Prancis Larang Atletnya Pakai Jilbab Saat Bertanding di Olimpiade Paris, Bertentangan dengan Aturan Komite Olimpiade Internasional
Amnesty International mengecam keras keputusan ini, menyebutnya sebagai pelanggaran HAM.
Amnesty International mengecam keras keputusan ini, menyebutnya sebagai pelanggaran HAM.
Prancis Larang Atletnya Pakai Jilbab Saat Bertanding di Olimpiade Paris, Bertentangan dengan Aturan Komite Olimpiade Internasional
Atlet Prancis Muslim yang mengikuti Olimpiade Paris dilarang memakai jilbab saat bertanding. Larangan ini menuai kritik keras dari Amnesty International pada Selasa.
Menurut Amnesty, larangan tersebut mengungkap "kemunafikan diskriminatif" pemerintah Prancis dan "kelemahan" Komite Olimpiade Internasional (IOC).
Dalam laporannya, Amnesty mengkaji dampak negatif larangan jilbab terhadap atlet perempuan di semua tingkat olahraga di Prancis. Laporan tersebut menemukan bahwa larangan jilbab melanggar hukum hak asasi manusia internasional, seperti dilansir Middle East Eye.
Pada September 2023, Menteri Olahraga Perancis, Amelie Oudea-Castera, mengumumkan tidak ada anggota delegasi Perancis yang diizinkan mengenakan jilbab selama Olimpiade, yang akan berlangsung di Perancis dari 26 Juli hingga 11 Agustus.
“Perwakilan delegasi kami di tim Prancis tidak akan mengenakan cadar,” kata menteri tersebut, menekankan “keterikatan pemerintah pada rezim sekularisme yang ketat, yang diterapkan secara ketat di bidang olahraga”.
Beberapa hari kemudian, IOC mengklarifikasi bahwa pembatasan tersebut tidak berlaku bagi atlet yang mewakili negara lain di acara tersebut.
Larangan tersebut memang bertentangan dengan peraturan IOC yang menganggap jilbab yang dikenakan banyak perempuan Muslim sebagai pakaian budaya dan non-budaya.
Keputusan untuk melarang atlet Prancis mengenakan jilbab selama Olimpiade mendapat kritik tajam dari pakar HAM dan memicu gelombang kemarahan online. Bahkan pengguna media sosial menyerukan boikot terhadap acara tersebut.
“Selamat datang di Olimpiade Islamofobia pertama dalam sejarah!” tulis sejarawan Perancis Fabrice Riceputi di X.
Di antara 38 negara Eropa yang ditinjau oleh Amnesty International, Prancis adalah satu-satunya negara yang menerapkan larangan penggunaan penutup kepala dalam undang-undang nasional atau peraturan olahraga individu.
Dengan melarang jilbab, negara yang menjadi tuan rumah Olimpiade telah melanggar berbagai kewajiban berdasarkan perjanjian hak asasi internasional dimana negara tersebut menjadi salah satu pihak, termasuk konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan segala bentuk diskriminasi rasial, sebagaimana komitmen yang dijabarkan dalam kerangka hak asasi manusia IOC, tegas Amnesty.
Kontrak Tuan Rumah Olimpiade lebih lanjut mencakup ketentuan bahwa negara tuan rumah harus “melindungi dan menghormati hak asasi manusia dan memastikan bahwa setiap pelanggaran hak asasi manusia diperbaiki”.
Larangan penutup kepala olahraga di Prancis juga bertentangan dengan aturan pakaian badan olahraga internasional seperti FIFA (federasi sepak bola internasional), FIBA (federasi bola basket internasional), dan FIVB (federasi bola voli internasional).
“Larangan atlet Prancis berkompetisi dengan mengenakan hijab olahraga di Olimpiade dan Paralimpiade merupakan sebuah olok-olok atas klaim bahwa Paris 2024 adalah Olimpiade Kesetaraan Gender yang pertama dan mengungkap diskriminasi gender rasis yang mendasari akses terhadap olahraga di Prancis,” kata Anna Blus, seorang Peneliti Amnesty International, saat merilis laporan tersebut.
Meskipun ada tuntutan berulang kali, IOC menolak meminta otoritas Prancis untuk mencabut larangan tersebut.