Jurnalis Yordania Dipenjara karena Ungkap Pemerintahnya Bantu Israel Saat Perang di Gaza
Jurnalis Yordania Dipenjara karena Ungkap Pemerintahnya Membantu Israel Saat Perang di Gaza
Dia mengungkap praktik ekspor barang lewat jalur darat dari Uni Emirat Arab dan Bahrain, melalui Arab Saudi dan Yordania.
Jurnalis Yordania Dipenjara karena Ungkap Pemerintahnya Bantu Israel Saat Perang di Gaza
Jurnalis lepas Hiba Abu Taha, seorang warga Yordania asal Palestina yang sangat pro-perlawanan, menolak untuk melakukan penyensoran mandiri.
Pada 11 Juni, pengadilan Magistrat di Amman menjatuhkan hukuman penjara satu tahun karena melanggar Undang-Undang Kejahatan Cybercrime yang kontroversial yang diperkenalkan tahun lalu.
Hal ini disebabkan oleh sebuah artikel yang ia tulis untuk situs berita Lebanon, Annasher, yang mengkritik "peran Yordania dalam membela entitas musuh."
Artikel tersebut diterbitkan pada Sabtu (22/6), delapan hari setelah pesawat Yordania, AS, Inggris, dan Prancis mencegat drone dan roket Iran di atas wilayah udara Yordania yang mengarah ke target Israel.
Namun, Abu Taha ditangkap pada 13 Mei setelah Annasher mempublikasikan laporan investigasinya pada 28 April
yang berjudul "Mitra dalam pemusnahan: Pemilik modal Yordania yang terlibat dalam genosida Gaza."
Waktu penangkapannya memberi kesan ia ditahan karena mengungkap perusahaan-perusahaan Yordania yang mengangkut barang ekspor ke Israel, sebuah jalur darat yang disangkal oleh para pejabat pemerintah secara terbuka di tengah meningkatnya kemarahan rakyat atas hubungan Amman dengan Tel Aviv sementara Israel melakukan genosida di Gaza.
Secara luas diyakini laporan investigasi sepanjang hampir 2.000 kata, yang didukung oleh video berdurasi 15 menit berisi bukti-bukti yang ia kumpulkan secara rahasia, merupakan alasan utama dari dakwaan terhadap jurnalis perempuan itu.
Dalam laporannya, Abu Taha menuduh Perdana Menteri Bisher Khasawneh dan pejabat lainnya menyembunyikan fakta Yordania digunakan sebagai jalur darat untuk ekspor Uni Emirat Arab dan Bahrain melalui Arab Saudi ke Israel untuk mematahkan blokade Ansarallah Yaman di Laut Merah dan Laut Arab.
Dia mengutip para pegawai perusahaan transportasi dan perizinan di Amman dan Aqaba tentang layanan mereka untuk mengangkut barang melalui Jembatan Sheikh Hussein di bagian utara atau penyeberangan Wadi Araba di bagian selatan.
Dia melanjutkan dengan membeberkan nama-nama perusahaan Yordania dan pemiliknya yang berpengaruh, yang tidak menunjukkan keraguan untuk melakukan bisnis seperti biasa dengan negara penjajah yang melakukan kejahatan perang yang belum pernah terjadi sebelumnnya di Gaza dan Tepi Barat.
Abu Taha juga mengidentifikasi pemilik perusahaan berpengaruh yang bertindak sebagai agen untuk perusahaan pelayaran Israel atau perusahaan pelayaran yang terikat dengan Israel.
Menggunakan dokumen resmi, ia menulis ekspor Yordania ke Israel meningkat dari Rp2 triliun pada 2022 menjadi Rp2,3 triliun pada 2023, dengan rekor tertinggi bulanan
sebesar Rp279 miliar pada bulan Desember 2023, sebulan setelah
Yaman mulai menargetkan kapal-kapal kargo milik Israel dan yang menuju Israel.
Terlepas dari ketelitian laporan investigasinya, Abu Taha dituntut karena artikel opininya pada 22 April.
Nidal Mansour, salah satu pendiri Pusat Pembelaan Kebebasan Jurnalis (CDFJ), mencatat Abu Taha dihukum di bawah Undang-Undang Kejahatan Cybercrime yang ketat, yang diberlakukan tak lama sebelum 7 Oktober 2023.
Komisi Media, sebuah badan pengawas yang dikontrol oleh pemerintah mengajukan pengaduan terhadapnya, menuduhnya "menghasut hasutan dan perselisihan di antara anggota masyarakat", "mengancam kedamaian masyarakat", "menghasut kekerasan", dan "menyebarkan berita bohong" melalui media elektronik.
Menurut pernyataan CDFJ, Abu Taha dihukum berdasarkan Pasal 15 dan 17 dari Undang-Undang Cybercrime yang terdiri dari 40 pasal pada bulan Agustus 2023. Pasal 15 menyatakan: "Barangsiapa dengan sengaja mengirim, mengirim ulang, atau mempublikasikan data atau informasi melalui jaringan informasi, teknologi informasi, sistem informasi, situs web, atau platform media sosial yang berisi berita palsu yang menargetkan keamanan nasional dan perdamaian masyarakat, atau mencemarkan nama baik, memfitnah, atau menghina seseorangakan dipenjara untuk jangka waktu tidak kurang dari tiga bulan atau denda tidak kurang dari 5.000 dinar (Rp115 juta) dan tidak lebih dari 20.000 dinar (Rp462 juta), atau kedua hukuman tersebut."
Pasal 15 juga memberikan hak kepada jaksa penuntut untuk mengambil tindakan hukum "tanpa perlu mengajukan pengaduan atau mengklaim hak pribadi jika ditujukan kepada salah satu otoritas negara, badan-badan resmi, atau administrasi publik," yang berarti Abu Taha masih dapat dihukum meskipun Komisi Media tidak mengajukan pengaduan.
Pengadilan juga menggunakan Pasal 17 untuk menjatuhkan hukuman satu tahun penjara. Pasal tersebut menyatakan: "Barangsiapa dengan sengaja menggunakan jaringan informasi, teknologi informasi, sistem informasi, situs web, atau platform media sosial untuk menyebarkan hal-hal yang dapat menimbulkan rasisme atau hasutan, menargetkan perdamaian sosial, menghasut kebencian, menyerukan atau membenarkan kekerasan, atau menghina agama, akan dihukum dengan hukuman penjara dari satu hingga tiga tahun atau denda tidak kurang dari 5.000 dinar(Rp115 juta) dan tidak lebih dari 20.000 dinar (Rp462 juta), atau kedua hukuman tersebut."