berlaku sejak 1 Juli 1984.
"Artinya bukan objek pajak baru," ungkap Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti, yang dikutip dari Antara pada Jumat (20/12).
UU PPN telah mengalami pembaruan dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Dalam UU HPP tersebut, layanan uang elektronik tidak termasuk dalam daftar objek yang dibebaskan dari PPN. Dengan kata lain, ketika tarif PPN naik menjadi 12 persen, maka tarif tersebut juga akan berlaku untuk transaksi uang elektronik.
Pernyataan DJP Tentang Transaksi Uang Elektronik
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menegaskan bahwa pengenaan PPN pada transaksi uang elektronik bukanlah objek pajak yang baru.
Penegasan ini disampaikan untuk merespons informasi mengenai kenaikan PPN 12 persen yang akan berlaku mulai tahun depan untuk transaksi uang elektronik.
"Jasa atas transaksi uang elektronik dan dompet digital selama ini telah dikenakan PPN sesuai ketentuan PMK (Peraturan Menteri Keuangan) 69/PMK.03/2022 tentang Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyelenggaraan Teknologi Finansial," ungkap Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti.
Namun, Dwi menekankan bahwa dasar pengenaan pajak bukanlah nilai pengisian uang (top up), saldo (balance), atau nilai transaksi jual beli. Pengenaan pajak berlaku atas jasa layanan penggunaan uang elektronik atau dompet digital tersebut.
"Artinya, jasa layanan uang elektronik dan dompet digital bukan merupakan objek pajak baru," jelasnya.
Sebagai ilustrasi, jika seseorang melakukan isi ulang atau top up uang elektronik sebesar Rp1.000.000 dengan biaya top up Rp 1.500, maka perhitungan PPN adalah sebagai berikut: 11% x Rp 1.500 = Rp 165.
Dengan adanya kenaikan PPN menjadi 12%, perhitungan PPN menjadi 12% x Rp 1.500 = Rp 180. Kenaikan PPN sebesar 1% hanya menambah biaya sebesar Rp15.
Contoh lainnya adalah pengisian dompet digital (e-wallet) sebesar Rp 500 ribu. Jika biaya pengisian dompet digital tersebut adalah Rp 1.500, maka PPN yang dikenakan adalah 12 persen dari Rp 1.500, yang berarti ada biaya tambahan sebesar Rp 180.
Sebelumnya, saat PPN dihitung 11 persen, biaya tambahan yang dikenakan adalah Rp 165.
"Jadi, kenaikannya PPN sebesar 1 persen hanya Rp 15," kata Dwi.