Mengapa Negara-Negara Arab Bungkam Tidak Menolong Palestina? Ini Alasannya Kata Sejarawan
Di tengah semakin brutalnya agresi Israel di Jalur Gaza, Palestina, banyak pihak mengkritik kebungkaman para pemimpin negara-negara Arab.
Mengapa Negara-Negara Arab Bungkam Tidak Menolong Palestina? Ini Alasannya Kata Sejarawan
Agresi Israel di Jalur Gaza, Palestina, semakin brutal dari hari ke hari. Pasukan penjajah Israel mulai menyerang wilayah yang terkurung itu sejak 7 Oktober lalu, setelah pasukan Hamas berhasil merangsek ke wilayah Israel dan menembakkan ribuan roket.
Di tengah eskalasi yang semakin memanas, banyak pihak mengkritik para pemimpin Arab yang tidak berbuat sesuatu untuk mengakhiri penderitaan rakyat Palestina. Para pemimpin Arab dinilai hanya menjadi penonton, melihat langsung kekejaman Israel, tapi tidak melakukan apapun untuk menghentikannya.
Nasib Palestina dalam situasi ini sesuai dengan karya sastra fenomenal "Waiting for Godot" karya Samuel Beckett yang mengisahkan Vladimir dan Estragon yang menunggu Godot tanpa hasil akhir yang jelas. Mereka terus berbicara, bukan untuk menemukan solusi untuk masalah mereka, tetapi untuk meredakan rasa sakit yang menyelimuti keheningan yang akan menimpa mereka.
Drama ini berakhir dengan Vladimir dan Estragon menunggu Godot, tidak bergerak, tidak menyerah, dan tidak lebih dekat satu langkah pun untuk menemukan solusi masalah mereka. Penantiannya hanya berhasil menyia-nyiakan waktu berharga yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk menemukan solusi masalah mereka. Godot tidak pernah datang. Mereka pada dasarnya menunggu harapan, harapan yang tidak pernah datang.
Sumber: Open Democracy
Sama halnya dengan karakter dalam drama itu, Palestina telah lama bertanya-tanya "di mana orang-orang Arab?" Sebuah seruan yang sudah terdengar klise selama 70 tahun terakhir. Jadi, dimanakah orang-orang Arab? Tampaknya harapan untuk mendapat bantuan dari dunia Arab semakin redup.
Foto: Amazon
Lebih buruk lagi, dukungan simbolis yang masih ada dari negara-negara Arab pun semakin pudar. Ketidakstabilan dan konflik di Timur Tengah seperti di Irak, Suriah, dan Yaman telah membuat isu Palestina semakin terpinggirkan. Masyarakat Arab yang dulunya menuntut dukungan dari pemerintah mereka untuk Palestina, sekarang lebih terjerumus dalam krisis di ibu kota mereka sendiri. Ini mengundang pertanyaan: Bagaimana mungkin meminta dukungan dari orang lain jika mereka tidak dapat memberikannya kepada diri mereka sendiri?
Seiring pecahnya negara-negara Arab, tentara yang kalah, dan kota-kota yang hancur, apakah Palestina masih bisa mengandalkan bantuan dari Arab? Suriah dan Irak, dua negara yang memiliki kepentingan strategis di Timur Tengah, berada di tengah perang dan kekerasan sektarian. Mesir, yang notabene negara paling berpengaruh di Timur Tengah, sudah lama tidak lagi terlihat sebagai pendukung perjuangan Palestina sejak penandatanganan perjanjian perdamaian dengan Israel pada 1979.
Ketika negara-negara Teluk mengisi kekosongan kekuasaan setelah kebangkitan dunia Arab, dukungan tradisional terhadap Palestina mulai pudar. Dulu, menyatakan dukungan mereka kepada Palestina adalah sebuah hal yang lumrah, baik melalui pernyataan publik atau penolakan untuk menjalin hubungan diplomatik dengan Israel.
Namun belakangan ini, pendirian ini mulai berubah. Di tengah membaiknya hubungan antara negara-negara Teluk dan Israel, PBB memperingatkan akan memburuknya situasi di Jalur Gaza, AS memindahkan kedutaan besarnya ke Yerusalem, dan Netanyahu menjanjikan aneksasi lebih lanjut atas Tepi Barat dan Yerusalem.
Dalam konteks perbaikan hubungan antara negara-negara Teluk dan Israel, Israel semakin diterima hangat daripada sebelumnya. Mereka menjadi tuan rumah bagi tim olahraga Israel, menyanyikan lagu kebangsaan Israel, dan mengadakan kunjungan resmi dengan Netanyahu. Ini adalah indikasi dari perubahan sikap yang signifikan.
Tetapi apakah perubahan ini mengejutkan? Jawabannya tidak, jika kita melihat perkembangan yang dimulai sejak Perang Enam Hari. Pada tahun 1969, menyusul peristiwa pembakaran Masjid Al-Aqsa, Israel saat itu mengkhawatirkan kemarahan Arab. Salah satu pernyataan yang diatribusikan kepada Golda Meir, perdana menteri Israel saat itu, yang menggambarkan pandangan bahwa para Arab adalah bangsa yang tidur.“Setelah membakar Masjid Al-Aqsa, saya tidak tidur sepanjang malam. Saya takut orang-orang Arab akan memasuki Israel secara berkelompok dari segala arah. Namun, ketika matahari terbit keesokan harinya, saya menyadari bahwa kami dapat melakukan apa pun yang kami inginkan karena bangsa Arab adalah bangsa yang tertidur”.
Sikap rezim-rezim Arab ini mencerminkan bahwa dukungan Arab untuk Palestina hanya sebatas isyarat simbolis dan ancaman ompong terhadap agresi Israel.
Bahkan, ini didukung hasil penelitian Mohsen M. Saleh dari Departemen Sejarah dan Peradaban di Universitas Islam Internasional Malaysia. Penelitian yang mengandalkan 154 dokumen yang dirilis oleh pemerintah Inggris, pemerintah-pemerintah Arab pada tahun 1969 lebih memilih untuk mengendalikan kemarahan massa mereka setelah pembakaran Masjid Al-Aqsa, daripada mengambil tindakan tegas melawan Israel
Seiring negara-negara Arab semakin terbuka dengan Israel dan ketidakmampuan Suriah, Irak, dan Mesir untuk memberikan dukungan substansial, pertanyaannya adalah: Apa harapan yang bisa Palestina pegang? Harapan sejati hanya bisa datang dari dalam, melalui persatuan dan visi bersama untuk masa depan Palestina yang mencakup diaspora dan pengungsi.
Meskipun Palestina telah mencapai banyak hal, masih ada keraguan bahwa mereka terus menunggu bantuan yang tak pernah datang. Sementara pemukiman Israel terus berkembang, Gaza semakin sulit dihuni, dan kondisi pembangunan manusia mereka merosot, serta negara-negara tetangganya lebih memilih menyembunyikan mereka dan masalah-masalahnya.
Palestina harus menyadari bahwa keselamatan mereka tergantung pada mereka sendiri. Mereka tidak bisa lagi menunggu dunia bereaksi atau mengandalkan dukungan yang tidak pasti. Harapan terakhir adalah bahwa akhir dari konflik ini tidak akan datang dengan menunggu janji yang tidak akan pernah terwujud. Palestina harus bertindak sendiri untuk masa depan mereka sendiri.